Transaksi Digital Melonjak Tajam, BI Ingatkan Risiko Keamanan Siber di Members Meeting ATM Bersama 2025
Jakarta – Bank Indonesia (BI) menegaskan pentingnya memperkuat resiliensi sistem pembayaran nasional dalam menghadapi lonjakan transaksi digital dan tantangan keamanan siber yang semakin kompleks.
Direktur Kebijakan Sistem Pembayaran BI, Ryan Rizaldi, mengungkapkan bahwa arah kebijakan BI ke depan akan difokuskan pada penguatan infrastruktur, regulasi, dan pengawasan guna menciptakan ekosistem pembayaran digital yang aman dan berkelanjutan.
“Isunya bukan sekadar security, tapi resiliensi. Resiliensi punya makna lebih luas, mencakup ketahanan sistem dari berbagai risiko yang mungkin muncul seiring perkembangan teknologi dan meningkatnya interkoneksi,” ujar Ryan dalam Members Meeting ATM Bersama 2025: “Boderless Connectivity: Strengthening Trust in Digital Transaction”, di Manado, Jumat (19/9).
Dalam lima tahun terakhir, perkembangan digitalisasi sistem pembayaran di Indonesia mengalami kemajuan pesat.
Ryan mencatat bahwa sejumlah inovasi seperti QRIS dan real-time payment melalui BI-FAST menjadi bukti nyata transformasi tersebut.
Transaksi digital ini diprediksi naik empat kali lipat dalam beberapa tahun mendatang. Namun, kemajuan ini juga menimbulkan tantangan baru.
“Volume transaksi digital diperkirakan akan meningkat hingga 147,3 miliar transaksi pada tahun-tahun mendatang, naik empat kali lipat dibandingkan akhir 2024. Ini bukan soal nilai, tapi volume, dan itu artinya tantangannya semakin kompleks,” jelasnya.
Pendorong utama pertumbuhan ini adalah demografi muda, inovasi teknologi berkelanjutan, dan interkoneksi antarlembaga keuangan yang semakin kuat. Baik antara bank besar dan kecil, maupun antara bank dan lembaga non-bank.
Namun, di balik berbagai capaian tersebut, BI mencermati munculnya risiko-risiko baru.
Salah satunya adalah ketidakseimbangan antara laju inovasi dengan kesiapan sistem dalam menghadapi ancaman keamanan.
“Ini soal memainkan gas dan rem. Ingin cepat dan murah, tapi tetap harus aman. Di sistem pembayaran, kita terus-menerus dihadapkan pada trade-off ini,” kata Ryan.
Maka dari itu, Ryan menyoroti pentingnya berkolaborasi dengan penyedia teknologi yang memiliki standar keamanan tinggi. Faktor keamanan ini harus diposisikan sebagai investasi bersama, bukan beban individu.
“Kita ingin menciptakan sistem pembayaran yang cepat, inklusif, murah, dan aman. Tapi itu hanya bisa tercapai kalau semua pihak berperan dan berinvestasi secara proporsional,” jelasnya.
Di acara yang sama, Artajasa menegaskan komitmennya untuk memperkuat kepercayaan dalam transaksi digital melalui kolaborasi dengan perbankan dan regulator.
Sebagai pionir infrastruktur pembayaran, Artajasa memainkan peran strategis dalam menyediakan solusi end-to-end degan sistem keamanan yang tinggi.
Mulai dari deteksi fraud, layanan manajemen pelanggan, hingga pengembangan transaksi lintas batas. (*) Rau Arasyki Lubis