“Dalam kasus ini, HSF diberi tugas berhubungan dengan vendor dalam hal teknis proyek KTP-el dan pernah diminta oleh Irman mengawal konsorsium, yakni PNRI, Astragraphia, dan Murakabi Sejahtera. HSF ditugaskan untuk membenahi administrasi supaya dipastikan lulus,” ujar Saut pula.
Tersangka Husni diduga tetap meluluskan tiga konsorsium, meskipun ketiganya tidak memenuhi syarat wajib, yakni mengintegrasikan “Hardware Security Modul” (HSM) dan “Key Management System” (KMS).
“Sebagaimana telah muncul di fakta persidangan dan pertimbangan hakim dalam perkara dengan terdakwa Setya Novanto, tersangka HFS diduga diperkaya 20 ribu dolar AS dan Rp10 juta,” ujar Saut.
Terakhir, KPK menjelaskan peran tersangka Paulus Tannos.
Sebelum proyek KTP-el dimulai pada 2011, kata Saut, tersangka Paulus diduga telah melakukan beberapa pertemuan dengan pihak-pihak vendor dan tersangka Husni dan Isnu di sebuah ruko di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan.
Padahal Husni dalam hal ini adalah Ketua Tim Teknis dan juga panitia lelang.
“Pertemuan-pertemuan tersebut berlangsung kurang lebih selama 10 bulan dan menghasilkan beberapa output di antaranya adalah “Standard Operating
Procedure” (SOP) pelaksanaan kerja, struktur organisasi pelaksana kerja, dan spesifikasi teknis yang kemudian dijadikan dasar untuk penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang pada tanggal 11 Februari 2011 ditetapkan oleh Sugiharto selaku PPK Kemendagri,” katanya.
Tersangka Paulus juga diduga melakukan pertemuan dengan Andi Agustinus, Johannes Marliem, dan tersangka Isnu untuk membahas pemenangan konsorsium PNRI dan menyepakati fee sebesar 5 persen sekaligus skema pembagian beban “fee” yang akan diberikan kepada beberapa anggota DPR RI dan pejabat pada Kemendagri.
“Sebagaimana telah muncul dalam fakta persidangan dan pertimbangan hakim dalam perkara dengan terdakwa Setya Novanto, PT Sandipala Arthaputra diduga diperkaya Rp145,85 miliar terkait proyek KTP-el ini,” kata Saut pula. []