Demokrasi Palsu Membawa Negara Sakit
Oleh Yazid Bindar, Guru Besar Institute Teknologi Bandung.
Demokrasi palsu atau pseudo-democracy merujuk pada sistem politik yang secara formal mengadopsi mekanisme demokratis seperti pemilu dan lembaga perwakilan, namun dalam praktiknya mengalami distorsi melalui manipulasi institusional, kooptasi kekuasaan, dan penindasan terhadap oposisi.
Ini dapat diobservasi melalui pengenalan ciri-ciri utama demokrasi palsu berdasarkan praktik yang kerap terjadi di berbagai negara, termasuk Indonesia, dengan merujuk pada literatur akademik dan laporan internasional.
Demokrasi palsu merupakan ancaman serius bagi tatanan demokrasi yang sejati. Meskipun secara formal mengadopsi institusi demokratis, praktik-praktik yang manipulatif dan represif mengikis substansi demokrasi. Penting bagi masyarakat sipil, akademisi, dan komunitas internasional untuk mengidentifikasi dan menanggapi gejala-gejala demokrasi palsu guna menjaga integritas demokrasi.
Demokrasi palsu, yang ditandai dengan pelaksanaan ritual demokrasi formal tanpa substansi partisipasi rakyat yang sejati dan maraknya manipulasi serta kooptasi institusi, secara inheren akan melahirkan kondisi demokrasi sakit.
Dalam demokrasi yang sakit ini, prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, supremasi hukum, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia menjadi tergerus hebat; lembaga-lembaga negara tidak lagi berfungsi untuk melayani kepentingan publik, melainkan menjadi instrumen bagi kepentingan elit penguasa dan kroni-kroninya, sementara praktik korupsi, kriminalisasi terhadap oposisi, serta polarisasi sosial dibiarkan merajalela.
Pada gilirannya, demokrasi yang telah sakit parah ini akan menyeret negara ke dalam kondisi “negara sakit,” di mana kapasitas negara untuk menjalankan fungsi-fungsi esensialnya seperti menyediakan keadilan, kesejahteraan, dan keamanan bagi seluruh warga negara menjadi lumpuh, legitimasi pemerintah terus merosot, dan negara berisiko mengalami instabilitas kronis serta kegagalan dalam mencapai tujuan nasionalnya.
Pemilu sebagai Prosedur, Bukan Partisipasi Otentik
Dalam konteks demokrasi prosedural yang menyimpang, pelaksanaan pemilihan umum secara berkala tidak selalu menjadi jaminan bahwa kehendak rakyat terwujud secara otentik dan bebas. Praktik politik uang, di mana calon legislatif menginvestasikan sejumlah besar dana untuk memobilisasi dukungan atau “membeli” suara, menjadi salah satu faktor utama yang mengaburkan prinsip kedaulatan rakyat.
Fenomena ini menciptakan sebuah ilusi partisipasi, di mana aspek formal demokrasi seperti pemungutan suara tetap berjalan, namun esensi dari pilihan yang bebas dan rasional dari warga negara terdistorsi oleh transaksi finansial. Akibatnya, individu yang terpilih belum tentu merepresentasikan aspirasi masyarakat yang sebenarnya, melainkan lebih kepada kekuatan modal yang dimiliki.
Kondisi ini mencerminkan apa yang sering disebut sebagai demokrasi prosedural atau demokrasi elektoral semata, yang lebih menitikberatkan pada pemenuhan aspek-aspek formal dan mekanis dari proses demokrasi, seperti penyelenggaraan pemilu yang reguler, tanpa memperhatikan kualitas substansial dari partisipasi politik itu sendiri.
Ketika politik uang merajalela, prinsip kesetaraan dalam kompetisi politik menjadi tercederai, dan akuntabilitas pejabat terpilih cenderung bergeser dari kepada konstituen menjadi kepada para penyandang dana atau kepentingan tertentu yang memfasilitasi kemenangannya.
