Pemanfaatan Teknologi Baru oleh Negara Berkembang Dorong Pertumbuhan

THE ASIAN POST, JAKARTA – Diskusi di tingkat global mengenai dampak dari teknologi terdepan (frontier
technologies) seringkali tidak terumuskan dengan baik. Akibatnya, kebijakan di negara-negara
berkembang pun cenderung jalan di tempat. Ini adalah hasil temuan dari riset terbaru yang baru saja
dirilis hari ini oleh Komisi Pathways for Prosperity on Technology and Inclusive Development (atau
Komisi Pathways).
Lebih jauh, penelitian yang rencananya akan dibahas dalam pertemuan tahunan World Bank dan IMF
mendatang di Bali, Indonesia ini juga menemukan bahwa diskusi mengenai dampak dari teknologi,
seperti kecerdasan buatan yaitu artificial intelligence (AI), didasari bukti yang kurang. Selain itu, fokus bahasannya pun lebih kepada penerapan di negara maju, sehingga kurang mampu memberikan gambaran yang cukup bagi
pemerintah, dunia bisnis maupun warga negara berkembangterkait dampak teknologi baru.
Komisi Pathways ini juga menemukan bahwa diskusi-diskusi ini terpolarisasi antara kekhawatiran bahwa robot
akan menggantikan peran manusia dalam banyak pekerjaan dan anggapan bahwa teknologi akan
menjadi solusi tunggal dari semua masalah.
Menteri Keuangan Indonesia dan Co-Chair dari Komisi Pathways, Sri Mulyani Indrawati
mengatakan, “Revolusi teknologi ini, berikut disrupsi yang terjadi akibatnya, menawarkan berbagai
peluang dan juga tantangan baru,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis, 4 Oktober 2018.
“Cara baru untuk meningkatkan kesejahteraan bagi banyak orang, termasuk mereka yang tinggal di negara yang ekonominya sedang berkembang, tercipta berkat teknologi terdepan ini. Sekarang tinggal bagaimana untuk memastikan bahwa cara baru ini bisa benar-benar inklusif,” tambah Sri Mulyani.
Sri Mulyani menambahkan, negara yang ekonominya sedang berkembang harus mampu menghadapi dan beradaptasi dengan disrupsi teknologi yang terjadi.
“Di Indonesia misalnya, teknologi digital telah menghubungkan sektor ekonomi informal dengan sektor ekonomi formal. Karena itu, kita perlu segera memulai diskusi baru berdasarkan bukti kuat terkait upaya pemberdayaan para pengambil keputusan di negara-negara berkembang. Tujuannya agar mereka lebih bisa mengkapitalisasi teknologi baru serta mengelola dengan lebih baik disrupsi yang terjadi,” tambahnya.
Mengatasi eksklusivitas teknologi digital dan ketidaksetaraan digital adalah kuncinya, ujar Komisi Pathways. Dengan tiga miliar jiwa yang diprediksi akan tetap offline pada tahun 2023 dan semakin banyak lagi yang gagal memperoleh potensi dari internet secara penuh, pendekatan bisnis seperti biasa (business-as-usual) untuk desain dan penyampaian layanan digitalnya tidak dapat menjangkau orang-orang yang termajinalkan.
“Kita tidak bisa membiarkan batasan yang menghalangi kelompok miskin dan marjinal untuk mendapatkan manfaat dari inovasi teknologi di masa mendatang,” ujar Co-Chair the Bill & Melinda Gates Foundation serta Co-Chair Komisi Pathways Melinda Gates.
“Jika kita bisa lebih strategis dalam investasi dan kebijakan yang kita ambil di titik kritis ini, kita bisa membantu lebih banyak orang memanfaatkan teknologi untuk meruntuhkan batasan-batasan ini dan menciptakan masa depan yang lebih baik bagi semuanya,” imbuhnya.asa kerjanya hingga tahun 2019.