Rating 160 BUMN versi The Asian Post 2025, Maukah Presiden Prabowo Bersihkan BUMN dari Lumpur Politik?
Oleh Karnoto Mohamad, Editor in Chief The Asian Post
SITUASI politik dan keamanan sedang memanas. Demonstrasi yang diwarnai anarki merebak di seluruh wilayah Indonesia. Terutama sejak kematian Affan Kurniawan, pengemudi ojol yang tewas digilas mobil Barracuda Brimob saat berada di tengah aksi demonstrasi pada 28 Agustus 2025. Ada luapan kekecewaan rakyat akibat berbagai kebijakan pemerintahan Prabowo Subianto.
Ada luapan frustasi rakyat yang melihat para pejabat legislatif yang berjoget ria saat menerima pengumuman kenaikan tunjangan. Dan ada juga dugaan kepentingan politik yang memanfaatkan amarah rakyat.
Presiden Prabowo Subianto memiliki cita-cita setinggi langit: pertumbuhan ekonomi 8%, tidak ada orang miskin, dan memiliki superholding badan usaha milik negara (BUMN) terbesar dunia. Melalui Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) yang diluncurkan pada awal 2025, Prabowo ingin menjadikan BUMN sebagai aset masa depan bangsa.
Pertanyaannya, apakah Presiden Prabowo Subianto bakal berhasil mewujudkan ambisinya? Waktu yang akan menjawabnya. Tapi pastinya tidak mudah mewujudkannya karena BUMN diwarnai sederet perusahaan yang terseok-seok tertimbun utang jumbo.
Menurut The Asian Post Research dalam Kajian Rating 160 BUMN 2025, keberhasilan dalam membangun kembali BUMN tergantung tiga hal ini; Satu, bagaimana kemauan Presiden Prabowo untuk membersihkan BUMN dari “lumpur politik” yang penuh intervensi.
Dua, bagaimana Danantara menyelesaikan masalah di puluhan perusahaan pelat merah yang rapornya merah padam dan tertimbun utang jumbo. Tiga, apakah BUMN akan dipimpin oleh CEO-CEO (chief executive officer) terbaik setelah dihapuskannya tantiem untuk direksi yang bisa mengurangi minat profesional-profesional terbaik untuk bekerja di BUMN.
Tercapai atau tidaknya ambisi Presiden terhadap BUMN tidak cukup dengan mendirikan BPI Danantara. Setelah Presiden dan para petinggi Danantara menentukan arah BUMN itu jelas, yang menentukan eksekusinya adalah CEO-CEO di perusahaan BUMN.
Eksekusi di perusahaan BUMN yang dipimpin oleh CEO terbaik dan CEO kelas dua apalagi pencari jabatan tentu akan berbeda hasilnya. Presiden Prabowo juga harus belajar dari hasil presiden-presiden sebelumnya yang juga memiliki ambisi besar terhadap BUMN. Begitu kekuasaannya berakhir, kinerja BUMN tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakan.
Misalnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berambisi memperkuat efektivitas dan efisiensi BUMN melalui strategi perampungan (rightsizing). Melalui Master Plan BUMN 2010-2014, SBY menargetkan jumlah BUMN berkurang menjadi 81 perusahaan pada 2014.
Namun, upaya tersebut tidak berjalan dan jumlah BUMN pada akhir masa jabatannya masih 119 perusahaan, belum termasuk ratusan anak perusahaan.
Tapi ada catatan positif dari pemerintahan SBY. BUMN menjadi bagian dari pasar kendati masih ada intervensi pemerintah. Selain itu, ada sejumlah profesional terbaik yang berhasil menyelesaikan krisis di perusahaan BUMN hingga membuat perusahaan BUMN tersebut menjadi dikagumi sampai sekarang, yaitu Agus Martowardojo di Bank Mandiri dan Ignasius Jonan di Kereta Api Indonesia.
Pada masa akhir kepemimpinannya, SBY juga berhasil menggabungkan 14 PTPN menjadi satu holding serta melebur enam Perhutani menjadi satu perusahaan. Lalu, bagaimana dengan Joko Widodo (Jokowi) yang ingin membawa BUMN menjadi perusahaan yang lincah, kompetitif, dan mampu menyerang negara lain? Untuk mendukung ambisinya pada masa awal memimpin, Jokowi sempat menyampaikan wacana perlunya chief executive officer (CEO) asing untuk menahkodai perusahaan BUMN.
