Waduh! Terompet Kiamat Perusahaan BBM Sudah Ditiup di China
Jakarta – China menginsyaratkan berakhirnya masa emas bisnis minyak dengan semakin menurunnya konsumsi bahan bakar minyak (BBM) yang membuat 60 persen SPBU tutup.
Hal ini terkait dengan perubahan besar-besaran dalam transportasi di China, di mana China saat ini menjadi pemimpin dalam dominasi kendaraan listrik global.
Menurut Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung, penggunaan kendaraan listrik di China saat ini telah melebihi 50% dari kepemilikan kendaraan baru.
“SPBU di China tutupnya sudah lebih dari 60%. Kita melihat ada perubahan penggunaan energi. Mungkin itu dampaknya terhadap ini kilang-kilang secara global,” ujar Yuliot di Kementerian ESDM, Jumat (12/9).
Menjamurnya adopsi kendaraan listrik, kata Yuliot, kemungkinan besar akan menjadi salah satu penyebab bisnis kilang perusahaan di dunia ikut terdampak. Apalagi, dunia saat ini juga mengarah pada penggunaan energi bersih.
Sebelumnya, Pertamina memproyeksikan terdapat 17 kilang minyak di dunia yang akan berhenti beroperasi menjelang tahun 2030. Hal tersebut menyusul melemahnya harga minyak mentah dunia karena kondisi over supply dalam beberapa waktu terakhir ini.
Menurut Wakil Direktur Utama Pertamina Oki Muraza, penurunan harga minyak saat ini tidak hanya menekan bisnis di sektor hulu, melainkan juga berdampak pada sektor pengolahan minyak global.
Melemahnya harga minyak mentah dunia, kata dia, telah berdampak pada profitabilitas sejumlah raksasa global seperti BP, Total Energies, dan Chevron.
“Kita melihat beberapa perusahaan besar itu mengalami impairment dan juga mengalami kendala dalam mendapatkan profitabilitas,” kata Oki dalam RDP bersama Komisi VI DPR RI, Kamis (11/9).
Kondisi oversupply sejatinya tidak hanya terjadi pada minyak mentah, namun juga pada produk kilang. Kondisi itu lantas membuat selisih antara harga minyak mentah dan harga produk olahan menjadi rendah.
“Ini menjadi tantangan tersendiri bagi Pertamina dan perusahaan energi lainnya, baik itu National Oil Company maupun International Oil Company,” ujar Oki. DW