Pendanaan Infrastruktur Era Prabowo Rp10.303 Triliun, Naik Tiga Kali Lipat Dibanding Jokowi
Sorotan:
- Pendanaan infrastruktur era Prabowo melonjak hingga tiga kali lipat demi mengejar target pertumbuhan ekonomi 8%.
- Kebutuhan investasi swasta ikut melesat empat kali lipat, total kebutuhan pendanaan tembus Rp 10.303 triliun.
- Kemenko IPK menegaskan pembiayaan infrastruktur tidak bisa lagi bertumpu pada APBN dan butuh skema baru yang agresif.
Jakarta- Pemerintah tengah gencar mengejar target pertumbuhan ekonomi 8 persen, salah satunya dengan menggenjot pembangunan infrastruktur.
Alhasi, kebutuhan pendanaan infrastruktur di era Presiden Prabowo Subianto tembus Rp10.303 triliun. Angka ini naik tajam dibanding era Presiden ke-7, Joko Widodo (Jokowi).
Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur Dasar Kementerian Koordinator Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan (Kemenko IPK), Rachmat Kaimuddin mengatakan, pendanaan infrastruktur di era Prabowo naik tiga kali lipat dibandingkan era Jokowi. Kenaikan tersebut adalah yang dihitung dari kebutuhan pembiayaan kas negara.
“Di zamannya Pak Jokowi yang pertama dan yang kedua, itu kenaikannya sebenarnya secara persentase tidak seberapa. Tapi begitu yang zamannya Pak Prabowo yang pertama, itu dibutuhkan tiga kali lipat pendanaan infrastruktur. Yang top line-nya, tiga kali lipat, untuk mencapai 8%,” ujarnya dalam Rapat Koordinasi Pengembangan Wilayah di Kementerian Pekerjaan Umum, Jakarta Pusat, Kamis (4/12).
Sementara itu kebutuhan pendanaan dari swasta naik hingga empat kali lipat. Sehingga, secara total, kebutuhan pendanaan infrastruktur era Prabowo menyentuh Rp10.303 triliun. Rinciannya, Rp7.212 dari kas negara sementara Rp3.091 berasal dari pendanaan swasta.
Sebagai perbandingan, periode pertama kepemimpinan Jokowi realisasi investasi sektor infrastruktur sebesar Rp 2.896 triliun. Di mana jika dirinci Rp 2.400 triliun dari pendanaan negara, sedangkan Rp495 triliun dari swasta.
Lalu di periode kedua, realisasi investasi sebesar Rp3.307 triliun dengan rincian Rp2.561 triliun dari kas negara dan Rp746 dari swasta.
Rachmat menilai kebutuhan investasi sektor infrastruktur ini menjadi tantangan yang tidak mudah dan tidak bisa hanya mengandalkan APBN.
“Ini adalah PR kita bersama yang tentunya sangat-sangat berat, dan perlu kita pikirkan cara-cara yang baru untuk membiayai pendanaan infrastruktur kita, karena sudah jelas kita tidak bisa hanya bergantung kepada APBN,” tutupnya. (*)


