Innalillahi! Mayoritas Masjid di Instansi Pemerintah Tidak Ramah Disabilitas
Jakarta— Ini masukan untuk para pengelola masjid di kantor Kementerian, lembaga negara, dan BUMN: masjid di tiga lembaga itu 98 persen tidak ramah untuk jamaah dengan keterbatasan fisik (disabilitas).
Masukan tersebut dari Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) setelah melakukan survei terkait fasilitas dan pelayanan publik di masjid.
P3M meluncurkan laporan penelitian survei berjudul ”Aksesibilitas Fasilitas dan Pelayanan Publik bagi Penyandang Disabilitas di 47 Masjid Kementerian, Lembaga Negara, dan BUMN se-Jakarta”.
Temuan mengejutkan menunjukkan, hampir seluruh masjid di lingkungan pemerintah belum memenuhi standar aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, meskipun terdapat kerangka hukum yang komprehensif.
Direktur Eksekutif P3M, K.H. Sarmidi Husna, yang juga penulis buku “Fiqih Disabilitas” menyampaikan hal itu dalam sambutan pembukaan acara Halaqah Hasil Riset Masjid Ramah Disabilitas di Jakarta.
”Kegiatan riset ini merupakan bentuk kepedulian dan concern kami terhadap percepatan pemenuhan hak beribadah bagi para penyandang disabilitas di negeri ini,” ujar Kiai Sarmidi, dalam rilis yang diterima The Asian Post, Selasa (20/5).
Halaqah hasil riset dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan termasuk perwakilan dari Komisi Nasional Disabilitas (KND), Direktorat Pesantren Direjen Pendis Kemenag RI, Dewan Masjid Indonesia (DMI), Komisi VIII DPR RI, dan para aktivis disabilitas.
Kesenjangan Regulasi dan Implementasi
Hasil riset P3M terhadap 47 dari 100 masjid di lingkungan Kementerian, Lembaga Negara, dan BUMN se-Jakarta mengungkap kesenjangan yang mengkhawatirkan antara regulasi dan implementasi di lapangan.
Padahal, saat ini Indonesia telah memiliki payung hukum yang kokoh, mulai dari UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, UU Nomor 19 Tahun 2011 tentang Ratifikasi CRPD, hingga Peraturan Menteri PUPR dan PANRB.
Temuan survei P3M menunjukkan, 26 dari 47 masjid pemerintah tidak memiliki ramp untuk kursi roda, 39 masjid tanpa handrail standar pada ramp yang ada, dan 42 masjid tidak memiliki lift untuk bangunan bertingkat.
Kondisi ini diperparah dengan 36 masjid tanpa tempat parkir khusus dekat pintu masuk, 42 masjid tanpa toilet khusus disabilitas. Hampir seluruhnya (46 masjid) tidak memiliki toilet dengan pegangan standar yang vital bagi penyandang disabilitas.
Bahkan, dalam hal fasilitas ibadah dasar, 36 masjid tidak menyediakan tempat wudhu yang dapat diakses penyandang disabilitas.
Sebanyak 27 masjid tidak menyediakan kursi lipat, dan 19 masjid secara eksplisit melarang penggunaan alat bantu mobilitas di area shalat. Kebijakan ini secara langsung menghalangi akses beribadah.
Absennya Infrastruktur Dasar
Temuan survei P3M juga menggambarkan kondisi lebih memprihatinkan dalam aspek aksesibilitas informasi dan komunikasi pada masjid-masjid pemerintah.
Dari 47 masjid yang diteliti, nyaris seluruhnya (45 masjid) tidak menyediakan guiding-block berwarna kuning untuk tunanetra.
Sementara 46 masjid tidak menyediakan Al-Qur’an Braille, fasilitas fundamental yang memungkinkan penyandang tunanetra mengakses kitab suci secara mandiri.
Ketiadaan sistem pendukung komunikasi terlihat dari 46 masjid yang tidak memiliki penerjemah bahasa isyarat untuk ceramah dan khutbah, serta 45 masjid tanpa penerjemah bahasa isyarat hija’iyyah.
Kondisi yang secara jelas memutus akses informasi keagamaan bagi penyandang disabilitas rungu dan wicara.
Kondisi ini tidak hanya mencerminkan absennya infrastruktur dasar, tetapi juga menunjukkan kesenjangan pemahaman tentang inklusi spiritual.
SDM Masjid Belum Siap
Inklusivitas masjid tidak hanya soal infrastruktur fisik, tetapi juga kesiapan sumber daya manusia untuk melayani kebutuhan beragam jamaah.
Riset P3M mengungkap, 28 dari 47 masjid di lingkungan pemerintah tidak memiliki petugas yang siap membantu jamaah disabilitas.
Sementara 32 masjid memiliki petugas tanpa pengetahuan dasar tentang pelayanan inklusif.
Temuan ini mencerminkan urgensi peningkatan kapasitas bagi pengelola masjid, terlebih ketika fakta menunjukkan bahwa 22,97 juta penduduk Indonesia (8,5% total populasi) adalah penyandang disabilitas berdasarkan data BPS 2023.
Takmir Salah Dalil
Kiai Sarmidi juga menyoroti mindset para takmir masjid. Selama ini takmir masjid salah menggunakan dalil.
Dalil rukhsah (dispensasi beribadah) bagi penyandang disabilitas seringkali digunakan takmir masjid untuk alasan menolak pelayanan terhadap penyandang disabilitas.
“Padahal, harusnya dalil takmir masjid adalah dalil konsitusi alias pemenuhan dan penyediaan akses terhadap jamaah siapapun, termasuk para penyandang disabilitas,” ujarnya.