Dengan demikian, demokrasi yang berjalan hanyalah sebuah formalitas, jauh dari ideal demokrasi substantif yang menghendaki adanya partisipasi publik yang bermakna dan pemerintahan yang benar-benar berasal dari, oleh, dan untuk rakyat.
Kooptasi Lembaga Penyelenggara Pemilu
Kooptasi lembaga penyelenggara pemilu melalui penempatan individu-individu tertentu yang loyal sejak dini di parlemen merupakan strategi untuk memastikan bahwa lembaga tersebut akan bertindak sesuai dengan arahan pihak-pihak yang mengendalikan atau “mengatur” jalannya demokrasi.
Proses seleksi dan penetapan anggota lembaga penyelenggara pemilu yang dilakukan oleh parlemen, jika didominasi oleh kepentingan politik tertentu atau kelompok yang berkuasa, berpotensi besar menghasilkan individu-individu yang integritas dan independensinya diragukan.
Calon-calon yang “dititipkan” atau memiliki afiliasi kuat dengan kekuatan politik dominan cenderung akan lebih mengutamakan loyalitas kepada pihak yang mempromosikan mereka daripada kepada prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu yang jujur, adil, dan transparan.
Akibatnya, lembaga yang seharusnya menjadi wasit netral dalam kontestasi politik berubah menjadi instrumen untuk melanggengkan kekuasaan status quo.
Fenomena ini menciptakan situasi di mana independensi lembaga penyelenggara pemilu hanya bersifat formalitas, sementara secara substansial ia berada di bawah kendali kekuatan politik tertentu.
Keputusan-keputusan krusial yang diambil oleh lembaga tersebut, mulai dari verifikasi peserta pemilu, pengaturan daerah pemilihan, hingga penanganan sengketa hasil pemilu, berisiko tinggi diintervensi dan diarahkan untuk menguntungkan pihak “pengatur demokrasi”.
Ketergantungan para komisioner atau anggota lembaga kepada pihak yang menempatkan mereka akan membuat mereka enggan atau tidak berani mengambil tindakan yang bertentangan dengan kehendak patron politiknya.
Pada akhirnya, kepercayaan publik terhadap integritas proses pemilu akan terkikis, dan demokrasi elektoral hanya akan menjadi fasad untuk melegitimasi kekuasaan yang sesungguhnya telah diatur sebelumnya.
Instrumentalisasi Mahkamah Konstitusi
Instrumentalisasi Mahkamah Konstitusi melalui penempatan hakim-hakim yang memiliki loyalitas kepada penguasa sejak awal merupakan taktik strategis yang digunakan oleh “pengatur demokrasi” untuk mengamankan kepentingan mereka.
Dengan memastikan bahwa mayoritas atau setidaknya figur-figur kunci dalam Mahkamah Konstitusi adalah individu yang dapat diprediksi keputusannya atau memiliki utang budi politik, penguasa dapat secara efektif mengendalikan interpretasi konstitusi. Mekanisme seleksi dan pengangkatan hakim konstitusi yang rentan terhadap intervensi politik, baik secara langsung maupun tidak langsung, menjadi pintu masuk bagi kooptasi lembaga yudikatif tertinggi ini.
Akibatnya, Mahkamah Konstitusi yang seharusnya berfungsi sebagai benteng terakhir penjaga konstitusi dan hak-hak warga negara, berpotensi berubah menjadi alat legitimasi bagi kebijakan-kebijakan penguasa, sekalipun kebijakan tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan negara hukum.
Konsekuensi dari instrumentalisasi ini sangatlah serius dan dapat merusak sendi-sendi demokrasi. Mahkamah Konstitusi yang telah terkooptasi akan cenderung mempermudah upaya perubahan konstitusi yang menguntungkan elit penguasa atau kelompoknya, misalnya dengan melonggarkan batasan masa jabatan atau memperkuat kewenangan eksekutif secara tidak proporsional.
Lebih lanjut, dalam konteks sengketa hasil pemilihan umum, Mahkamah Konstitusi yang tidak independen akan sulit diharapkan untuk memberikan putusan yang adil dan objektif.
