BI dan 56 Bank Teken Perjanjian Derivatif, OIS Jadi Instrumen Baru Hedging

Jakarta- Bank Indonesia (BI) bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan 56 bank menandatangani perjanjian induk derivatif antarbank sekaligus meluncurkan transaksi derivatif baru berupa Overnight Index Swap (OIS), Jumat 26 September 2025.

Instrumen OIS adalah mekanisme pertukaran suku bunga tetap dengan suku bunga mengambang (floating) harian yang mengacu pada indeks suku bunga semalam.

Peluncuran aturan transaksi OIS oleh BI diharapkan memperluas alternatif instrumen lindung nilai (hedging) terhadap risiko perubahan suku bunga domestik.

Langkah ini ditujukan memperkuat transmisi kebijakan moneter sekaligus mendukung pembentukan kurva imbal hasil (yield curve) yang transparan di pasar uang.

Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti, menegaskan arah kebijakan 2025 tetap fokus menjaga stabilitas sekaligus pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

Di pasar uang, prioritas pengembangan ditujukan pada peningkatan volume transaksi untuk memperkuat likuiditas REPO dan OIS. Pricing yang lebih efisien dengan acuan INDONIA dan OIS Curve ditargetkan mampu membentuk struktur tenor suku bunga dari 2 minggu hingga 12 bulan.

Sementara itu, pada pasar valuta asing, pengembangan diarahkan pada peningkatan transaksi DNDF dan FX Swap, ditambah pembentukan struktur nilai tukar non-USD/IDR.

“Selain sebagai instrumen mitigasi risiko suku bunga, pengembangan OIS berbasis INDONIA diarahkan untuk mendukung tercapainya sasaran strategis pembentukan harga yang forward looking, transaction-based pada seluruh tenor, serta terbentuk secara efisien, transparan, dan kredibel sejalan dengan rencana penghentian publikasi JIBOR per 1 Januari 2026,” ujar Destry.

Lima Manfaat OIS

Kepala Ekonom Bank Mandiri, Andry Asmoro, menyebut inisiatif BI melalui pengembangan OIS berbasis INDONIA merupakan bagian penting dari upaya pendalaman pasar keuangan.

“Tentu saja kalau transaksinya semakin besar akan membuat market lebih efisien. Pada akhirnya kalau semakin efisien akan menurunkan biaya untuk dunia usaha terutama di perbankan. Ini tentu akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” kata Asmoro.

Asmoro memaparkan lima manfaat utama OIS. Pertama, peningkatan likuiditas serta transparansi karena OIS berbasis INDONIA menambah pilihan instrumen interest rate hedging di dalam negeri.

Kedua, kehadiran instrumen DNDF (Domestic Non Deliverable Forward) juga memperluas opsi lindung nilai valas yang lebih kredibel untuk memperdalam pasar di luar instrumen spot, repo, dan obligasi.

DNDF adalah kontrak hedging valuta asing dalam denominasi rupiah tanpa penyerahan fisik valas, sehingga membantu menjaga stabilitas kurs.

Ketiga, OIS mendukung penguatan price discovery. “OIS berbasis suku bunga acuan INDONIA menggantikan JIBOR sehingga membentuk kurva suku bunga Rupiah yang kredibel,” ujarnya.

Keempat, standarisasi kontrak CSA menekan risiko counterparty dan mendorong partisipasi lebih luas. Kelima, potensi arus masuk modal yang lebih besar.

“Kebijakan ini akan mendorong likuiditas pasar derivatif yang lebih dalam. Demudian instrumen Rupiah lebih menarik bagi investor asing, hingga akhirnya meningkatkan aliran modal jangka pendek maupun menengah. Nah, (OIS) ini sebenarnya kebijakan yang dibutuhkan untuk stabilisasi nilai tukar Rupiah,” tambah Asmoro.

Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA), David E. Sumual, menilai langkah BI memperkaya instrumen finansial dapat mendorong aktivitas transaksi tetap berada di dalam negeri.

“Dengan tambahan instrumen hedging ini, kita berharap transaksi finansial yang biasanya dilakukan di offshore bisa lebih banyak dilakukan di onshore,” katanya.

Ia menekankan keberadaan perjanjian induk derivatif antarbank memberi kepastian hukum. Dengan adanya perjanjian induk, maka masalah yang biasanya mengganggu bisa terselesaikan. (*)

You might also like
Komentar Pembaca

Your email address will not be published.