Bahan Bakar Fosil Dikuras Habis, Gas Karbonnya Dikubur, Generasi Berikut Gigit Jari
Oleh Yazid Bindar, Guru Besar Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung.
MINYAK bumi, gas alam, dan batu bara adalah anugerah yang hanya sekali saja diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Proses geologis yang membentuknya memerlukan jutaan tahun, melewati rangkaian tekanan, panas, dan waktu yang tak bisa direplikasi oleh tangan manusia mana pun.
Namun manusia modern—yang hidup di abad yang disebut maju—memperlakukan anugerah ini seperti barang dagangan yang tersedia tanpa batas. Ketiga bahan bakar fosil tersebut memang menjadi fondasi utama mobilitas, industri, pangan, dan teknologi; mereka adalah mesin ekonomi dunia yang membuat kehidupan kita super nyaman. Tetapi kenyamanan ini dibangun di atas fondasi yang tidak terbarukan dan terbatas.
Ironisnya, bahan bakar fosil yang sesungguhnya diperuntukkan agar bisa menghidupi umat manusia sepanjang keberadaan bumi, kini diperlakukan hanya sebagai komoditas bisnis. Manusia mengurasnya secepat mungkin, bukan karena kebutuhan semata, melainkan karena logika profit, kompetisi, dan kerakusan ekonomi.
Logika ini berubah menjadi budaya: semakin cepat dikuras, semakin besar keuntungan yang diperoleh. Maka, manusia modern sesungguhnya bukan sedang menggunakan energi, tetapi sedang merampas jatah generasi yang bahkan belum lahir.
Percepatan Pengurasan dan Kehilangan Hak Generasi Berikutnya
Generasi saat ini menyatakan bahwa bahan bakar fosil masih banyak. Mereka lalu berkelit bahwa cadangan minyak belum benar-benar habis, cadangan gas masih cukup untuk beberapa dekade, dan batu bara masih bisa ditambang dalam jumlah raksasa.
Namun, apa yang disebut “masih banyak” itu sesungguhnya hanyalah hasil mengambil jatah milik generasi berikutnya. Ketika manusia mengurasnya dengan kecepatan yang belum pernah terjadi dalam sejarah geologi bumi, maka setiap barel minyak atau ton batu bara yang diambil hari ini adalah jatah masa depan yang dirampas.
Generasi berikutnya, yang tak bisa membela diri hari ini, hanya akan menjadi korban pasif. Mereka akan mewarisi dunia tanpa sumber energi yang selama ini menjadi tulang punggung peradaban industri dan teknologi.
Kita tidak tahu bagaimana kelak kehidupan mereka tanpa bahan bakar fosil—apakah mereka dapat mengembangkan teknologi pengganti? Apakah mereka mampu mempertahankan standar kehidupan yang nyaman seperti kita? Belum tentu.
Dan karena belum tentu, pengurasan ini sesungguhnya adalah bentuk ketidakadilan terbesar yang dilakukan manusia modern terhadap keturunannya sendiri.
Saat Kenyamanan Menbawa Bencana Iklim
Selain merampas jatah generasi mendatang, ada satu lagi kesalahan besar yang dilakukan generasi sekarang: membakar bahan bakar fosil dalam jumlah besar dan dalam waktu yang sangat pendek.
Dalam satu abad terakhir, emisi CO₂ melonjak melampaui ambang batas alami bumi. Gas CO₂ yang dilepaskan ke atmosfer tidak dapat hilang begitu saja, karena siklus karbon tidak mampu menyerap angka yang begitu tinggi dalam tempo yang demikian singkat. Akumulasi CO₂ inilah yang menjadi penyebab utama global warming.
Pemanasan global bukan sekadar istilah akademik; ia adalah realitas yang sudah terasa sekarang—perubahan pola cuaca, mencairnya es di kutub, peningkatan suhu permukaan laut, hingga frekuensi bencana iklim yang semakin ekstrem.
Semua ini terjadi bukan karena “takdir alam”, tetapi karena pilihan manusia untuk membakar energi fosil tanpa batas. Ironisnya, manusia modern menikmati kenyamanan AC, transportasi cepat, industri masif, dan internet global—tetapi tidak merasa bersalah telah menghasilkan bencana yang akan diwariskan kepada anak cucunya.
Hilangnya Rasa Bersalah dan Etika Energi Antar-Generasi
Sikap manusia saat ini menunjukkan bahwa mereka tidak merasa bertanggung jawab menghabiskan jatah bahan bakar fosil bagi generasi berikutnya. Tidak ada rasa bersalah kolektif. Tidak ada kesadaran bahwa energi ini adalah amanah yang harusnya dijaga lintas generasi.
Yang muncul justru pembenaran demi pembenaran: “ekonomi butuh berkembang”, “teknologi membutuhkan energi”, “pasar mengatur segalanya”, dan berbagai retorika lain yang sesungguhnya hanya membungkus watak rakus peradaban modern.
Padahal, jika dipandang dari etika antar-generasi, perilaku manusia saat ini adalah pengkhianatan terhadap masa depan. Generasi yang hidup hari ini menikmati kenyamanan luar biasa dari energi fosil, tetapi tidak memberi ruang bagi generasi mendatang untuk menikmati hal serupa.
Kita menikmati kuliner global, perjalanan murah, listrik melimpah, dan barang-barang modern; sementara mereka kelak akan hidup di dunia yang lebih panas, lebih ekstrem, dan tanpa sumber energi yang selama ini menjadi tulang punggung kemajuan.
Mengubur CO2, Ilusi Teknologi untuk Menutupi Dosa Energi
Ketika manusia dituntut untuk membatasi emisi CO₂ ke udara, respons yang muncul bukanlah mengurangi konsumsi bahan bakar fosil, melainkan mencari cara untuk terus membakar sambil menyembunyikan limbahnya.
