Dinamika Kekuasaan yang Terbelenggu
Oleh Yazid Bindar, Guru Besar Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung.
Kekuasaan yang Hidup dalam Bayangan
C-Man adalah figur formal pemegang kekuasaan yang sah. Ia duduk di puncak piramida legitimasi, namun sesungguhnya terjerat dalam jaring halus AB-Man, sosok yang hidup di balik layar, yang merasa bahwa kekuasaannya masih terus mengalir melalui tubuh C-Man.
Dalam narasi ini, kekuasaan bukan sekadar posisi atau jabatan, melainkan arus kendali yang dapat berpindah, menetes, dan bahkan meresap ke dalam tubuh simbolik lain yang dianggap masih mewakilinya.
C-Man seolah menjadi bayang yang dipinjamkan makna—suatu bentuk kekuasaan yang sah secara formal, tetapi tak bebas menentukan arah gerak.
Dalam politik metaforik ini, AB-Man adalah semacam “roh pengendali”, yang menolak mati secara simbolik. Ia hidup dalam persepsi bahwa struktur kekuasaannya belum runtuh. Ia memanfaatkan legitimasi C-Man untuk memperpanjang napas kekuasaannya sendiri, sambil menempatkan D sebagai “benih cadangan” yang akan segera tumbuh bila batang utama tumbang.
Legitimasi Semu dan Konstruksi Kekuasaan Ganda
Fenomena ini dapat dibaca sebagai bentuk dualisme legitimasi, di mana kekuasaan formal dan kekuasaan simbolik saling bertumpuk. C-Man menjadi perwujudan dari kekuasaan legalistik, sementara AB-Man menguasai struktur bawah tanah berupa jaringan relawan dan simpul-simpul akar serabut.
Struktur ini mirip sistem rhizome dalam teori Deleuze dan Guattari — jaringan tak bertingkat, menyebar, namun saling menguatkan melalui koneksi lateral yang sulit dilacak.
Namun, kekuasaan yang berpijak pada akar serabut seperti itu juga memiliki paradoksnya sendiri. Ia kuat dalam penyebaran, tetapi lemah dalam kohesi.
Ketika C-Man, sebagai batang pohon simbolik, mulai menggugurkan daun dan ranting yang berhubungan dengan jaringan akar itu, maka hubungan-hubungan serabut pun mulai terputus, tercerai, dan kehilangan pusat orientasi.
Legitimasi AB-Man, yang semula mengandalkan vitalitas jaringan tersebut, perlahan menjadi rapuh karena kehilangan akses langsung terhadap tubuh simbolik kekuasaan formal.
Keterbelengguan Tubuh Kekuasaan
C-Man dalam kondisi demikian tidak dapat bergerak bebas. Ia berada dalam posisi paradoks: di satu sisi, ia adalah simbol kedaulatan, namun di sisi lain, seluruh instrumen kekuasaannya masih terikat pada akar lama yang dikendalikan AB-Man.
Kondisi ini menimbulkan fenomena yang oleh Antonio Gramsci disebut sebagai “hegemoni pasif” — ketika kekuasaan yang tampak aktif sebenarnya hanya menjalankan fungsi-fungsi yang telah ditentukan oleh kekuatan yang tak lagi berdaulat secara formal.
Keterbelengguan itu tampak dalam cara C-Man harus terus menavigasi antara kehendak personal dan tuntutan struktural dari jaringan lama.
Ia tidak bisa sepenuhnya memotong akar, karena akar itu masih menopang legitimasi sebagian basis sosialnya; tetapi ia juga tidak bisa membiarkan akar itu tumbuh liar, karena dari situlah tumbuh kembali bentuk kekuasaan tandingan yang dapat mengancam dirinya.
Di titik inilah politik menjadi semacam ritual saling menahan, di mana tidak ada pihak yang benar-benar berdaulat.
AB-Man sebagai Arsitek Ilusi Kekuasaan
AB-Man memainkan peran sebagai arsitek ilusi kekuasaan. Ia tidak lagi berkuasa secara hukum, tetapi ia tetap mengontrol makna kekuasaan. Ia menempatkan orang-orangnya dalam lingkaran C-Man — termasuk D sebagai representasi yang disiapkan mengambil alih bila sistem formal runtuh.
Strategi ini menggambarkan bentuk politik reproduksi kekuasaan: ketika penguasa lama tidak mau mati secara simbolik, ia menanam bibit regeneratif di tubuh kekuasaan baru.
Dalam sistem ini, D menjadi “organ bayangan”, sebuah alat cadangan untuk mempertahankan kesinambungan pengaruh. Bila tubuh utama (C-Man) tumbang, D telah siap berdiri di atas reruntuhan dengan narasi bahwa ia adalah penerus yang sah secara moral, meskipun tidak secara konstitusional.
Dengan demikian, AB-Man sebenarnya tidak hanya membangun jaringan, tetapi juga skenario kesinambungan kekuasaan, di mana loyalitas personal lebih menentukan daripada legitimasi hukum.
Jaringan Serabut dan Mekanisme Pengaruh
Metafor akar serabut yang digunakan untuk menggambarkan jaringan AB-Man menunjukkan cara kerja kekuasaan yang tidak hierarkis tetapi tersebar.
Ia bekerja seperti jaringan mikoriza dalam ekologi hutan — tak terlihat di permukaan, namun menyuplai nutrisi dan informasi ke berbagai simpul. Dalam politik, ini bisa dibaca sebagai jaringan relawan, loyalis, atau aktor sosial yang mengalirkan legitimasi simbolik kepada pusat kekuasaan bayangan.
