Bankir Senior Ini Wanti-wanti Purbaya Risiko Taruh Rp200 T di Bank Himbara
Jakarta – Mantan Presdir BII dan Dirut BNI, Sigit Pramono, meminta Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa untuk hati-hati dalam membuat kebijakan demi mengejar pertumbuhan ekonomi 8 persen.
Sigit Pramono melontarkan warning tersebut usai pemerintah menempatkan dana Rp200 triliun di enam bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) atas usulan Purbaya.
“Kalau nggak hati-hati, hanya sekadar mengotak-atik sisi moneter, jelas tidak akan menyelesaikan masalah,” ujar mantan Ketua Umum Perbanas itu dalam catatan tertulisnya, dikutip The Asian Post, Minggu (14/9).
Kebijakan menempatkan dana pemerintah di perbankan, menurut Sigit, sudah dicoba dilakukan oleh empat orang pemegang kewenangan di Komite Stablitas Sistem Keuangan (KSSK).
“Anggotanya Menkeu Sri Mulyani Indrawati ( merangkap sebagai Ketua Komite) , Gubernur BI Perry Warjiyo, Ketua OJK Mahendra Siregar dan Purbaya sendiri selaku Ketua LPS. Tetapi upaya itu tidak juga berhasil,” ungkapnya.
Menurut Sigjt, dalam ikhtiar mendorong pertumbuhan ekonomi ada rumus “jempol” (rule of thumb) sebagai berikut:
“Untuk menumbuhkan ekonomi X%, maka kredit bank harus tumbuh 3-4 kali dari X%. Kalau target pertumbuhan ekonomi 5,1%, maka sektor perbankan harus bisa menyalurkan kredit ke dunia usaha dengan pertumbuhan 15,3%-20,4 %,” papar Sigit.
Realisasinya?
Per akhir Juni 2025 pertumbuhan kredit perbankan hanya 7,7%. Mengapa? “Karena sektor riil sedang mengalami penurunan parah. Jadi, boro-boro mereka ambil kredit baru dari perbankan, untuk membayar bunga kredit lama saja sudah kembang kempis,” tegasnya.
DI BALIK DUIT “NGANGGUR” DI BI
Megapa ada uang “menganggur” di BI, menurut Sigit Pramono, karena bank-bank tidak mampu menyalurkan uang tersebut ke masyarakat dalam bentuk kredit.
“Kredit hanya tumbuh 7,7 % per tahun, padahal jika ekonomi ingin tumbuh 8 % kredit harus tumbuh 24% -32%. Pikiran bank sederhana, dari pada uang nganggur di bank masing-masing kan lebih baik disimpan di BI,” jelasnya.
Menurut Sigit, persoalan ekonomi nasional saat ini bukan hanya di sektor keuangan tetapi lebih banyak di sektor riil, yaitu di dunia usaha.
“Jadi, semua menteri yang terkait sektor riil harus bekerja keras juga membantu memperbaiki iklim investasi dan bisnis,” sarannya.
Masalah kronis di Indonesia, lanjut Sigit, adalah ketidakpastian hukum, iklim usaha dan investasi buruk, perijinan berbelit-belit, lama dan mahal, serta korupsi di semua jalur birokrasi parah.
Selain itu, kata Sigit, pasar Indonesia dibanjiri barang-barang murah dari China, baik yang legal (melalui e-commerce) maupun yang melalui penyelundupan.
Akibatnya, lanjut Sigit, barang produksi industri dalam negeri kalah bersaing. Mereka bangkrut (contoh industri TPT tekstil dan produk tekstil ), pabrik tutup PHK tak terhindarkan.
“Pengusaha memilih jadi pedagang dari pada industriawan yang lebih ruwet mengurusnya,” tuturnya.
Sistem politik di Indonesia, kata Sigit, juga buruk. Seseorang yang mau menjadi pejabat publik (di eksekutif, legislatif, dan yudikatif) selalu melibatkan politik uang, atau uang mahar ke partai dan lain-lain.
Idealnya, kata dia, partai politik seharusnya dibiayai negara (seperti di negara lain yang menganut sistem demokrasi) agar politik uang bisa dihentikan.
Masalahnya, lanjut dia, jumlah partai terlalu banyak sehingga beban negara sangat berat jika harus membiayai partai. “Akibatnya politisi hanya jadi tukang palak dan tukang peras pengusaha dan pejabat publik,” mirisnya.
Ketimpangan sosial dan kesenjangan ekonomi di Indonesia, kata Sigit, juga semakin buruk. Hanya segelintir orang yang menguasai ekonomi dan aset negeri ini, sehingga yang kaya semakin kaya yang miskin tidak kaya-kaya.
“Betul kemiskinan menurun, tetapi maksudnya menurun ke anak cucu,” candanya.
Sila kelima Pancasila, menurut Sigit, hanya utopia belaka. Ketimpangan sosial ekonomi ini seperti api dalam sekam yang mudah sekali terbakar jika ditiup para petualang politik yang telengas dan tega mengorbankan kepentingan rakyat banyak demi tujuan politik kelompok mereka sendiri.
“Semua kerusuhan di negeri kita selalu dimulai dengan meniupkan isu kesenjangan ini,” ujarnya.
Pengusaha tidak mampu meningkatkan bisnisnya, kata Sigit, karena persoalan-persoalan di atas. “Lha kalau bisnis tidak meningkat pengusaha kan tidak akan pinjam atau narik kredit dari bank,” tegasnya.
PURBAYA PILIHAN TERBAIK
Masalahnya, menurut Sigit Pramono, Purbaya saat ini adalah pilihan terbaik untuk menjadi Menkeu jika calon itu harus dari dalam Pemerintahan sekarang.
Mengapa? “Karena Purbaya adalah satu dari empat orang yang paling mengerti dari segi pengetahuan dan informasi tentang sektor keuangan, moneter, dan perbankan di Indonesia,” katanya.
Mengapa demikian? “Karena ketika dia sebagai Ketua LPS, dia sekaligus sebagai anggota KSSK yang diketuai oleh Menkeu Sri Mulyani dan anggota lainnya adalah Gubernur BI (Perry Warjoyo) dan Ketua OJK (Mahendra Siregar),” paparnya.
Karenanya, Sigit yakin, Sri Mulyani merekomendasikan Purbaya jadi Menkeu karena alasan ini. Karena, dia dianggap mempunyai pengetahuan yang memadai tentang sektor keuangan. Sehingga, ketika jadi Menkeu tidak mulai dari nol.
“Alasan lain saat ini Gubernur BI Perry Warjiyo dan Ketua OJK Mahendra Siregar tidak memungkinkan jadi Menteri Keuangan karena berbagai alasan,” ujarnya.
Tantangan bagi Purbaya, kata Sigit, dia belum punya pengalaman untuk menjadi orang nomor satu dan memimpin organisasi besar.
“Benar dia pernah jadi Ketua LPS. Tetapi LPS adalah sebuah lembaga yang tidak sebesar dan serumit Kementerian Keuangan,” ujarnya.
Tetapi, Sigit mengajak semua pihak untuk tetap berpikir positif, yakni dengan memberi Purbaya kesempatan untuk membuktikan omongan dan janji-janjinya.
“Lagi pula emang loe lebih jago dari dia? Atau, emang loe Presiden yang bisa mengganti menteri?” tutupnya, dengan canda. DW