Lalu, muncullah ide CCS—Carbon Capture and Storage—yang dianggap sebagai solusi ajaib untuk menangkap CO₂ dan menguburnya kembali ke perut bumi. Secara teoritis, teknologi ini terdengar canggih dan penuh harapan.
Namun, secara etis, CCS hanyalah dalih untuk melanjutkan ketergantungan pada energi fosil.
Mengubur CO₂ ke perut bumi tidak mengubah akar masalah konsumsi berlebihan. Ia sekadar menutupi jejak eksternalitas lingkungan agar industri fosil dapat terus hidup.
Lebih buruk lagi, CCS memberikan ilusi moral bahwa manusia telah bertanggung jawab terhadap lingkungan, sehingga tidak perlu mengubah pola konsumsi energi. Dengan kata lain, CCS adalah mekanisme psikologis sekaligus teknologis untuk melanjutkan dosa energi sambil mengurangi rasa bersalah.
Teknologi Penutup Luka Tanpa Menghentikan Sumber Luka
Kelemahan paling mendasar dari CCS adalah bahwa ia menangani gejala, bukan mengatasi penyebab. Penyebab utama tetaplah konsumsi tak terkendali bahan bakar fosil. Seberapa banyak CO₂ yang dapat ditangkap? Masih jauh dari emisi yang dihasilkan oleh industri global.
Seberapa aman penyimpanannya dalam jangka ribuan tahun? Tidak ada kepastian. Maka, CCS sesungguhnya adalah plester tipis yang ditempel di atas luka menganga akibat kerakusan manusia.
Di sisi lain, CCS menciptakan ketergantungan baru: industri-perusahaan besar dapat mengklaim bahwa produk mereka menjadi “net-zero” atau “hijau” meski proses produksinya masih bergantung pada bahan bakar fosil.
Narasi ini, sering disebut greenwashing, menutupi kenyataan bahwa bumi membutuhkan pengurangan drastis konsumsi energi fosil, bukan sekadar penangkapan emisi yang kecil dibanding total pembakarannya. Dengan kata lain, CCS bukan solusi; ia hanyalah kamuflase peradaban.
Kenyamanan yang Dibangun di Atas Utang Ekologis
Generasi sekarang hidup sangat nyaman karena mereka secara tidak sadar meminjam bahan bakar fosil dari generasi mendatang. Ini adalah bentuk “utang ekologis”.
Namun, berbeda dengan utang finansial, utang ekologis tidak dapat dibayar kembali. Tidak ada teknologi yang mampu menciptakan kembali minyak bumi, gas alam, dan batu bara dalam skala geologis. Tidak ada mekanisme untuk mengembalikan jutaan tahun proses pembentukan kepada generasi cucu kita.
Dengan demikian, kenyamanan modern—AC, smartphone, perjalanan udara, mobil pribadi, industri makanan, dan kemewahan digital—adalah kenyamanan yang dibangun dengan cara mencicil kehancuran masa depan.
Kita menikmati saat ini, sementara generasi berikutnya akan membayar harga yang jauh lebih mahal. Mereka akan menghadapi dunia yang panas, penuh konflik sumber daya, dan tanpa bahan energi utama yang menopang peradaban.
Inilah ironi besar: kita memuja kemajuan teknologi, tetapi sekaligus merampas masa depan dari anak cucu kita.
Saatnya Mengakui Dosa Energi dan Menata Ulang Peradaban
Apa yang dibutuhkan kini bukan sekadar solusi teknis seperti CCS atau efisiensi energi, tetapi pengakuan jujur bahwa manusia telah salah arah dalam mengelola energi fosil. Kita harus berhenti memandang bahan bakar fosil sebagai komoditas bisnis dan kembali memandangnya sebagai amanah ekologis yang harus dikelola secara bijaksana.
Tanpa kesadaran moral bahwa pengurasan ini adalah tindakan tidak adil, maka kebijakan apa pun hanya akan menjadi kosmetik.
Transisi energi harus dipahami bukan sebagai penghentian mendadak fosil, karena itu tidak realistis, tetapi sebagai upaya sistematis mengurangi ketergantungan sambil membangun alternatif yang benar-benar berkelanjutan.
Generasi hari ini harus mengambil langkah berani: membatasi konsumsi fosil, mendorong energi terbarukan yang benar-benar bersih, dan mengubah budaya hidup boros energi menjadi budaya hemat energi.
Jika tidak, peradaban manusia hanya akan menjadi kisah tentang generasi yang menghancurkan masa depan demi kenyamanan sesaat.
Menentukan Warisan Peradaban
Pada akhirnya, persoalan energi fosil adalah persoalan moral. Apakah kita ingin dikenang sebagai generasi yang merampas jatah anak cucunya? Ataukah sebagai generasi yang sadar lalu memperbaiki arah?
Kita masih memiliki waktu, walau tidak banyak, untuk menentukan warisan macam apa yang ingin kita tinggalkan. Entah warisan berupa bumi yang lebih panas, lebih miskin energi, dan lebih kacau; atau bumi yang lebih adil secara ekologis bagi generasi yang akan datang.
Keputusan itu ada di tangan kita sekarang. Karena kelak, generasi yang datang setelah kita tidak dapat mengubah masa lalu. Mereka hanya dapat menanggung akibatnya.
Dan jika kita terus menghabiskan bahan bakar fosil secepat-cepatnya, merampas jatah mereka, serta menyembunyikan dosa CO₂ di perut bumi, maka kita bukan hanya melakukan kesalahan ilmiah, tetapi juga melakukan pengkhianatan terbesar antar-generasi dalam sejarah manusia.


