Gas! Selangkah lagi, Yaqut Tersangka Korupsi Kuota Haji
Jakarta – Dugaan keterlibatan mantan Menag Yaqut Cholil Qoumas dalam kasus korupsi kuota haji 2023 – 2024 semakin menguat karena ada pertemuan intens Yaqut dengan mantan Bendahara Umum Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah RI (Amphuri) Muhammad Tauhid Hamdi.
Untuk itu, KPK mengaku sedang mendalami pertemuan tersebut, apakah terjadi sebelum keluarnya SK pembagian kuota haji atau setelah. Jika terjadi setelah keluarnya SK, akan ditelusuri ke mana saja aliran dana di kasus tersebut.
Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu menjelaskan pendalaman tersebut dilakukan terhadap Tauhid Hamdi yang diperiksa sebagai saksi.
“Kami juga sedang mendalami pertemuan ini sebelum atau setelah. Jadi, apakah pertemuan ini sebelum terbitnya SK? Itu yang kami dalami, atau setelah terbitnya SK?” ujar Asep di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (25/9) malam.
Penerbitan SK yang dimaksud Asep adalah Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 130 Tahun 2024 tentang Kuota Haji Tambahan Tahun 1445 Hijriah/2024 Masehi yang mengatur pembagian kuota haji pada waktu tersebut.
Penyidik KPK menduga, ada pembicaraan mengenai penerbitan SK tersebut karena Tauhid Hamdi tidak mungkin diam-diam saja saat bertemu dengan Yaqut Cholil.
“Masa bertemu diam-diam saja? Kalau bertemu, ada pembicaraan. Pembicaraannya apa? Apa yang dibicarakan?” ujarnya.
Tauhid Hamdi usai diperiksa KPK mengatakan ditanya sebanyak 11 pertanyaan terkait pertemuan dirinya dengan Yaqut yang membahas kebijakan untuk kuota haji tambahan.
SEHARUSNYA SUDAH TERSANGKA
Direktur Eksekutif Merdeka Institute Mulia Siregar menilai, kasus dugaan korupsi pembagian kuota haji 2023 – 2024 sejatinya sudah terang benderang, dan KPK seharusnya sudah bisa menetapkan Yaqut sebagai tersangka utama.
Mulia menilai, ada dua hal yang bisa dijadikan alat bukti oleh KPK untuk menjerat Yaqut dan orang-orang yang terlibat.
“Pertama, keluarnya SK pembagian kuota haji tambahan 50 : 50 untuk haji reguler dan haji khusus jelas-jelas melanggar UU No 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umroh,” ujar Mulia Siregar kepada The Asian Post, Jumat (26/9).
Kedua, lanjut dia, SK pembagian kuota haji tambahan tersebut jelas-jelas memperkaya orang lain, dalam hal ini biro haji, karena mendapat tambahan kuota haji tambahan yang melabrak UU tersebut.
“Bukti lain yang bisa dijadikan alat bukti ketiga adalah aliran dana terkait kasus ini. PPATK tentu bisa memasok kebutuhan ini,” tegas Mulia.
Yang tak kalah memprihatinkan dari kasus ini, kata Mulia, adalah matinya rasa empati Menag yang mengorbankan 4,5 juta calon jamaah haji reguler yang rela antri hingga puluhan tahun untuk bisa berangkat haji.
“Hak mereka dirampas dengan memberikan kuota haji tambahan kepada biro travel haji, padahal seharusnya menjadi jatah calon haji reguler,” tegasnya.
Yaqut, kata Mulia, tidak bisa berdalih apapun untuk menghindar dari tanggung jawab, karena dialah penanggung jawab tertinggi dalam pelaksanaan haji.
“Jangan bilang atas perintah Presiden, atau demi menggerakkan ekonomi pasca-pandemi yang merontokkan bisnis travel haji dan umroh,” tuturnya.
KRONOLOGI KASUS
KPK mengumumkan memulai penyidikan kasus ini sejak 9 Agustus 2025 setelah meminta keterangan kepada Yaqut Cholil Qoumas dalam penyelidikan kasus tersebut pada 7 Agustus 2025.
KPK juga berkomunikasi dengan BPK RI untuk menghitung kerugian keuangan negara dalam kasus kuota haji tersebut yang ditaksir mencapai Rp1 triliun.
KPK mencegah tiga orang untuk bepergian ke luar negeri, yaitu Yaqut Cholil Qoumas, Selain Yaqut, Ishfah Abidal Aziz (IAA) yang merupakan staf khusus Yaqut, dan Fuad Hasan Masyhur (FHM), pemilik travel haji Maktour.
Pada 18 September 2025, KPK menduga sebanyak 13 asosiasi dan 400 biro perjalanan haji terlibat.
Kasus ini juga mendapat perhatian DPR yang kemudian membentuk Pansus Angket Haji DPR yang menemukan sejumlah kejanggalan dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun 2024.
Poin utama yang disorot pansus adalah perihal pembagian kuota 50 berbanding 50 dari alokasi 20.000 kuota tambahan yang diberikan Pemerintah Arab Saudi.
Saat itu, Kementerian Agama membagi kuota tambahan 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus.
Hal tersebut tidak sesuai dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, yang mengatur kuota haji khusus sebesar 8 persen, sedangkan 92 persen untuk kuota haji reguler. DW