Terperangkap Panggung Penerbitan Publikasi Ilmiah untuk Reputasi
Oleh Yazid Bindar, Guru Besar Institute Teknologi Bandung
Penelitian adalah jantung dari kemajuan peradaban. Ia melahirkan temuan-temuan baru, menyempurnakan teori yang ada, dan memperluas cakrawala pemahaman umat manusia. Namun, hasil penelitian yang tidak dipublikasikan tak ubahnya seperti suara yang tak pernah terdengar, terbatas dalam dampak, lambat dalam pengaruh, dan lemah dalam kontribusi terhadap disiplin ilmu itu sendiri.
Di sinilah publikasi ilmiah memainkan peran vital. Publikasi ilmiah adalah wahana diseminasi pengetahuan agar dapat diakses, diuji, dan dikembangkan oleh komunitas ilmiah global.
Namun, di tengah idealisme akademik tersebut, dunia publikasi ilmiah saat ini menghadapi dilema serius antara komersialisasi yang kian mengikis nilai-nilai dasar keilmuan. Publikasi, yang semestinya menjadi jembatan penyebaran ilmu, kini kerap berubah menjadi gerbang komersial yang hanya dapat dilalui oleh mereka yang memiliki sumber daya cukup.
Penerbit ilmiah atau publisher, yang dahulu hanya menjadi fasilitator, kini menjelma menjadi aktor dominan dalam sirkuit akademik global. Mereka—menentukan siapa yang dapat membaca, siapa yang dapat menerbitkan, dan bahkan siapa yang diuntungkan dari hasil riset.
Komersialisasi dan Ketimpangan Struktural
Model bisnis yang diterapkan oleh banyak penerbit besar saat ini sangat dipengaruhi oleh prinsip ekonomi pasar. Mereka menerapkan biaya publikasi tinggi melalui skema Article Processing Charge (APC), yang dapat mencapai ribuan dolar per artikel, khususnya untuk jurnal-jurnal bereputasi internasional.
Penulis yang ingin agar artikelnya tersedia secara open access—yakni dapat diakses publik secara gratis—harus membayar biaya yang tidak sedikit. Sebaliknya, jika penulis tidak mampu membayar APC, artikelnya hanya dapat diakses oleh institusi atau individu yang bersedia membayar langganan atau membeli artikel tersebut dari penerbit.
Situasi ini menciptakan ketimpangan struktural yang serius dalam dunia akademik. Peneliti dari negara berkembang atau institusi dengan sumber daya terbatas sering kali tidak mampu membayar APC. Akibatnya, akses terhadap publikasi bereputasi tinggi menjadi sangat tidak merata. Ironisnya, banyak riset tersebut didanai oleh uang publik, namun hasilnya justru “dikunci” oleh penerbit dan tidak dapat diakses oleh publik yang membiayainya.
Fenomena ini menciptakan apa yang disebut sebagai double payment: publik membayar dua kali, pertama untuk mendanai riset, dan kedua untuk mengakses hasilnya.
Eksploitasi Tenaga Reviewer: Sukarela dalam Rantai Komersial
Di sisi lain, proses publikasi ilmiah sangat bergantung pada keberadaan peer reviewer—para akademisi ahli yang secara sukarela meluangkan waktu dan pengetahuan mereka untuk menilai kualitas artikel yang diajukan.
Reviewer memainkan peran penting dalam menjaga mutu, integritas, dan etika akademik. Namun, ironisnya, mereka kerap bekerja tanpa insentif apa pun, baik berupa kompensasi finansial maupun pengakuan yang layak.
Lebih problematik lagi, reviewer yang telah berjasa besar dalam proses seleksi dan penyuntingan naskah pun tidak mendapatkan perlakuan khusus jika suatu saat mereka mengirimkan artikel mereka sendiri ke jurnal yang sama.
Artikel mereka tetap bisa ditolak, tanpa mempertimbangkan kontribusi yang telah mereka berikan. Dalam banyak kasus, bahkan tidak ada pengakuan eksplisit terhadap kerja mereka sebagai reviewer. Padahal, di balik layar, reviewer adalah pilar penentu kualitas publikasi ilmiah.
Kondisi ini telah menimbulkan kritik tajam dari banyak kalangan. Penerbit, dengan pendapatan yang besar dari APC dan langganan jurnal, dianggap mengeksploitasi kerja sukarela reviewer untuk memperbesar margin keuntungan mereka.
Di satu sisi, kerja sukarela ini dipandang perlu untuk menjaga objektivitas dan integritas ilmiah. Namun di sisi lain, ketika hasil kerja tersebut menjadi bagian dari mesin komersial raksasa, pertanyaan etis mulai mencuat: apakah adil jika reviewer yang memberi kontribusi intelektual dan waktu tidak mendapat imbalan apa pun, sementara penerbit meraih keuntungan finansial?
