Praktisi Hongkong Ini Serukan 4 Strategi Ciptakan Resiliensi Sistem Pembayaran, Apa Saja?
Poin Penting:
- Digitalisasi memberikan kemudahan dalam sistem pembayaran. Namun, digitalisasi juga membuka celah semakin besar terhadap serangan siber dan rentan terhadap tantangan lainnya.
- Ukraina menjadi contoh negara dimana sistem pembayaran dapat berjalan lancar di tengah bencana perang.
- Ini dapat diwujudkan melalui penguatan skema sistem pembayaran domestik, penguatan antar akun, penggunaan mata uang digital, dan pembentukan central bank digital currency (CBDC) yang mengakomodasi layanan offline.
- Bank Indonesia (BI) perlu memasukkan keempat strategi itu ke dalam BSPI 2030.
Bali – Digitalisasi telah merambah ke berbagai sektor, tanpa terkecuali sektor keuangan. Di sektor keuangan, digitalisasi menginfiltrasi berbagai lini bisnis, dari operasional, layanan, sampai sistem pembayaran.
Maka dari itu, dibutuhkan sistem digital yang robust untuk memfasilitasi kebutuhan industri keuangan, terlebih pada sistem pembayaran, yang langsung berkenaan dengan aktivitas transaksi keuangan masyarakat, sebagaimana disampaikan Senior Vice President, Head of Asia Pasific Fime Consulting Hong Kong, James Daniels.
“Dunia terus mengalami perubahan besar. Serangan siber, kegagalan sistem, dan perubahan geopolitik, menjadikannya tak mudah untuk merancang sistem pembayaran yang resilien menghadapi semua masalah tersebut,” ujar James dalam paparannya berjudul Digital Payment Trend: Unlocking Sustainable Resilience and Progressive Growth” saat acara Prima Executive Meeting 2025 di Nusa Dua, Bali, Kamis, 23 Oktober 2025.
Ia menjelaskan, krisis keuangan bisa dipicu dari berbagai hal yang kita barangkali tak duga sebelumnya. Pertama, ada bencana alam, seperti banjir, gempa bumi, sampai letusan gunung berapi yang dapat menghalangi akses ke bank, mobile banking, atau mesin ATM. Ini semakin diperparah dengan serangan siber dan perubahan geopolitik yang dapat terjadi sangat cepat.
“Kita tahu bahwa ada seorang pemimpin yang bisa mengubah ekonomi dunia hanya dengan satu keputusan, dalam waktu semalam. Kita telah melihat hal ini belum lama,” tegasnya.
Ia lalu memberikan salah satu contoh nyata dari Ukraina yang sedang terlibat konflik dengan Rusia. Bank sentral Ukraina mengeluarkan kebijakan untuk mengurangi penggunaan uang tunai dalam bertransaksi, dan menggantinya dengan penggunaan pembayaran digital.
Bank sentral Ukraina berkolaborasi dengan sektor retail, seperti toko farmasi, gas station, dan lainnya, untuk mengurangi penggunaan tunai melalui pembayaran elektronik.
“Bahkan, saat serangan drone, saat pengeboman, mereka mengelola untuk menjaga sistem pembayaran elektronik itu tetap berjalan dengan persentase kelancaran di atas 90 persen,” sebut James.
Di samping itu, Ukraina juga menerapkan sistem ID perbankan, dimana sistem ini adalah sistem ID yang beroperasi secara remote, yang memberikan masyarakat akses ke layanan keuangan dan menyediakan layanan tersebut secara online.
Uniknya, Ukraina tak hanya mengandalkan sistem digital dalam melayani kebutuhan keuangan masyarakat. Ukraina juga melakukan hybrid, membuat akses ke layanan keuangan tetap bisa dilakukan secara fisik (offline capability). Sehingga, masyarakat Ukraina tetap bisa mengunjungi layanan keuangan fisik dan ekonomi berfungsi secara normal di tengah serangan Rusia terhadap infrastruktur Ukraina.