Gugatan-gugatan yang memiliki dasar hukum kuat namun berpotensi merugikan pihak penguasa kemungkinan besar akan ditolak atau diabaikan, sebagaimana kerap terjadi di negara-negara dengan rezim otoriter atau yang mengalami kemunduran demokrasi.
Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi tidak lagi menjalankan fungsinya sebagai pengawal konstitusi, melainkan menjadi stempel bagi agenda politik penguasa.
Penegakan Hukum yang Selektif dan Represif
Penegakan hukum yang selektif dan represif merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum yang hanya menindak hukum secara sepihak, tergantung pada kepentingan pihak-pihak tertentu, terutama mereka yang memiliki kekuasaan dalam sistem demokrasi.
Dalam konteks ini, hukum tidak lagi berfungsi sebagai instrumen keadilan yang netral, melainkan sebagai alat untuk melegitimasi tindakan penguasa dan meredam kritik dari kelompok oposisi atau masyarakat sipil.
Selektivitas dalam penegakan hukum tampak jelas ketika pelanggaran yang dilakukan oleh kelompok yang dekat dengan kekuasaan dibiarkan atau diproses secara lambat, sementara pelanggaran serupa oleh kelompok lain ditindak cepat dan keras.
Sifat represif dari penegakan hukum semakin memperparah ketimpangan demokratis, karena aparat bertindak keras terhadap perbedaan pendapat, demonstrasi damai, atau kritik terhadap pemerintah. Kekuasaan demokratis yang seharusnya lahir dari kehendak rakyat justru membungkam aspirasi tersebut melalui tindakan hukum yang tidak adil.
Dalam situasi ini, hukum berubah menjadi instrumen penaklukan, bukan pelindung hak-hak warga negara. Praktik seperti ini mencederai prinsip negara hukum dan memperlemah kepercayaan publik terhadap institusi hukum dan demokrasi itu sendiri.
Maka, penting untuk memastikan bahwa penegakan hukum tetap imparsial dan berorientasi pada keadilan substantif, bukan sekadar melayani kepentingan politik kekuasaan.
Manipulasi Digital dalam Pemilu
Manipulasi digital dalam pemilu merupakan ancaman serius terhadap integritas demokrasi, di mana teknologi dimanfaatkan untuk merekayasa hasil pemilihan agar sejalan dengan kehendak “pengatur demokrasi” atau elit yang berkuasa.
Dalam skenario ini, partisipasi rakyat dalam memberikan suara seolah-olah hanya menjadi seremoni formal untuk memenuhi syarat adanya proses demokrasi.
Namun, di balik layar, data pilihan rakyat yang terekam secara digital dapat dimanipulasi dengan relatif mudah dan sistemik. Bentuk manipulasi ini bisa beragam, mulai dari peretasan terhadap sistem penghitungan suara elektronik, penyebaran disinformasi masif yang terkoordinasi untuk mempengaruhi persepsi pemilih, hingga intervensi langsung pada basis data hasil pemilu untuk mengubah angka perolehan suara.
Konsekuensinya, hasil pemilu yang diumumkan tidak lagi mencerminkan aspirasi rakyat yang sesungguhnya, melainkan hasil rekayasa yang telah diatur sebelumnya.
Kemudahan dalam melakukan manipulasi digital secara sistemik, terutama jika tidak diimbangi dengan sistem keamanan siber yang kuat, transparansi data yang memadai, dan audit forensik digital yang independen, menciptakan ilusi demokrasi yang berjalan normal.
Rakyat tetap datang ke tempat pemungutan suara dan menggunakan hak pilihnya, namun pilihan mereka menjadi tidak bermakna karena data akhir telah dikendalikan dan diubah. Fenomena ini menggerogoti esensi kedaulatan rakyat dan mengubah pemilu dari ajang kompetisi yang adil menjadi sebuah sandiwara yang hasilnya telah ditentukan.
Kooptasi Partai Politik melalui Koalisi Besar
Kooptasi partai politik melalui pembentukan koalisi besar merupakan strategi efektif bagi “pengatur demokrasi” untuk mengonsolidasikan kekuasaan dan mengendalikan arah politik secara menyeluruh.
