Hukum Jadi Perisai Dosa Persekongkolan Semu
Oleh Yazid Bindar, Guru Besar Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung.
FENOMENA persekongkolan semu terjadi dalam politik dan kekuasaan di mana pelaku kejahatan saling melindungi sekaligus menyandera satu sama lain dalam ikatan dosa kolektif.
Persekongkolan ini bukan sekadar soal korupsi atau bisnis gelap, tapi juga menyentuh ranah hukum, kekuasaan, dan institusi moral. Ironisnya, saat pertentangan kepentingan muncul, para sekutu lama berubah menjadi musuh yang saling membuka aib demi menyelamatkan diri sendiri, bukan demi keadilan.
Akibatnya, masyarakat hanya menjadi penonton dari pertunjukan penghancuran diri di kalangan elite, tanpa pernah menyentuh kebenaran yang utuh.
Dalam iklim semacam itu, keadilan menjadi ilusi karena hukum hanya berperan sebagai panggung sandiwara. Upaya menyelesaikan dosa masa lalu kerap berhenti di permukaan: rekonsiliasi elit tanpa akuntabilitas, pengampunan tanpa pengakuan.
Selama tidak ada keberanian untuk transparan dan berpegang teguh pada moralitas, persekongkolan akan terus menjadi pola yang diwariskan. Maka, satu-satunya jalan keluar adalah keberanian kolektif untuk membongkar jaringan kebusukan, menolak membalas dosa dengan dosa, dan membangun masa depan yang bersih dari warisan gelap kekuasaan.
Luka Sosial-politik dari Dosa Kolektif
Dalam sejarah sosial-politik bangsa, kita menyaksikan bahwa kejahatan kerap tidak berdiri sendiri. Ia hidup dalam ekosistem persekongkolan, tempat para pelaku saling memanfaatkan, saling melindungi, atau bahkan saling mengancam. Persekongkolan ini seperti perjanjian tak kasat mata yang mengikat mereka yang berkepentingan dengan keuntungan semu dan ketakutan yang laten.
Namun, seperti lingkaran setan, dosa yang satu seringkali melahirkan dosa yang lain. Dalam dunia persekongkolan yang semu, balasannya bukan kebaikan, melainkan dosa baru yang meniadakan dosa lama, seolah kejahatan bisa ditebus dengan kejahatan lainnya.
Dalam ruang seperti ini, kebenaran tidak punya tempat. Yang ada hanya transaksi kepentingan dan mekanisme pengkhianatan.
Persekongkolan yang Tak Terbatas pada Bisnis Gelap
Banyak yang menyangka bahwa persekongkolan hanya terjadi dalam ranah ekonomi, seperti korupsi pengadaan barang atau suap proyek infrastruktur. Padahal, persekongkolan adalah ikatan dosa kolektif yang menjalar jauh ke dalam ruang politik, penegakan hukum, hingga institusi keagamaan. Dosa-dosa itu tumbuh dalam diam, tumbuh karena didiamkan.
Ketika individu atau kelompok bersatu bukan untuk memperjuangkan keadilan atau kesejahteraan, tetapi untuk menutupi aib, menumpuk keuntungan haram, atau mempertahankan kekuasaan kotor, maka lahirlah jaringan kebusukan.
Ironisnya, jaringan ini tak perlu dibongkar oleh lembaga hukum yang adil—cukup tunggu pengkhianatan dari dalam.
Dosa Dibalas Dosa Panggung Penghancuran Diri Sendiri
Seringkali kita menyaksikan para pelaku kejahatan yang dulu tampak kompak tiba-tiba saling membuka aib. Namun, pengungkapan itu bukan demi kebenaran atau demi keadilan publik. Ia muncul dari perasaan terancam, keinginan membalas dendam, atau hanya sekadar upaya menyelamatkan diri. Inilah absurditas dari realitas politik dan hukum kita: orang jahat membuka kejahatan orang jahat lainnya.
Dalam situasi seperti itu, dosa tidak pernah benar-benar disesali. Ia hanya dipindah tangankan. Dan masyarakat pun disuguhi tontonan yang membingungkan: siapa benar, siapa salah, atau semua salah? Ruang publik dipenuhi oleh kabut kebohongan yang menyesatkan arah.
Keadilan yang Tercecer di Tengah Permainan Dosa
Dalam persekongkolan semu, hukum dan keadilan menjadi barang mewah yang kerap tercecer di tengah jalan. Banyak kebenaran yang terpotong, bukti yang disembunyikan, dan narasi yang sengaja dibengkokkan.
Satu pihak dijadikan kambing hitam, sementara yang lain tetap melenggang bebas karena memiliki “perisai kekuasaan”.