Pada periode kepemimpinan pertama, Jokowi ingin menargetkan pembubaran Kementerian BUMN dan diubah menjadi superholding pada 2019. Dua periode sudah memimpin, tapi tidak ada tanda-tanda ambisi Jokowi tersebut terwujud. Tidak ada superholding dan kementerian BUMN tetap eksis dan makin kuat dalam melakukan intervensi.
BUMN yang dijadikan agen pembangunan pun memikul beban politik sehingga banyak yang kondisi keuangannya ambruk. BUMN karya yang dihujani penugasan oleh pemerintah sampai saat ini terseok-seok tertimbun utang jumbo dan mengobral asetnya untuk mendapatkan dana segar guna membayar utang kreditor dan tagihan vendor.
Menurut data The Asian Post Research, sejumlah aset sejumlah perusahaan BUMN pada 2024 mengalami penurunan dan mengindikasikan adanya penjualan kekayaan untuk mengurangi timbunan utang.
Contohnya, Waskita Karya yang asetnya merosot 19,29% menjadi Rp77,16 triliun dan kewajibannya berkurang 17,52% menjadi Rp69,27 triliun. Wijaya Karya yang asetnya melorot 3,68% menjadi Rp63,55 triliun dan utangnya berkurang 8,38% menjadi Rp51,68 triliun. Adhi Karya yang asetnya menyusut 13,46% menjadi Rp35,04 triliun dan kewajibannya menurun 18,88% menjadi Rp25,37 triliun.
Garuda Indonesia yang tidak memiliki aset produktif untuk dijual sehingga utangnya menggunung 4,32% menjadi Rp128,82 triliun, atau 20% lebih besar dari dari asetnya yang sebesar Rp106,97 triliun. Dengan total kewajiban per Maret 2025 sebesar US$7,88 miliar, maka jumlah utang Garuda Indonesia kian membesar setelah Danantara menyuntikkan pinjaman sebesar Rp6,65 triliun pada Juni 2025. Pada kuartal satu 2025, Garuda mencatat kerugian bersih US$75,93 juta (setara Rp1,25 triliun) dengan rasio utang terhadap ekuitas minus 2,93%.
Krakatau Steel juga mengalami kondisi yang sama. Kendati sampai akhir 2024 perusahaan baja pelat merah ini membayar sebagian pokok utang dan bunga senilai US$509 juta, namun kewajibannya terus membengkak 9,61% menjadi Rp39,75 triliun tahun lalu.
Upaya lepas dari timbunan utang makin sulit karena perusahaan baja pelat merah ini gagal mencetak pertumbuhan pendapatan yang justru merosot 31,17% sehingga kerugiannya pun membengkak dari Rp2,03 triliun menjadi Rp2,39 triliun pada 2024.
Yang lebih tragis adalah Kereta Api Indonesia (KAI) yang sedang menyimpan bom waktu akibat utang jumbo proyek Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) atau Whoosh yang mencapai Rp 116 triliun. Sebab, KAI memiliki saham 58,53% di Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), sisanya Wijaya Karua 33,36%, Jasa Marga 7,08%, dan PTPN VIII 1,03%.
PSBI sendiri memiliki 60% saham KCIC dimana 40% dipegang konsorsium China Railway. Sedangkan, proyek Whoosh yang investasinya mencapai US$7,27 miliar (Rp119,9 triliun) mengalami kerugian Rp1 triliun pada semester satu 2025 setelah merugi Rp4,2 triliun pada 2024.
Jadi, visi Jokowi menjadikan BUMN yang lincah, kompetitif, dan mampu menyerang negara lain, justru berakhir dengan dengan banyaknya perusahaan BUMN yang sakit-sakitan dan harus disuntik uang negara.
Menurut data The Asian Post Research, selama periode 2015-2024 atau sepanjang pemerintahan Jokowi, negara telah menggelontorkan penanaman modal negara (PMN) kepada BUMN dengan total Rp424,73 triliun. Sementara deviden yang disumbangkan BUMN sebesar Rp496,76 triliun.
Artinya, deviden bersih yang diterima pemerintah dari seluruh BUMN hanya Rp72,03 triliun. Dengan sederet masalah yang membelit perusahan-perusahaan pelat merah, apakah Prabowo Subianto mampu membangun kembali BUMN melalui Danantara? Seperti apa rapor BUMN menurut hasil Rating 160 BUMN Versi The Asian Post 2025? Baca selengkapnya di Majalah Infobank Nomor 569 September 2025!