Oleh: Mikail Mo, Pengamat Ekonomi Politik dari The Asian Institute for Finance & Capital Market
MISKIN menurut Bank Dunia dan miskin menurut Pusat Badan Statistik (BPS) ternyata berbeda jauh. Perbedaanya terutama dalam hal metodologi, standar garis kemiskinan, dan tujuan pengukuran.
Berdasarkan metodologi dan pendekatan, BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (Basic Needs Approach). Pendekatan ini menghitung pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan pangan (2.100 kkal/hari) dan non-pangan (perumahan, pendidikan, kesehatan). Garis kemiskinan dihitung per provinsi dengan memisahkan wilayah urban dan rural, mencerminkan biaya hidup lokal.
Sementara, Bank Dunia mengadopsi —paritas daya beli (PPP)—yang dikonversi ke dolar AS untuk membandingkan kemiskinan antarnegara. Standar untuk negara berpendapatan menengah ke atas (seperti Indonesia) adalah US$6,85/hari (setara Rp3,1 juta/bulan per kapita pada 2024).

Dengan metodologi yang berbeda, membuat angka garis kemiskinan pun berbeda. Menurut BPS (Maret 2024) garis kemiskinan nasional Rp582.932/kapita/bulan, terdiri dari komponen makanan (74,44%) dan non-makanan (25,56%). Pada September 2024, garis kemiskinan naik menjadi Rp595.242/kapita/bulan.
Sementara, garis kemiskinan menurut Bank Dunia (2024) untuk negara berpendapatan menengah ke atas US$6,85/hari (Rp3,1 juta/bulan), jauh lebih tinggi dari standar BPS.
Secara persentase tentu saja hasilnya juga berbeda. Penduduk miskin menurut BPS (2024) per Maret 2024 sebesar 9,03% (25,22 juta orang), dan per September 2024 sebesar 8,57% (24,06 juta orang).
Sementara, Bank Dunia (2023–2024), dengan menggunakan standar US$6,85/hari, persentase penduduk miskin Indonesia mencapai 61,8% (2023) atau sekitar 60% (2024).
Secara tujuan pengukuran, kedua lembaga tersebut juga bebeda. BPS bertujuan untuk mengevaluasi kebijakan nasional dan program pengentasan kemiskinan berdasarkan kondisi lokal. Misalnya, data ini digunakan untuk menargetkan penerima bantuan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH).
Sementara, Bank Dunia bertujuan untuk membandingkan kemiskinan antarnegara secara global. Standar ini lebih tinggi karena mencakup kebutuhan hidup yang lebih luas dan daya beli internasional.
Perbedaan metodologi dan pendekatan yang digunakan BPS dan Bank Dunia akhirnya memunculkan implikasi yang berbeda juga. BPS menilai kemiskinan menurun (dari 9,36% pada 2023 menjadi 8,57% pada 2024), tetapi Bank Dunia menyoroti bahwa mayoritas penduduk Indonesia masih rentan jika diukur dengan standar global.
Metode dan pendekatan yang digunakan BPS perlu dikritisi. Sebab, garis kemiskinan BPS tidak mengakomodasi perubahan pola konsumsi modern (misalnya biaya internet) dan belum direvisi sejak 1998, meskipun proses penyempurnaan sedang berlangsung. Malaysia pernah merevisi garis kemiskinannya pada 2020, yang menyebabkan jumlah penduduk miskin meningkat signifikan.
Jelas, perbedaan ini menunjukkan bahwa angka kemiskinan tidak bisa ditafsirkan secara tunggal. BPS lebih relevan untuk kebijakan lokal, sementara Bank Dunia memberikan perspektif global. Pemerintah perlu mempertimbangkan kedua pendekatan untuk merancang strategi pengentasan kemiskinan yang komprehensif. Kemiskinan jangan lagi dijadikan komoditas politik dan orang miskin jangan terus “diternakan” untuk memilih pemimpin dengan suapan bansos. (*)