Adu Pelayanan Bank di Tengah Tekanan Perang Tarif dan Likuiditas

Oleh Karnoto Mohamad, Wakil Pemimpin Redaksi Infobank

PERANG tarif membuat prospek ekonomi 2025 makin suram karena perang tarif. April lalu International Monetary Fund (IMF) menurunkan prospek pertumbuhan ekonomi global menjadi 2,9% sepanjang 2025. Lebih rendah dari proyeksi sebelumnya yang sebesar 3,3%.

Sedang ekonomi Indonesia diproyeksikan hanya tumbuh 4,7%, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya yang sebesar 5,1%.

Selain prospek ekonomi suram, risiko resesi bahkan stagflasi membayangi, dan pasar keuangan bergejolak. Perang dagang akan menurunkan perdagangan dan investasi, menganggu suppy chain dan memicu inflasi hingga gelombang PHK.

Data S&P Global menyebutkan ada 694 perusahaan di AS mengajukan kebangkrutan sepanjang 2024. Tertinggi dalam 15 tahun terakhir.

Gelombang PHK di Indonesia diprediksi akan berlanjut, setelah Kementerian Tenaga Kerja mengumumkan jumlah korban PHK sepanjang 2024 yang mencapai 77.965 orang. Membengkak dari angka PHK sebanyak 64.855 orang pada 2023 dan 25.114 orang pada 2022.

Banyaknya PHK menambah angka pengangguran dan kian menekan daya beli masyarakat yang akhirnya berpengaruh kepada kinerja sektor riil.
Industri perbankan dan ekosistemnya di sektor keuangan seperti multifinance dan asuransi harus mengelola risiko muncul dari ketidakpastian global.

Menurut sejumlah ekonom dan bankir yang dirangkum Infobank, dampak perang tarif akan masuk ke Indonesa melalui tiga jalur ini:

Satu, jalur perdagangan. Indonesia akan menghadapi risiko penurunan surplus perdagangan yang disebabkan penurunan harga komoditas dan permintaan global. Pelemahan aktivitas industri dalam jangka menengah bisa menekan pertumbuhan ekonomi. Perlambatan ekonomi China dan kelebihan kapasitas produksinya bisa membuat produk China membanjiri pasar Indonesia dan menggusur produsen lokal.

Dua, jalur investasi. Pengenaan tarif akan menyebabkan investasi asing di elektronik, tekstil, alas kaki melambat. Selain itu, risiko pembatalan ekspansi juga meningkat dan utilisasi pabrik turun. Investor akan lebih memilih sektor yang aman, seperti infrastruktur, energi, dan consumer goods yang terhindar dari dampak
tarif.

Tiga, jalur pasar keuangan, yang diwarnai oleh volatilitas dan inflasi global yang menahan penurunan suku bunga. Rupiah bisa kian tertekan karena terbatasnya pasokan dolar AS karena potensi keluarnya dana asing dari pasar saham dan obligasi yang makin besar.

Karena tiga jalur tersebut berpengaruh kepada dunia usaha dan pasar uang, dan industri perbankan harus melakukan beberapa respon antisipatif untuk menjaga kualitas aset maupun ketahanan likuiditas.

Dari sisi aset, bank-bank harus memperkuat manajemen risiko dan memonitor jalur risiko pada sektor yang berorientasi ekspor, seperti sektor elektronik, tekstil, alas kaki, dan furnitur.

“Di tengah tensi perdagangan global, kami fokus kepada pada penguatan likuiditas, kualitas aset, serta manajemen risiko yang disiplin. Sedangkan ekspansi kredit kami fokuskan pada nasabah utama dan sektor unggulan,” ujar Darmawan Junaidi, Direktur Utama Bank Mandiri kepada Infobank April lalu.

Stress test perlu dilakukan untuk melihat ketahanan sektor-sektor tersebut dan sektor lain yang terkena spill-over lanjutan.

