Kesejahteraan Guru dan Dosen Tanggung Jawab Negara, Bukan Beban Masyarakat

Oleh Yazid Bindar, Guru Besar Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung.

Beberapa waktu lalu, seorang petinggi negara menyampaikan pernyataan yang menyinggung kesejahteraan guru dan dosen. Menurutnya, kenaikan gaji tenaga pendidik tidak bisa sepenuhnya ditanggung oleh negara, melainkan perlu ada partisipasi dari masyarakat.

Pernyataan ini menimbulkan pro dan kontra karena menyentuh isu sensitif: kesejahteraan guru dan dosen yang selama ini dianggap rendah dan tidak sepadan dengan tanggung jawab besar mereka mencerdaskan bangsa.

Masalahnya, pernyataan ini seolah melimpahkan sebagian tanggung jawab negara kepada masyarakat. Padahal, pendidikan adalah hak dasar yang dijamin konstitusi. Guru dan dosen adalah ujung tombak pendidikan nasional.

Jika kesejahteraan mereka hanya dianggap sebagai beban fiskal, bukan sebagai investasi strategis, maka kualitas pendidikan sulit diharapkan akan membaik. Kritik tajam pun muncul: apakah negara sedang cuci tangan dari kewajiban utamanya?

Peran Negara dalam Membiayai Pendidikan

Hingga kini, gaji guru dan dosen PNS dibiayai penuh dari keuangan negara. Anggaran ini masuk ke dalam pos belanja pegawai yang bersumber dari APBN. Beberapa daerah yang kuat mengalokasikan dalam APBD-nya untuk tunjangan guru.

Negara juga memberikan tunjangan profesi bagi guru dan dosen yang telah memiliki sertifikat pendidik, serta tunjangan kehormatan bagi profesor yang sudah memenuhi kualifikasi akademik tertinggi. Baru baru ini, negara baru mencairkan remunerasi dosen PNS untuk PTN yang memenuhi syarat untuk dibiayai remunerasinya dari APBN setelah melalui tuntutan dan demo para dosen.

Dengan cara ini, negara mencoba menunjukkan peran hadirnya dalam meningkatkan martabat tenaga pendidik.

Namun, skema ini masih menyisakan persoalan besar. Guru honorer, guru non-PNS, dan dosen di perguruan tinggi swasta tetap berada di posisi paling rentan. Mereka hanya menerima tunjangan profesi jika sudah lolos sertifikasi, sementara gaji pokok tetap harus ditanggung oleh sekolah atau perguruan tinggi masing-masing. Konsekuensinya, penghasilan mereka sangat bergantung pada besar kecilnya partisipasi masyarakat, terutama melalui iuran pendidikan.

Bentuk Partisipasi Masyarakat dan Batasannya

Partisipasi masyarakat dalam pembiayaan pendidikan bukanlah hal baru. Sekolah swasta sejak lama mengandalkan uang sekolah (SPP) yang dibayarkan orang tua siswa sebagai sumber utama pembayaran gaji guru. Perguruan tinggi negeri pun menggunakan skema Uang Kuliah Tunggal (UKT) sebagai bentuk kontribusi masyarakat yang sebagian dialokasikan untuk membiayai remunerasi dosen. Secara formal, mekanisme ini sudah sah dan berjalan puluhan tahun.

Namun, kritik muncul ketika pemerintah menyebut bahwa kenaikan gaji guru dan dosen harus melibatkan partisipasi masyarakat. Dengan kata lain, sekolah bisa memungut lebih banyak uang dari orang tua murid, dan perguruan tinggi bisa menaikkan UKT. Pernyataan ini dianggap bermasalah karena membuka peluang komersialisasi pendidikan, menggeser logika pendidikan dari hak publik menjadi barang dagangan.

Potret Sekolah dan Perguruan Tinggi Swasta dalam Ketimpangan yang Nyata

Bagi sekolah dan perguruan tinggi swasta, partisipasi masyarakat memang menjadi tulang punggung. Semakin besar iuran sekolah, semakin besar uang kuliah seharusnya semakin sejahtera pula guru dan dosen yang mengajar.

Tetapi kondisi ini justru memperlebar ketimpangan. Guru dan dosen di sekolah dan perguruan tinggi swasta elit bisa memperoleh gaji yang mendekati standar layak, sementara guru dan dosen di sekolah swasta kecil dan perguruan tinggi swasta kecil dengan siswa dan mahasiswa dari kalangan menengah ke bawah sering kali hanya menerima upah jauh di bawah upah minimum regional.

Ketimpangan ini semakin tajam karena negara hanya memberikan tunjangan profesi, bukan gaji pokok. Akibatnya, peran masyarakat bukan sekadar partisipasi, tetapi menjadi beban utama.

Jika logika ini diteruskan, maka tanggung jawab negara dalam menjamin kesejahteraan guru dan dosen akan semakin kabur. Pendidikan akan semakin tergantung pada kemampuan orang tua membayar, bukan pada komitmen negara mencerdaskan kehidupan bangsa.

Perguruan Tinggi Negeri dan Beban UKT

Di perguruan tinggi negeri, mahasiswa diwajibkan membayar UKT yang nominalnya disesuaikan dengan kemampuan ekonomi. UKT ini seharusnya bersifat subsidi silang: yang kaya membayar lebih mahal, yang miskin dibantu negara. Namun dalam praktiknya, UKT kerap melonjak tanpa kendali, dan mahasiswa mengeluhkan bahwa kampus tidak transparan dalam penggunaannya.

