Oleh Abdullah Umar, Pengamat Ekonomi dan Politik
Dulu, kita pernah berdiri tegak di atas mimbar sejarah, mengangkat tinggi lima pilar ideologi yang disusun dalam mantra: USDEK.
Itu bukan sekadar akronim, tetapi arah angin zaman, sebuah kompas ideologis di tengah gelombang pascakolonial yang kacau.
UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Nasional adalah perahu yang ingin membawa kita menyeberangi samudera imperialisme.
Negeri ini ingin berdiri di atas kaki sendiri, mengutip langit-langit sejarah dan mencetak ulang takdir dengan huruf-hurufnya sendiri.
Namun zaman berubah, dan bersama waktu, ideologi pun memudar dalam hingar-bingar transaksi global.
Hari ini, peta arah digambar ulang bukan dengan pena revolusi, tetapi dengan grafik pertumbuhan, peringkat investasi, dan indeks daya saing.
Kita tak lagi bicara tentang ekonomi terpimpin, melainkan pasar terbuka yang lebih peduli pada stabilitas fiskal ketimbang suara petani.
Dulu, mimbar orasi dibangun untuk menggugah kesadaran rakyat, kini mimbar itu berganti panggung startup, roadshow investasi, dan negosiasi dagang.
Kita tak lagi bertanya: “Apa arti Indonesia?” melainkan “Berapa nilai valuasi dan ekspor kuartal ini?”
Apakah ini kemajuan? Atau hanya perubahan wajah dari pengaruh yang sama? Apakah kita kini lebih merdeka karena bisa memilih? Atau justru semakin terseret oleh arus, tanpa sempat bertanya ke mana arah seharusnya kita tuju?
Namun satu hal tak pernah berubah: kerinduan akan jati diri, akan keberpihakan, akan keadilan yang berpihak pada manusia.
Di balik geliat ekonomi dan wajah pembangunan, masih ada ruang sunyi dalam jiwa bangsa yang bertanya: “Apakah kita sedang tumbuh, atau sekadar menjauh dari akar?”
Dan dalam ruang sunyi itulah, kita menyadari sesuatu yang lebih dalam: bahwa dunia hari ini sedang berubah secara brutal, bukan hanya oleh krisis iklim atau perang dagang, tetapi oleh sistem penjajahan baru yang tak lagi menggunakan kapal perang, melainkan utang, ketergantungan digital, dan ekspansi pasar.
Indonesia yang besar ini kini menghadapi penjajahan yang lebih halus: bukan dari luar semata, tapi dari dalam, dari mentalitas yang bangga mengekspor mentah dan mengimpor jadi dari elit yang menjadikan kebijakan publik sebagai alat tawar politik, bukan sebagai warisan nilai untuk anak cucu bangsa.
Industrialiasi sejati belum hadir. Yang ada adalah pabrik pengemasan dan tambang bahan mentah.
Kita terlalu lama menjadi pengguna teknologi, bukan penciptanya.
Demokrasi kita pun ringkih. Dibungkus euforia elektoral tapi dikendalikan algoritma kepentingan.. Kita menyebutnya reformasi, tapi rakyat sering hanya jadi latar panggung. Sementara keputusan besar diambil demi koalisi, bukan demi keberlangsungan.
Ketika krisis global datang, resesi, disrupsi, konflik geopolitik, kita terkesima, bukan bersiap.
Kita ikut panik, bukan antisipatif. Karena sejak awal, kita tidak membangun ketahanan, kita hanya membangun pertumbuhan yang rapuh.
Inilah paradoks zaman kita: negeri yang katanya kaya, tapi terlalu miskin dalam kedaulatan arah dan keberanian menolak dominasi asing.
Negeri yang katanya demokratis, tapi terlalu diam saat suara rakyat dibisukan oleh janji pemilu lima tahunan. Kini, saat sejarah mengetuk kembali, kita harus bertanya bukan hanya ke mana kita pergi, tetapi untuk siapa semua ini dibangun.
Apakah kita akan terus membiarkan arah bangsa ditentukan oleh rating investor dan arahan donor luar negeri? Apakah kita akan terus menjadi penonton dari kapitalisme global yang menari di atas sumber daya kita, sementara petani, buruh, nelayan, dan guru kita terpinggirkan
Atau… apakah kita akan mulai menulis bab baru peradaban ini dengan tangan kita sendiri, dengan keberanian yang tak lagi disandera kepentingan jangka pendek?Sudah saatnya kita kembali menyusun ulang haluan.
Bukan nostalgia USDEK yang kaku, tetapi semangatnya yang hidup, yaitu:
- Keberpihakan pada rakyat
- Keberanian dalam kemandirian
- Keteguhan menjaga jati diri bangsa.
Kita butuh industrialisasi yang tidak sekadar membangun pabrik, tetapi membangun kedaulatan teknologi dan kemampuan mencipta.
Kita butuh demokrasi yang tidak hanya memilih pemimpin, tetapi memperkuat suara rakyat dalam setiap keputusan anggaran dan kebijakan.
Kita butuh pembangunan yang tidak menjadikan rakyat sebagai objek data statistik, tetapi sebagai subjek perubahan yang diajak, bukan diarahkan semata.
Karena negeri ini terlalu besar untuk hanya dijadikan pasar. Terlalu kaya untuk hanya menjadi lumbung bahan mentah. Terlalu berharga untuk dipertaruhkan demi rating elektoral.
Mari kita rebut kembali Indonesia. Bukan dari penjajah asing, tapi dari pengabaian kita sendiri. Dari kebiasaan menyerah, dari mental “cukup stabil”, dari logika “yang penting aman”.
Mari kita rawat kembali impian besar para pendiri bangsa: bahwa Indonesia berdiri bukan untuk menjadi peniru, tetapi untuk menjadi pelopor.
Sebab, bangsa yang besar bukan hanya yang kuat secara angka, tapi yang berani menetapkan arah, walau arus dunia bertiup ke arah yang lain. (*)