Kerugian Akibat Cyber Crime Bisa Tembus USD23,84 T di 2027, BI: BSPI 2030 Siap Meluncur
Poin penting:
- Digitalisasi membuka celah lebih besar bagi serangan siber.
- IMF dan FBI memproyeksikan kerugian global akibat kejahatan siber melonjak dari USD8,44 triliun di 2022 menjadi USD23,84 triliun di 2027.
- Berbagai bentuk serangan siber membuat kerugian global akibat cyber crime melonjak.
- BSPI 2030 disiapkan untuk mengimbangi digitalisasi dengan manajemen risiko.
Jakarta – Era digitalisasi telah membuat proses pembayaran berlangsung efisien dan seamless. Namun, hal itu juga membuka celah bagi pelaku kejahatan untuk melakukan aksi ilegal.
Menanggapi kondisi ini, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Filianingsih Hendarta menyampaikan bahwa percepatan digitalisasi perlu diimbangi dengan pemuatan literasi, keamanan, dan perlindungan konsumen.
“Kita tahu kejahatan fraud dan serangan siber terus menjadi perhatian utama, seiring dengan kencangnya laju digitalisasi. Kejahatan fraud dan insiden siber yang semakin marak adalah ancaman nyata yang semakin berkembang,” ujar Filianingsih dalam rekaman virtual pembukaan acara PRIMA Executive Gathering 2025 di Nusa Dua, Bali, Kamis, 23 Oktober 2025.
Filianingsih menerangkan lebih lanjut, data International Monetary Fund (IMF) dan Federal Bureau of Investigation (FBI) memproyeksikan kerugian global akibat kejahatan siber melonjak dari USD8,44 triliun di 2022 menjadi USD23,84 triliun di 2027.
Lonjakan kerugian tersebut disebabkan oleh semakin kompleksnya bentuk kejahatan dan serangan siber, mulai dari malware attack, account takeover, synthetic ID, deepfake atau AI-driven attack, serta social atau phishing attack yang menargetkan masyarakat dunia.
“Kondisi tersebut adalah konsekuensi logis dari pertumbuhan besar transaksi digital,” beber Filianingsih.
Dari sisi supply, transaksi yang semakin real-time memperbesar tantangan dalam pencegahan transaksi mencurigakan. Jumlah pelaku di industri terus bertambah, namun belum diikuti kemampuan yang setara dalam mengelola risiko. Ketergantungan pelaku industri kepada pihak ketiga penyedia teknologi turut semakin memperbesar kompleksitas dalam pengendalian risiko.
Sementara dari sisi demand, layanan pembayaran yang semakin menjangkau seluruh lapisan masyarakat telah memperbesar kompleksitas dalam pengendalian risiko, yang diakibatkan oleh perbedaan tingkat literasi masyarakat.
Maka dari itu, dibutuhkan kolaborasi intens antara otoritas dan industri sistem pembayaran untuk menangani serangan siber. Bank Indonesia, sambung Filianingsih, telah menyiapkannya lewat Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2030.
“Dalam konteks inilah, BSPI 2030 yang adalah kelanjutan dari BSPI 2025 hadir untuk menyeimbangkan antara perluasan adopsi digital dengan pemuatan manajemen risiko,” tegasnya.
Menurut Filianingsih, BSPI 2030 yang mengusung lima key inisiatives, yakni infrastruktur, struktur industri, inovasi, internasional, dan rupiah digital, dapat menjadi landasan arah kebijakan ke depan dalam membangun sistem pembayaran yang berdaya tahan.
Melalui BSPI 2030, nantinya infrastruktur sistem pembayaran akan semakin diperkuat dan disinergikan. Infrastruktur data akan diintegrasikan dengan infrastruktur sistem pembayaran untuk memperkuat ketahanan siber. Di samping itu, kapasitas fraud detection system pelaku industri juga diperkuat, salah satunya dengan pemanfaatan teknologi artificial intelligence (AI).
“Struktur industri sistem pembayaran juga akan ditata secara proporsional, berdasarkan kemampuan pelaku dalam mengendalikan risiko, serta kontribusinya pada perekonomian,” tekannya.
Tujuan itu dicapai melalui tiga strategi, yakni penataan kepesertaan, penataan aktivitas usaha, dan reformasi regulasi. Regulasi terkait penggunaan layanan dari negara penunjang bakal diperkuat, termasuk tata cara dalam keterhubungannya dengan pelaku industri.
Filianingsih mengatakan, Dewan Gubernur Bank Indonesia baru saja menyetujui pokok-pokok pengaturan rancangan BSPI 2030 terkait pengaturan industri sisi pembayaran di tanggal 31 Juli lalu.
Bank Indonesia saat ini sedang melakukan uji empiris terhadap rancangan ketentuan tersebut, baik secara eksternal bersama industri dan K/L terkait, maupun secara internal lintas satuan kerja di lingkungan Bank Indonesia. SW