Dengan merangkul hampir seluruh kekuatan partai politik ke dalam satu gerbong koalisi, proses legislasi dan pengambilan keputusan politik menjadi sangat mudah diarahkan sesuai kehendak elit penguasa.
Pembahasan dan pengesahan undang-undang yang krusial bagi agenda “pengatur demokrasi,” termasuk yang berkaitan dengan penataan ulang lembaga-lembaga negara atau aturan main demokrasi itu sendiri, dapat berjalan mulus tanpa hambatan berarti.
Lebih lanjut, koalisi raksasa ini juga mempermudah penempatan orang-orang pilihan dan loyal kepada penguasa untuk menduduki posisi pimpinan di berbagai lembaga pengendali, mulai dari lembaga penyelenggara pemilu, lembaga peradilan, hingga lembaga audit negara, yang semuanya vital dalam menjaga keseimbangan kekuasaan.
Pembentukan koalisi besar yang nyaris tanpa oposisi ini secara inheren mengebiri fungsi kontrol dan pengawasan (checks and balances) yang seharusnya menjadi pilar utama dalam sistem demokrasi. Ketika sebagian besar atau bahkan seluruh partai politik berada dalam lingkaran kekuasaan, suara kritis dan alternatif kebijakan menjadi langka atau bahkan lenyap sama sekali.
Partai-partai yang tergabung dalam koalisi cenderung dikendalikan melalui berbagai instrumen, seperti alokasi sumber daya negara yang tidak proporsional, ancaman atau intimidasi hukum bagi individu atau partai yang mencoba bersikap kritis, serta iming-iming jabatan atau konsesi kekuasaan lainnya.
Akibatnya, parlemen dan institusi politik lainnya tidak lagi berfungsi sebagai arena perdebatan yang sehat dan pengimbang kekuasaan eksekutif, melainkan berubah menjadi alat stempel kebijakan penguasa, yang pada gilirannya melemahkan akuntabilitas dan kualitas demokrasi secara keseluruhan.
Pembenaran Ilmiah terhadap Praktik Pengaturan Demokrasi
Dalam upaya melegitimasi praktik pengaturan demokrasi, pemerintah atau “pengatur demokrasi” seringkali memanfaatkan figur-figur ahli, akademisi, serta lembaga penelitian dan pusat kajian untuk membangun justifikasi ilmiah.
Para pakar ini dapat digalang untuk menghasilkan analisis, kajian, atau testimoni publik yang mendukung kebijakan-kebijakan yang sejatinya bertujuan untuk mengendalikan atau memanipulasi proses demokrasi demi kepentingan penguasa.
Dengan mengatasnamakan objektivitas dan keahlian ilmiah, narasi yang dibangun berusaha meyakinkan publik bahwa langkah-langkah yang diambil, meskipun tampak kontroversial atau menyimpang dari prinsip demokrasi ideal, didasarkan pada pertimbangan rasional, data empiris, atau kebutuhan mendesak demi stabilitas dan pembangunan.
Legitimasi semu ini penting bagi penguasa untuk meredam kritik dan menciptakan persepsi bahwa tindakan mereka adalah demi kebaikan bersama, bukan untuk melanggengkan kekuasaan semata.
Penciptaan narasi pendukung melalui pembenaran ilmiah ini secara efektif mengaburkan batasan antara analisis objektif dan agenda politik tersembunyi. Lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menghasilkan pengetahuan yang kritis dan independen, berisiko terkooptasi atau secara sukarela terlibat dalam proses justifikasi demi mendapatkan akses, sumber daya, atau pengakuan dari pemerintah.
Akibatnya, diskursus publik didominasi oleh pandangan yang mendukung status quo, sementara suara-suara alternatif atau kritik yang berbasis pada prinsip-prinsip demokrasi universal dikesampingkan atau bahkan didiskreditkan sebagai tidak ilmiah atau tidak realistis.