“Sambil menunggu pelaksanaan kebijakan dan kepastian kebijakan, komisaris telah mengingatkan kami untuk membuat stress test dan kajian, berapa persen debitur yang ekspor ke US, berapa besar dampaknya, dan berapa persen yang tergantung impor,” ujar Honggo Widjojo Kangmasto, Wakil Direktur Utama Bank Danamon kepada Infobank, April lalu.

Menurut Biro Riset Infobank, loan at risk (LAR) perbankan menunjukkan peningkatan dari 8,90% pada September 2024 menjadi 9,72% pada Januari 2025, lalu naik 9,77% pada Februari 2025 dan menjadi 9,86% per Maret 2025.

Untuk itu, bank-bank juga perlu memperkuat cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) untuk mengantisipasi potensi lonjakan non-performing loan (NPL) maupun mewaspadai kredit dengan perhatian khusus. Para bankir juga menyediakan solusi lindung nilai (hedging) untuk nasabah korporasi eksportir agar terlindungi dari volatilitas rupiah.

Dari sisi liabilities, bank-bank juga harus memperkuat manajemen likuiditasnya secara ketat serta memastikan kecukupan likuiditas valas.

Beberapa tahun terakhir, persaingan merebut dana masyarakat makin kencangan, tidak hanya antar produk perbankan, seperti simpanan dan pinjaman, tapi juga Surat Berharga Negara (SBN) yang dikeluarkan pemerintah maupun Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI).

Imbal hasil (yield) yang lebih menarik membuat investor lebih memilih untuk membeli SBN atau SRBI. Imbasnya, dana yang seharusnya parkir di perbankan dan digunakan untuk investasi di sektor swasta berkurang karena digunakan untuk pengeluaran pemerintah atau investasi publik.

Gejala crowding out di Indonesia sudah terlihat antara lain karena utang pemerintah terus menggunung hingga menembus Rp8.813 triliun per Desember 2024 dan harus dilunasi ketika jatuh tempo. Belum lagi utang Bank Indonesia (BI) yang mencapai Rp922,4 triliun dan liabities badan usaha milik negara (BUMN) yang sebesar Rp6.957 triliun.

Dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sebesar Rp3.621,3 triliun pada 2025, sebagian besar yaitu Rp1.350 triliun atau 37,85% belanja negara digunakan untuk membayar utang yang terdiri dari cicilan pokok Rp800,3 triliun, dan bunga Rp 552,9 triliun.

Pemerintah pun selalu memilih “jalan pintas” untuk membayar utang yang mulai jatuh tempo dengan debt switch.

April lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan pemerintah menambah utang Rp250 triliun sepanjang kuartal satu 2025 untuk menambal defisit APBN 2025 yang sebesar Rp616,20 triliun. Demikian juga dengan BI yang harus mengeluarkan SRBI baru untuk meng-absorb SBRI yang jatuh tempo pada 2025 sebesar Rp922,4 triliun.

Crowding out bisa benar-benar terjadi karena pemerintah akan terus meningkatkan utangnya untuk membiayai program-program populis seperti MBG yang diperluas dengan anggaran Rp171 triliun, koperasi merah putih (KMP) yang membutuhkan anggaran Rp400 triliun, dan program 3 juta rumah dimana APBN akan mengalokasikan anggaran Rp40,27 triliun.

Bank-bank harus menjaga “kuda-kuda”-nya agar tidak goyah oleh dampak perang tarif dan tsunami crowding out yang sudah di depan pintu kantor bank.

Bagaimana peta pelayanan bank-bank di tengah tekanan perang tarif, ancaman crowding out dan serangan siber? Bank-bank mana yang berhasil meningkatkan mutu pelayanan primanya menurut survei Bank Service Excellence Monitoring 2025? Baca selengkapnya di Majalah Infobank Nomor 565 Mei 2025!

You might also like
Komentar Pembaca

Your email address will not be published.