PBB Dapat Surat Terbuka dari KontraS, YLBHI, dan CELIOS: Desak Pantau Krisis HAM di RI
Jakarta – Tiga organisasi masyarakat sipil Indonesia, yakni Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan Center of Economic and Law Studies (CELIOS), mengirimkan surat terbuka kepada Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR) atau Kantor Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia.
Surat tersebut menyerukan pemantauan, penyelidikan, dan pelaporan terkait krisis demokrasi dan hak asasi manusia yang semakin memburuk di Indonesia.
Krisis Demokrasi dan Kekerasan Polisi
Surat terbuka itu menyoroti gelombang protes yang terjadi sejak 25 Agustus 2025 akibat tunjangan berlebihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), di tengah kondisi ekonomi yang sulit, PHK massal, dan pemangkasan anggaran pendidikan. Awalnya damai, protes meluas hingga 31 Agustus 2025 di sejumlah kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar, dan Medan.
“Polisi menggunakan gas air mata, water cannon, dan peluru karet secara berlebihan. Bahkan beberapa korban jiwa terjadi, termasuk pengemudi ojek daring Affan Kurniawan,” mengutip surat itu.
Data yang tercatat menunjukkan lebih dari 3.300 warga sipil ditangkap, termasuk anak-anak, dengan banyak laporan penahanan sewenang-wenang dan akses bantuan hukum yang terbatas.
Selain itu, surat terbuka menyoroti keterlibatan militer dalam menangani protes, yang menunjukkan pergeseran berbahaya dari prinsip pemisahan kekuasaan sipil dan militer.
Kriminalisasi Ekspresi dan UU ITE
Aktivis mahasiswa Khariq Anhar dan Wawan Hermawan ditangkap karena memposting konten satir terkait protes di media sosial. Keduanya dijerat Pasal 32 dan Pasal 35 UU ITE, yang dinilai mengekang kebebasan berekspresi secara sewenang-wenang.
Penangkapan serupa juga dialami Delpedro Marhaen, Direktur Eksekutif Lokataru, bersama stafnya, dengan tuduhan penghasutan dan penyebaran konten digital yang dianggap memicu kerusuhan.
Surat ini turut menyinggung eskalasi serangan digital terhadap masyarakat sipil, mulai dari peredaran kontak WhatsApp palsu, spam, serta intimidasi digital, yang menambah ancaman terhadap individu dan organisasi yang mengkritik pemerintah.
Respon pemerintah terhadap OHCHR dianggap belum memadai. Kementerian Luar Negeri menyatakan bahwa aparat bertindak sesuai prinsip HAM, meski bukti penggunaan kekuatan berlebihan bertentangan dengan klaim tersebut.
Menteri HAM Natalius Pigai dan Wakil Ketua Komisi I DPR RI Dave Laksono menekankan kedaulatan Indonesia dan upaya pemerintah dalam menangani keluarga korban, namun hal ini dinilai tidak cukup untuk meredam kekhawatiran publik.
Seruan Mendesak ke OHCHR
Tiga organisasi masyarakat sipil tersebut mendesak OHCHR untuk:
-Memfasilitasi kunjungan prosedur khusus PBB untuk memantau dan mendokumentasikan pelanggaran HAM.
-Menyelidiki kekerasan polisi, penangkapan massal, penghilangan paksa, dan keterlibatan militer.
-Melaporkan temuan secara publik untuk memastikan akuntabilitas dan perlindungan warga yang menjalankan hak demokratis mereka.
-Mendesak pemerintah Indonesia menghentikan kekerasan aparat dan praktik otoritarian.
Situasi di Indonesia sangat serius dan membutuhkan perhatian internasional segera.
“Kami mendesak OHCHR untuk segera turun tangan dan memastikan hak asasi warga Indonesia terlindungi,” tegas KontraS, YLBHI, dan CELIOS dalam surat terbuka. SW