Fenomena ini sangat berbahaya karena tidak hanya menipu publik, tetapi juga merusak integritas dunia akademik dan intelektual, serta memperlancar jalan bagi erosi demokrasi secara sistematis atas nama “ilmu pengetahuan”.
Penggunaan Buzzer Mengendalikan Opini Publik
Penggunaan buzzer baika sebagai pekerjaan berbayar atau sukarela oleh pengatur demokrasi mencerminkan pergeseran signifikan dalam cara opini publik dibentuk dan dikendalikan di era digital.
Buzzer, yang merupakan individu atau kelompok yang secara terorganisir menyebarkan narasi tertentu melalui media sosial, sering kali dibayar oleh aktor politik atau institusi untuk mendukung agenda tertentu.
Dalam konteks ini, pengatur demokrasi — baik itu partai politik, pemerintah, atau organisasi yang memiliki kepentingan strategis — menggunakan jasa buzzer untuk menciptakan ilusi dukungan publik, menyerang oposisi, atau meredam kritik. Praktik ini dilakukan melalui penyebaran konten secara masif, penggunaan tagar populer, atau manipulasi algoritma media sosial untuk menaikkan visibilitas isu yang mereka inginkan.
Dampak dari penggunaan buzzer ini sangat kompleks. Di satu sisi, mereka dapat mempercepat penyebaran informasi dan meningkatkan partisipasi politik. Namun, di sisi lain, praktik ini rawan disalahgunakan untuk menyebarkan disinformasi, membungkam perbedaan pendapat, dan mengaburkan batas antara opini publik yang organik dan yang direkayasa.
Ketika opini publik dikendalikan melalui cara-cara artifisial seperti ini, proses demokrasi menjadi rentan terhadap manipulasi. Masyarakat sulit membedakan mana aspirasi murni warga negara dan mana hasil operasi sistematis dari pengatur opini.
Hal ini berpotensi mengikis kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi dan memperkuat polarisasi sosial yang didorong bukan oleh perbedaan pandangan rasional, tetapi oleh kampanye terstruktur yang sering kali tersembunyi.
Kriminalisasi terhadap Tokoh Kritis
Kriminalisasi terhadap tokoh-tokoh kritis merupakan salah satu taktik represif yang sering digunakan oleh “pengatur demokrasi” untuk membungkam oposisi dan suara-suara yang berbeda.
Ketika aparat penegak hukum yang telah berada di bawah kendali atau dipengaruhi kuat oleh pengatur demoktasi dalam kekuasaan dimana independensi mereka dalam menjalankan fungsi penegakan hukum menjadi tergerus.
Akibatnya, hukum tidak lagi ditegakkan secara adil dan imparsial, melainkan menjadi instrumen kekuasaan untuk menekan lawan-lawan politik atau individu yang vokal mengkritik kebijakan pemerintah. Tokoh-tokoh yang dianggap mengancam stabilitas kekuasaan atau mengungkap praktik-praktik koruptif dan penyalahgunaan wewenang oleh penguasa menjadi sasaran empuk proses kriminalisasi.
Proses kriminalisasi ini seringkali dilakukan melalui berbagai modus operandi, seperti rekayasa kasus, penggunaan pasal-pasal karet dalam undang-undang yang multitafsir (misalnya, pencemaran nama baik, ujaran kebencian, atau makar), hingga penyalahgunaan kewenangan dalam proses penyidikan dan penuntutan.
Tuduhan-tuduhan hukum yang diarahkan kepada para tokoh kritis tidak jarang dipaksakan atau dicari-cari, dengan tujuan utama bukan untuk menegakkan keadilan, melainkan untuk memberikan efek jera (chilling effect), merusak reputasi, menguras energi dan sumber daya mereka, serta mengisolasi mereka dari dukungan publik.
Dengan demikian, penegak hukum yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam melindungi hak-hak warga negara dan menjamin keadilan, justru berubah menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan otoritarian yang terselubung di balik fasad demokrasi.