Jika sebagian UKT dipakai untuk membiayai gaji atau remunerasi dosen, maka pertanyaan kritisnya: apakah wajar beban peningkatan kesejahteraan dosen dibebankan langsung kepada mahasiswa?

Bukankah itu sama saja menyerahkan tanggung jawab negara kepada masyarakat, khususnya generasi muda yang justru sedang berjuang mendapatkan akses pendidikan tinggi?

Risiko Komersialisasi Pendidikan

Pernyataan petinggi negara tentang partisipasi masyarakat berpotensi memperkuat arah komersialisasi pendidikan. Alih-alih menjadi hak dasar yang dijamin negara, pendidikan diperlakukan sebagai layanan yang harus dibayar penuh oleh pengguna. Akibatnya, sekolah dan perguruan tinggi akan terdorong menaikkan biaya demi meningkatkan gaji tenaga pendidik.

Risikonya jelas: akses pendidikan semakin sempit bagi kelompok miskin. Ketimpangan pendidikan makin melebar. Sementara itu, negara bisa saja merasa terbebas dari kewajiban fiskal karena telah membuka ruang partisipasi masyarakat. Inilah letak kritik paling tajam: partisipasi masyarakat seharusnya melengkapi, bukan menggantikan peran negara.

Model Pembiayaan yang Lebih Adil

Bentuk partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan guru dan dosen bisa diwujudkan dengan cara yang lebih adil dan tidak membebani langsung orang tua maupun mahasiswa.

Misalnya, melalui dana abadi pendidikan, filantropi pendidikan, corporate social responsibility (CSR) perusahaan, atau endowment fund universitas. Dengan cara ini, partisipasi masyarakat lebih bersifat sukarela dan berkelanjutan, bukan berupa pungutan wajib yang memicu komersialisasi.

Selain itu, pemerintah dapat memperkuat skema kemitraan antara dunia usaha dan lembaga pendidikan. Dunia usaha yang mendapat manfaat dari lulusan berkualitas memiliki kewajiban moral untuk ikut membiayai kesejahteraan pendidik. Jika partisipasi masyarakat hanya dimaknai sebagai pungutan biaya dari siswa dan mahasiswa, maka itu adalah jalan pintas yang keliru.

Kesejahteraan Guru dan Dosen adalah Investasi Negara, bukan sebagai biaya saja

Menggaji guru dan dosen dengan layak bukanlah beban, melainkan investasi. Negara-negara dengan kualitas pendidikan terbaik menempatkan kesejahteraan guru sebagai prioritas anggaran.

Mereka menyadari bahwa tidak ada pendidikan berkualitas tanpa guru yang sejahtera. Jika Indonesia masih memandang kenaikan gaji guru sebagai masalah fiskal semata, maka sulit diharapkan ada lompatan kualitas sumber daya manusia.

Investasi pada guru dan dosen adalah investasi jangka panjang untuk mencetak generasi cerdas, produktif, dan kompetitif. Pernyataan petinggi negara yang cenderung mendorong partisipasi masyarakat untuk menutup kekurangan anggaran justru menunjukkan minimnya visi strategis dalam membangun pendidikan nasional.

Negara Tidak Boleh Cuci Tangan

Konstitusi dengan tegas menyatakan bahwa negara wajib mencerdaskan kehidupan bangsa. Amanat ini tidak bisa ditawar atau dialihkan kepada masyarakat begitu saja. Negara boleh melibatkan masyarakat dalam pembiayaan, tetapi tidak boleh menjadikan masyarakat sebagai tumpuan utama. Jika negara absen, maka pendidikan hanya akan menjadi arena pasar bebas.

Kritik terhadap pernyataan petinggi negara perlu ditegaskan: gaji guru dan dosen yang layak adalah tanggung jawab negara. Partisipasi masyarakat harus dimaknai secara kreatif, adil, dan tidak diskriminatif. Dengan begitu, guru dan dosen dapat bekerja dengan tenang tanpa membebani orang tua murid atau mahasiswa dengan biaya tambahan.

Menegaskan Kembali Pendidikan Tanggung Jawab Negara

Diskursus tentang kesejahteraan guru dan dosen harus dikembalikan ke kerangka konstitusi. Negara berkewajiban penuh memastikan bahwa tenaga pendidik dihargai dengan layak. Partisipasi masyarakat boleh hadir, tetapi hanya sebagai pendukung, bukan sebagai pengganti peran negara. Mengalihkan beban ke masyarakat hanya akan memperburuk ketimpangan pendidikan dan melemahkan fondasi pembangunan bangsa.

Pernyataan petinggi negara yang seolah memberi ruang lebih besar bagi partisipasi masyarakat justru harus dikritisi keras. Guru dan dosen bukan pekerja biasa, melainkan pilar peradaban. Meningkatkan kesejahteraan mereka adalah kewajiban negara, bukan sekadar opsi fiskal. Jika hal ini dipahami, maka masa depan pendidikan Indonesia akan lebih terjamin.

You might also like
Komentar Pembaca

Your email address will not be published.