Mayoritas Masyarakat Religius, Mengapa Oh Mengapa Masih Korupsi Juga?
Oleh: A. Mikail Mo, Researcher, The Asian Institute for Economy and Capital Market
KONTRADIKSI yang memalukan. Indonesia adalah negeri yang mengklaim diri sebagai “bangsa religius”, dengan 93% penduduk menganggap agama penting dalam hidup (World Values Survey, 2024). Namun, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2024 negara ini hanya 37, menempatkannya di peringkat 99 dari 180 negara—lebih buruk dari Zimbabwe (IPK 40) dan Vietnam (IPK 44). Religius kok masih korupsi atau “merompak” uang rakyat.
Ironisnya, Singapura (70% religius) menduduki peringkat ketiga terbersih di dunia (IPK 87), sementara Denmark (19% religius) menjadi juara kedua (IPK 90). Mengapa agama gagal menjadi benteng moral di Indonesia? Jawabannya terletak pada sistem ekonomi-politik yang korup, budaya permisif, dan kegagalan transformasi nilai agama ke ruang publik.
Kesenjangan ekonomi Indonesia (rasio Gini 0,38 pada 2023) menciptakan struktur yang memaksa masyarakat memilih antara “hidup baik” atau “hidup benar”. Jeffrey Winters dalam “Oligarchy” (2011) menyebut Indonesia sebagai negara oligarki, di mana 0,01% populasi menguasai 50% aset nasional.
Kekayaan terpusat ini memicu korupsi sistematis, seperti kasus korupsi dana COVID-19 yang melibatkan pejabat Kementerian Kesehatan (ICW, 2022).
Di level akar rumput, upah buruh Rp3,4 juta per bulan (BPS, 2024) yang tak sebanding dengan biaya hidup mendorong praktik suap kecil-kecilan. Seorang PNS di Jawa Timur mengaku: “Kalau tak terima ‘uang rokok’, gaji tak cukup bayar sekolah anak.” Ini adalah korupsi structural —bukan sekadar pelanggaran moral, tapi konsekuensi sistem yang tak adil.
Di sisi politik, demokrasi Indonesia telah direduksi menjadi pasar transaksional. Biaya pencalonan legislatif mencapai Rp5–15 miliar per orang (LP3ES, 2023), memaksa politisi berhutang pada oligark. Setelah menang, mereka “mengembalikan modal” melalui korupsi APBD atau jual-beli kebijakan.
Contohnya, skandal suap Impor Baja yang melibatkan anggota DPR (KPK, 2023). Warisan Orde Baru juga masih membayangi. Menurut Ross McLeod (2008), korupsi di era Soeharto diinstitusionalisasi sebagai alat kontrol kekuasaan. Pasca Reformasi, desentralisasi malah melahirkan koruptor daerah yang menguasai proyek fiktif. Di Sulawesi Selatan, 70% dana desa dikorupsi pada 2023 (ICW), sementara masyarakat tetap miskin.
Sementara masyarakat Indonesia rajin beribadah, tetapi abai pada keadilan sosial. Robert Hefner dalam “Civil Islam” (2011) menyebut agama di sini seperti “ritual tanpa etika”. Zakat dikelola tanpa transparansi, masjid megah dibangun di tengah desa kumuh, dan koruptor tetap dihormati selama rajin salat.
Budaya “sungkan” dan “balas budi” juga jadi racun. Franz Magnis-Suseno menulis: “Masyarakat Jawa memandang suap sebagai bentuk penghormatan, bukan kejahatan.” Misalnya, “uang administrasi” di kelurahan dianggap wajar—sebuah normalisasi korupsi yang dipelihara turun-temurun.
Bisa jadi lembaga keagamaan gagal menjadi garda terdepan anti-korupsi. Majelis Ulama Indonesia (MUI) lebih sibuk mengeluarkan fatwa haram LGBT atau makanan daripada mengecam koruptor. Padahal, dalam Islam, korupsi termasuk ghulul (pengkhianatan amanah) yang ancamannya neraka (QS Ali Imran: 161).
Penelitian Pusat Studi Agama dan Demokrasi (2023) menyebut hanya 10% khotbah Jumat yang menyentuh isu korupsi. Sebaliknya, di Singapura, lembaga keagamaan aktif berkolaborasi dengan negara dalam kampanye integritas.
Ada baiknya Indonesia belajar dari Singapura dan Denmark. Pertanyaannya, di mana kesalahan Indonesia?
Di Singapura, misalnya, hukum ditegakkan tanpa kompromi. Lee Kuan Yew mewariskan sistem yang tak pandang bulu: pejabat korup dihukum, gaji menteri setara CEO, dan birokrasi berbasis meritokrasi. Hasilnya? Korupsi di Singapura hanya 0,2% dari APBN (Transparency International, 2024).
Sementara Denmark menempatkan kepercayaan publik sebagai fondasi. Denmark membangun budaya “kepercayaan” melalui kesejahteraan merata dan transparansi.
Sosiolog Gert Tinggaard Svendsen (2020) menekankan: “Di sini, korupsi dianggap aib sosial, bukan sekadar pelanggaran hukum.”
Sedangkan di Indonesia boleh jadi sistemlah yang melindungi koruptor. Lihat saja, di Indonesia, hukum tumpul ke atas. Data ICW (2024) menunjukkan hanya 12% koruptor kelas kakap yang dipenjara. Sisanya bebas setelah membayar denda atau mendapat remisi, atau hukuman yang tak sebanding dengan uang yang dijarah.
Hukum bisa jadi sudah menjadi komoditas. Jual beli perkara sudah tampak lazim dan tak lagi menjadi bisik-bisik. Penemuan uang yang hampir Rp1 trilun di rumah pejabat Mahkamah Agung (MA) merupakan bukti jelas bahwa perkara bisa “diurus” dengan segepok uang.
Sayangnya, perkara suap menyuap aparat hukum itu berhenti pada sang pejabat, tidak ditelusuri dari mana saja uang dan berkara itu datang.
Ironis dalam pemberantasan korupsi.
Ada beberapa solusi agar “perompak” uang rakyat ini tak lagi menjadi “monster” di setiap sudut kantor-kantor pemerintah, paling tidak harus menghancurkan lingkaran setan yang selama ini ada.
Satu, Pemutusan Rantai Oligarki; larang mantan narapidana korupsi jadi calon legislatif, nasionalisasi sumber daya strategis untuk kurangi kuasa oligark.
Dua, lakukan revolusi penegakan hukum. Misalnya, kembalikan independensi KPK, cabut revisi UU KPK 2019 yang melemahkan penyadapan, dan adili hakim yang menerima suap.
Tiga, melakukan reformasi politik electoral, misalnya menerapkan sistem pemilu tertutup dan batasi donasi kampanye maksimal Rp1 miliar per perusahaan.
Pada dasarnya, Indonesia tidak kekurangan orang saleh, tetapi kekurangan sistem yang memaksa orang untuk jujur.
Seperti dikatakan Azyumardi Azra: “Koruptor kita adalah ahli surga—rajin salat, tetapi merampok uang rakyat.” Jika Singapura dan Denmark bisa bersih tanpa menggantungkan diri pada religiusitas, mengapa Indonesia tidak?
Jawabannya jelas: selama elit politik masih menganggap agama sebagai alat legitimasi, bukan inspirasi moral, korupsi akan tetap menjadi “ibadah” yang paling setia di negeri ini.
Atau, para koruptor itu tahu cara bertaubat sehingga tetap saja korupsi?