Polarisasi dan Fragmentasi Masyarakat
Polarisasi dan fragmentasi masyarakat seringkali menjadi kondisi yang secara sengaja diciptakan atau diperburuk oleh “pengatur demokrasi” untuk mempertahankan cengkeraman kekuasaan mereka.
Dengan membelah masyarakat ke dalam kelompok-kelompok yang saling berseberangan dan curiga, elit penguasa dapat mencegah terbentuknya front persatuan yang solid yang berpotensi menantang dominasi mereka.
Strategi ini umumnya diimplementasikan melalui penyebaran propaganda yang bersifat memecah belah, yang mengeksploitasi perbedaan identitas, baik itu suku, agama, ras, maupun ideologi politik.
Narasi-narasi yang mengedepankan sentimen “kami versus mereka” secara terus-menerus diproduksi dan disebarluaskan melalui berbagai saluran media, termasuk media sosial, untuk memperdalam jurang pemisah dan menumbuhkan ketidakpercayaan antar kelompok dalam masyarakat.
Tujuan utama dari politik pecah belah ini adalah untuk menciptakan konflik horizontal yang berkelanjutan, sehingga energi dan perhatian masyarakat terkuras untuk saling bergesekan satu sama lain, bukan untuk mengkritisi atau mempertanyakan kebijakan dan tindakan penguasa. Isu-isu struktural yang lebih mendasar, seperti ketimpangan ekonomi, korupsi sistemik, atau kegagalan tata kelola pemerintahan, secara efektif dialihkan dan tertutupi oleh hiruk-pikuk konflik identitas atau perseteruan antar kelompok.
Dalam kondisi masyarakat yang terpolarisasi dan terfragmentasi, “pengatur demokrasi” lebih mudah mengendalikan narasi publik, memobilisasi dukungan berdasarkan sentimen kelompok, dan pada akhirnya melanggengkan status quo yang menguntungkan mereka, sementara agenda perbaikan struktural yang esensial bagi kemaslahatan bersama terabaikan.
Pembiaran Korupsi Tumbuh Kembang
Pembiaran terhadap praktik korupsi hingga tumbuh subur dan meluas seringkali bukan merupakan kelalaian semata, melainkan bisa menjadi strategi terselubung yang dimanfaatkan oleh “pengatur demokrasi” untuk mempermudah agenda pengendalian mereka.
Dalam lingkungan yang sarat dengan korupsi, muncul “kegaduhan” atau hiruk-pikuk yang konstan seputar berbagai kasus dan skandal. Kegaduhan ini, secara paradoksal, dapat mengalihkan perhatian publik dari upaya sistematis untuk merusak institusi demokrasi atau dari isu-isu kebijakan fundamental yang lebih krusial.
Lebih lanjut, ketika korupsi menjadi begitu merajalela dan melibatkan banyak aktor di berbagai tingkatan, batas antara benar dan salah menjadi kabur, dan tingkat toleransi masyarakat terhadap penyimpangan pun dapat meningkat, sehingga memudahkan praktik-praktik antidemokrasi berjalan tanpa resistensi yang signifikan.
Lebih jauh, pembiaran korupsi menciptakan situasi di mana banyak individu, terutama mereka yang berada dalam posisi strategis di pemerintahan atau lembaga politik, memiliki “dosa-dosa korupsi” yang dapat dijadikan alat sandera oleh “pengatur demokrasi.”
Figur-figur yang terlibat dalam praktik koruptif menjadi rentan terhadap tekanan dan manipulasi; mereka dapat dipaksa untuk mengikuti arahan atau mendukung kebijakan tertentu dengan ancaman bahwa kasus korupsi mereka akan diungkap atau diproses secara hukum jika menolak.
Dengan demikian, individu-individu yang terjerat korupsi ini berubah menjadi pion-pion yang patuh, yang dapat dimanfaatkan untuk meloloskan regulasi yang menguntungkan elit, mengisi jabatan-jabatan kunci dengan personel yang loyal, atau bahkan memanipulasi proses elektoral. Korupsi, dalam konteks ini, bukan hanya sekadar penyakit sosial, tetapi juga menjadi alat kontrol politik yang efektif.