Akibatnya, proses hukum menjadi panggung drama, bukan ruang untuk menegakkan nilai moral dan keadilan substantif. Sering kali, publik pun hanya bisa menonton dalam frustrasi, mempertanyakan: apakah sistem ini masih layak dipercaya? Jika setiap penyelesaian kasus besar hanya menghasilkan pengorbanan selektif dan perlindungan struktural, keadilan hanya menjadi mitos.
Mekanisme Saling Sandera dalam Kekuasaan
Salah satu ciri khas persekongkolan semu adalah mekanisme saling sandera. Tiap pelaku memiliki rahasia yang juga diketahui oleh pelaku lain. Maka, terbentuklah keseimbangan rapuh yang dibangun bukan dari kepercayaan, tetapi dari rasa takut. Siapa pun bisa menjadi pintu bocor yang membuka tabir kejahatan kolektif yang lebih luas.
Inilah sebabnya mengapa banyak tokoh publik yang terlihat begitu berhati-hati dalam berkata dan bertindak. Satu kesalahan kecil bisa membuka kotak pandora dosa-dosa masa lalu.
Maka, kebijakan publik pun tidak lagi dibuat berdasarkan kebutuhan rakyat, tetapi berdasarkan kalkulasi penyelamatan jaringan. Kepemimpinan akhirnya kehilangan dimensi etisnya.
Dosa Lama Tak Akan Pernah Mati Bila Ditutupi
Persekongkolan semu akan terus hidup selama dosa-dosa masa lalu tak pernah diselesaikan secara tuntas. Kita kerap melihat upaya “rekonsiliasi elite”, “tutup buku masa lalu”, atau “pengampunan politik” yang dikemas demi stabilitas.
Namun, itu hanya membuat luka lama menganga lebih dalam. Sebab, dosa yang tidak ditangani, akan tumbuh menjadi kanker sistemik.
Bangsa ini terlalu sering memaafkan tanpa pengakuan, berdamai tanpa proses keadilan, dan melupakan tanpa pembelajaran. Maka tidak heran jika persekongkolan semu terus berulang dalam berbagai bentuk. Tidak ada rasa takut terhadap sistem keadilan, karena yang ditakuti justru adalah para pelaku yang saling menyandera.
Musuh dalam Sekutunya Sendiri
Ironi terbesar dari persekongkolan semu adalah kenyataan bahwa para pelaku akhirnya dijatuhkan oleh kawan lama. Kita menyaksikan tokoh-tokoh yang dulu saling membela kini saling serang.
Ini bukan hanya tentang konflik kepentingan, tetapi tentang rapuhnya ikatan yang dibangun di atas dosa bersama. Dosa, pada akhirnya, tak pernah mengenal loyalitas.
Dalam persekongkolan semu, persahabatan dibangun atas dasar kepentingan. Ketika kepentingan itu tak lagi bertaut, maka yang tersisa hanyalah dendam. Dan di situlah dimulai proses saling membuka aib, saling menjatuhkan, hingga saling menghilangkan satu sama lain. Akibatnya, publik hanya menjadi penonton dari tragedi elite yang tanpa penyucian.
Transparansi dan Keteguhan Moral sebagai Jalan Keluar
Lantas, apakah bangsa ini bisa keluar dari lingkaran dosa ini? Jawabannya ada, meskipun sulit. Dibutuhkan kepemimpinan dengan integritas moral yang tidak tunduk pada sejarah dosa kekuasaan. Dibutuhkan sistem hukum yang benar-benar merdeka dari intervensi politik, serta budaya transparansi yang tidak kompromistis terhadap dosa kolektif.
Transparansi bukan sekadar membuka akses data atau laporan keuangan. Ia adalah keberanian untuk berkata jujur di tengah tekanan.
Sementara keteguhan moral bukan hanya soal ketulusan niat, tetapi juga konsistensi dalam melawan sistem yang korup. Kita butuh lebih banyak pemimpin yang tak takut berkata “tidak” sejak awal.
Membebaskan Masa Depan dari Warisan Dosa
Dosa yang disimpan akan menjadi hantu, dosa yang dilindungi akan menjadi alat, dan dosa yang diwariskan akan menjadi warisan kelam bagi generasi berikutnya. Kita tidak sedang kekurangan narasi kebaikan, yang kurang adalah ketegasan untuk membersihkan masa lalu. Persekongkolan semu bukan takdir, tapi hasil pembiaran.
Jika kita ingin membangun masa depan yang lebih sehat, kita harus berani melepaskan diri dari jejaring dosa yang membelenggu elite politik dan birokrasi.
Kita harus berani menegakkan kebenaran meski menyakitkan. Sebab hanya dengan menolak membalas dosa dengan dosa, kita bisa mulai membangun keadilan yang sejati, dari fondasi yang bersih.