Namun, jaringan ini rentan terhadap fragmentasi makna. Ketika C-Man secara sadar berupaya menggugurkan simpul-simpul jaringan itu, maka setiap elemen kehilangan orientasi pusatnya.
Fenomena ini mirip dengan disintegrasi jaringan sosial ketika terjadi “de-legitimasi simbolik”: sebuah kondisi di mana identitas kolektif kehilangan figur pengikat. Kekuasaan AB-Man mulai rapuh bukan karena kekalahan militer atau hukum, melainkan karena patah di ranah makna dan kesetiaan simbolik.
Disrupsi dari Dalam Tubuh Kekuasaan
C-Man tampak memanfaatkan strategi yang tak kalah subtil: menggugurkan jaringan lama bukan melalui konfrontasi langsung, tetapi melalui pembusukan dari dalam. Dengan cara ini, ia memotong aliran loyalitas tanpa menimbulkan benturan terbuka.
Setiap simpul yang dulu menguatkan AB-Man kini dibiarkan kehilangan oksigen politiknya, hingga akhirnya mati secara perlahan. Inilah bentuk politik dekonstruktif, di mana kekuasaan meniadakan lawannya tanpa pertumpahan darah, tetapi dengan menghapus fondasi sosialnya.
Namun, strategi ini mengandung risiko besar. Dalam banyak kasus, proses pemutusan jaringan lama menciptakan ruang hampa loyalitas. Tanpa akar sosial yang kuat, C-Man berisiko kehilangan basis dukungan yang lebih luas.
Ia mungkin terbebas dari cengkeraman AB-Man, tetapi juga kehilangan energi kolektif yang pernah menopang legitimasi pemerintahannya. Dengan demikian, pembebasan dari pengaruh lama tidak selalu menghasilkan kekuatan baru, melainkan kekosongan makna yang berbahaya.
Pertarungan antara Simbol dan Struktur
Pada tingkat yang lebih dalam, relasi antara AB-Man dan C-Man dapat dibaca sebagai pertarungan antara simbol dan struktur. AB-Man mewakili kekuasaan simbolik yang masih hidup dalam memori kolektif; C-Man mewakili kekuasaan struktural yang beroperasi dalam sistem formal.
Ketika keduanya bertumpuk, politik berubah menjadi arena perebutan makna: siapa yang dianggap “sah” oleh rakyat, bukan sekadar siapa yang “berwenang” secara hukum.
Dalam konteks seperti itu, kekuasaan formal kehilangan otoritasnya bila gagal mengisi ruang simbolik. Sebaliknya, kekuasaan lama tetap hidup selama ia mampu memproduksi makna yang dipercaya masyarakat.
Inilah yang disebut Pierre Bourdieu sebagai “modal simbolik”, yaitu bentuk kekuasaan yang tidak bergantung pada institusi, tetapi pada pengakuan sosial. AB-Man mungkin telah kehilangan jabatan, tetapi belum kehilangan simbol keagungan. Di situlah akar serabutnya terus mencari jalan.
Kerapuhan yang Menjadi Takdir Kekuasaan
Meski tampak kompleks, seluruh sistem metaforik ini pada dasarnya menggambarkan satu hal: kerapuhan kekuasaan yang bergantung pada relasi personal, bukan pada sistem yang sehat.
Ketika kekuasaan dibangun di atas loyalitas individu dan jaringan informal, maka ia akan rapuh terhadap pergeseran kepercayaan. Dalam perspektif teori sistem Niklas Luhmann, kekuasaan yang demikian bukanlah sistem otonom, melainkan sistem yang bergantung pada reproduksi kontinuitas personal, sehingga begitu salah satu elemen jatuh, seluruh struktur ikut berguncang.
Kerapuhan itu semakin tampak ketika C-Man mulai memutus akar lama. Sistem yang tampak stabil sebenarnya berada di ambang disintegrasi. AB-Man terus menggenggam, C-Man terus menggugurkan. Di antara keduanya, D menunggu kesempatan.
Inilah siklus kekuasaan yang tak pernah selesai: pengendalian, perlawanan, dan regenerasi — tiga fase abadi dalam sejarah politik yang tak hanya hidup di dunia nyata, tetapi juga dalam struktur metaforik kesadaran sosial kita.
Politik Sebagai Jaringan Tak Pernah Mati
Pada akhirnya, metafora jaringan kekuasaan ini menunjukkan bahwa kekuasaan tidak pernah benar-benar berpindah; ia hanya bertransformasi dari bentuk ke bentuk lain, dari tangan ke bayangan, dari simbol ke struktur.
AB-Man, C-Man, dan D hanyalah nama-nama bagi fase berbeda dari siklus dominasi: yang satu mencipta, yang lain menjalankan, dan yang ketiga menunggu kesempatan untuk melanjutkan.
Jaringan serabut yang dulu menopang kini bisa tercerai, tetapi sisa-sisa pengaruhnya tetap hidup di tanah sosial. Seperti akar yang tak mati meski batangnya tumbang, kekuasaan lama terus mencari jalan untuk muncul kembali — mungkin dalam bentuk yang lebih lembut, atau lebih keras, tergantung bagaimana tubuh kekuasaan baru menegakkan dirinya.
Politik, dalam pengertian ini, bukan hanya soal siapa yang berkuasa, tetapi bagaimana makna kekuasaan terus direproduksi bahkan setelah ia seharusnya berakhir.