Ia kemudian menerangkan, untuk mewujudkan resiliensi seperti yang Ukraina lakukan, dibutuhkan empat strategi yang saling terkait satu sama lain. Hanya menerapkan satu strategi saja, tak akan bisa menciptakan sistem pembayaran yang resilien.
Mengingat, setiap strategi mempunyai kekuatan tersendiri yang berbeda untuk menangani setiap tantangan yang berbeda. Mengadopsi keempatnya akan saling menguatkan satu sama lain sebagai pondasi yang kokoh untuk digitalisasi.
Strategi pertama yakni memperkuat skema sistem pembayaran domestik. Hal ini dapat dicapai dengan membangun infrastruktur yang solid untuk penerapan sistem pembayaran digital, seperti penerbitan kartu contactless yang mendorong inklusi dan resiliensi, terlebih saat solusi mobile mengalami kegagalan.
Stakeholders juga perlu mengurangi ketergantungan pada jaringan kartu kredit/debit global melalui penguatan kedaulatan sistem pembayaran domestik. Dengan menerapkan strategi ini, sistem pembayaran domestik akan memiliki sistem deteksi fraud yang lebih baik dan implementasi perubahan kebijakan lokal yang lebih cepat.
Strategi kedua, penguatan dari satu akun ke akun lainnya. Penguatan antar akun ini dapat dilakukan dengan terus mengembangkan inovasi dan kompetisi layanan berbasis digital dalam sektor keuangan, serta mengurangi ketergantungan pada satu provider.
Lalu, strategi ketiga, yakni mata uang digital atau digital currency. Penggunaan digital currency seperti Stablecoin, James jelaskan, menambah keberagaman dalam mekanisme pembayaran digital.
“Ini dapat menjadi alternatif lain dari kartu kredit/debit tradisional dan jaringan bank,” cetusnya.
Menurutnya, penggunaan digital currency bisa mewujudkan P2P settlement yang lebih terdesentralisasi. Dengan memiliki stablecoin berbasis mata uang lokal, maka suatu negara dapat mengurangi ketergantungan pada stablecoin berbasis US dolar.
“Stablecoin adalah private enterprise yang beroperasi pada private jaringan. Tak ada keterhubungan dengan sistem kartu konvensional atau akun-akun pembayaran. Ini benar-benar tak terhubung, jadi melindunginya dari kegagalan sistemik,” papar James.
Kemudian, strategi terakhir ialah membangun bank sentral untuk mata uang digital atau central bank digital currency (CBDC) yang mengakomodasi layanan offline. Baginya, adanya layanan offline, menjadikan kehadiran CBDC bernilai bagi masyarakat. Ini menjadi penopang yang vital saat ada pemadaman internet atau infrastruktur.
“Contohnya adalah Tiongkok. Yuan sekarang tak hanya berfungsi offline, tapi juga dalam jaringan online. Jika baterai gadget anda mati, anda tetap masih bisa membayar dengan yuan,” terang James.
“Anda harus membangun sistem yang memungkinkan anda bisa bertransaksi, bahkan ketika handphone anda mati,” tekannya.
Terlepas dari pendekatan strategi di atas, James memuji progres cepat yang sudah dilakukan Indonesia dalam mengembangkan sistem pembayarannya, seperti salah satunya melalui Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025 dan yang sebentar lagi akan diluncurkan, yakni BSPI 2030.
“Jangan kira negara-negara barat seperti Amerika Serikat (AS) lebih maju. Mereka berada jauh di belakang. Jadi, Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia sangat esensial,” beber James.
Akan tetapi, ia juga menyarankan pemerintah atau regulator keuangan Indonesia agar memasukkan strategi soal sistem kartu, penguatan antar akun, CBDC, dan stablecoin ke dalam rancangan BSPI 2030. SW