Dia menekankan, masjid pemerintah seharusnya bisa menjadi contoh.
“Bagaimana masjid yang dikelola masyarakat harus ramah disabilitas, jika masjid pemerintah sendiri banyak yang tidak ramah disabilitas,” ujarnya.
Padahal, kata dia, Undang-Undang Disabilitas telah disahkan 9 tahun yang lalu.
Seharusnya kalau pengaplikasiannya baik, fasilitas publik milik pemerintah sudah selesai melaksanakannya, termasuk tempat ibadah.
“Namun, ternyata banyak fasilitas publik milik pemerintah, lembaga maupun BUMN tidak bisa diakses para penyandang disabilitas,” ungkapnya.
Belum Ada Pos Anggaran Spesifik
Dr. KH. Maman Imanulhaq, Anggota DPR RI Komisi VIII, menggarisbawahi belum ada pos anggaran spesifik dalam APBN 2024 untuk masjid ramah disabilitas.
Kesenjangan kebijakan yang perlu segera diatasi melalui dana afirmatif dalam APBN 2025 untuk renovasi masjid yang aksesibel.
Karena itu, Kiai Maman yang juga menjabat Ketua ICMI Bidang Pemberdayaan Masjid ini berkomitmen akan mengusulkan dan memperjuangkan dana afirmatif dalam APBN 2025 untuk renovasi masjid yang aksesibel dan inklusif.
Sementara itu, Fatimah Asri Mutmainnah dari Komisi Nasional Disabilitas menekankan, ”UU No. 8 Tahun 2016 Pasal 14 dan Pasal 80 secara eksplisit mewajibkan pemerintah pusat dan daerah membantu pengelola rumah ibadah menyediakan sarana dan prasarana yang mudah diakses, kewajiban hukum yang nyatanya masih jauh dari implementasi ideal di lapangan”.
Apresiasi Temuan P3M
Dr. Basnang Said mewakili Kemenag RI dalam uraiannya mengapresiasi temuan survei P3M.
Temuan P3M ini mengingatkan, membuat masjid ramah disabilitas merupakan kebutuhan yang mendesak.
“Hasil riset ini menunjukkan kesenjangan yang mengkhawatirkan antara regulasi dan praktik di lapangan. Bahkan masjid-masjid di lingkungan pemerintahan yang seharusnya menjadi contoh masih jauh dari standar aksesibilitas,” ujarnya.
Riset ini berlandaskan berbagai regulasi seperti UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, UU Nomor 19 Tahun 2011 tentang Ratifikasi CRPD, Peraturan Menteri PUPR Nomor 14/PMT/M/2017, dan Peraturan Menteri PANRB Nomor 11 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik Ramah Kelompok Rentan.
Fatimah Asri Mutmainnah, Komisioner Komisi Nasional Disabilitas, menyoroti kewajiban pemerintah dalam memenuhi hak keagamaan penyandang disabilitas.
“UU No. 8 Tahun 2016 Pasal 14 secara jelas menyebutkan hak penyandang disabilitas untuk memperoleh kemudahan akses dalam memanfaatkan tempat peribadatan,” ujarnya.
Pasal 80, kata dia, bahkan mewajibkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah mendorong dan/atau membantu pengelola rumah ibadah untuk menyediakan sarana dan prasarana yang mudah diakses.
“Temuan riset P3M ini menunjukkan masih jauhnya jarak antara amanat undang-undang dengan implementasi di lapangan,” katanya.
Dr. H. Rahmat Hidayat, Sekjen Dewan Masjid Indonesia, menambahkan, perspektif fikih terkait masjid ramah disabilitas.
“Nabi Muhammad SAW pernah menjadikan Ibnu Ummi Maktum yang tunanetra sebagai muadzin dan pemimpin sementara di Madinah. Ini bukti bahwa Islam sangat menghormati penyandang disabilitas,” tuturnya.
Masjid ramah difabilitas, kata dia, bukan sekadar masalah infrastruktur, tetapi bentuk keadilan dan penghormatan terhadap hak setiap muslim untuk beribadah dengan nyaman.
“Dewan Masjid Indonesia berkomitmen penuh mendukung transformasi masjid menjadi lebih inklusif,” ujarnya.
Delapan Rekomendasi
Laporan survei P3M ini mengusulkan delapan rekomendasi strategis untuk mewujudkan masjid inklusif bagi para penyandang disabilitas:
Satu, audit dan evaluasi aksesibilitas masjid pemerintah pusat dan daerah secara menyeluruh dengan melibatkan komunitas disabilitas.
Dua, pengembangan infrastruktur fisik inklusif mencakup ramp, toilet khusus, dan guiding-block.
Tiga, peningkatan fasilitas komunikasi dan informasi termasuk Al-Qur’an Braille dan penerjemah bahasa isyarat, termasuk Hija’iyyah.
Empat, peningkatan Kapasitas SDM melalui pelatihan berkesinambungan bagi DKM dan petugas masjid.
Lima, pemberdayaan dan partisipasi penyandang disabilitas dalam perencanaan fasilitas masjid.
Enam, pengembangan kebijakan dan standar operasional untuk aksesibilitas masjid terukur.
Tujuh, pengembangan kolaborasi dan kemitraan antara pemerintah, pengelola masjid, dan organisasi disabilitas.
Delapan, transformasi masjid secara menyeluruh ini memerlukan kolaborasi aktif antara pemerintah, pengelola masjid, dan masyarakat.
Masjid harus menjadi teladan inklusi sosial, bukan justru menjadi pusat eksklusi sosial. (DW)