Dampak terhadap Ekosistem Ilmu Pengetahuan
Akumulasi dari persoalan-persoalan di atas berujung pada tantangan serius terhadap ekosistem ilmu pengetahuan. Komersialisasi publikasi membuat proses produksi dan distribusi pengetahuan menjadi bias pasar.
Artikel dari peneliti dengan dana besar lebih mudah mendapat tempat, sementara peneliti dengan keterbatasan dana—meskipun karyanya bernilai tinggi—sering kali kesulitan mendapat panggung. Ketimpangan akses ini memperlambat pemerataan ilmu dan mengekalkan dominasi pengetahuan dari negara-negara maju.
Selain itu, insentif finansial yang mengitari dunia publikasi ilmiah juga mendorong munculnya jurnal predator—jurnal yang menerima artikel apa pun selama penulis mampu membayar biaya publikasi. Ini menurunkan kredibilitas publikasi ilmiah dan merusak kepercayaan terhadap hasil riset.
Tak hanya itu, tekanan untuk “menerbitkan atau mati” (publish or perish) di kalangan akademisi sering kali mendorong praktik manipulatif, seperti duplikasi publikasi, fabrikasi data, atau manipulasi sitasi.
Indeksasi dan Hirarki Reputasi sebagai Tekanan Baru bagi Akademisi
Masalah publikasi ilmiah juga diperumit oleh sistem pengindeksan dan klasifikasi jurnal yang digunakan secara luas dalam sistem evaluasi akademik.
Jurnal yang terindeks di Scopus atau Web of Science sering kali dianggap lebih bergengsi dan kredibel, terutama jika masuk dalam kuartil tertinggi seperti Q1 dan Q2. Sebaliknya, jurnal dengan indeks Q3 atau Q4 kerap dianggap bermutu rendah. Apa lagi jurnal yg belum berklasifikasi Q sama sekali sebagai jurnal yang tidak dimaui penulis tempat publikasi hasil penelitiannya meskipun substansi artikelnya belum tentu kalah berkualitas.
Sistem ini menciptakan tekanan besar bagi para peneliti, terutama dalam memenuhi target kinerja penelitian yang ditetapkan oleh lembaga pendanaan atau institusi akademik.
Banyak institusi mensyaratkan bahwa hasil penelitian harus dipublikasikan di jurnal bereputasi Q1 sebagai bentuk output yang dianggap “unggul”. Akibatnya, persaingan untuk masuk ke jurnal-jurnal ini sangat ketat, dan peneliti bahkan rela membayar biaya publikasi open access yang tinggi hanya demi memenuhi standar tersebut.
Di sinilah muncul dilema baru: publikasi tidak lagi murni menjadi sarana penyebaran ilmu, tetapi berubah menjadi alat ukur administratif yang menentukan karier, dana penelitian, hingga jabatan akademik.
Hal ini turut memperkuat dominasi jurnal-jurnal besar yang terindeks tinggi, menciptakan ketergantungan struktural, dan mempersempit ruang tumbuhnya jurnal-jurnal lokal atau alternatif
Membangun Ekosistem Publikasi yang Adil
Menghadapi dilema ini, beberapa solusi alternatif mulai dikembangkan oleh komunitas akademik dan institusi riset. Salah satu model yang kini banyak didorong adalah diamond open access, yaitu jurnal ilmiah yang tidak memungut biaya dari penulis maupun pembaca.
Model ini bisa berjalan dengan dukungan dana dari institusi akademik, asosiasi ilmiah, atau pemerintah. Beberapa universitas di Eropa dan Amerika Latin bahkan mulai membangun platform jurnal mereka sendiri dengan prinsip akses terbuka dan tanpa biaya.
Solusi lain adalah mengembangkan dan memperkuat repositori ilmiah terbuka seperti arXiv, bioRxiv, dan Indonesia’s Sinta.
Repositori ini memungkinkan peneliti untuk menyebarluaskan hasil riset mereka secara cepat, gratis, dan terbuka kepada komunitas ilmiah. Meski belum melalui proses peer review formal, repositori ini dapat menjadi titik awal pertukaran ide dan kolaborasi ilmiah lintas batas.
Dalam hal insentif bagi reviewer, beberapa penerbit telah mulai memberikan penghargaan simbolik seperti sertifikat, sistem penilaian reputasi, atau diskon biaya publikasi. Platform seperti Publons juga memungkinkan reviewer membangun portofolio pengakuan atas kerja mereka.
Namun, solusi jangka panjang membutuhkan perubahan struktural: misalnya sistem insentif yang disubsidi oleh universitas atau lembaga riset untuk mendukung para reviewer sebagai bagian dari tugas profesional mereka.
Di tingkat kebijakan, pemerintah dan lembaga donor seharusnya menetapkan syarat bahwa semua hasil riset yang didanai publik harus dipublikasikan secara terbuka. Ini bisa mendorong penerbit untuk menyesuaikan model bisnis mereka agar lebih berorientasi pada akses pengetahuan, bukan sekadar keuntungan komersial.
Menjaga Ilmu Pengetahuan sebagai Barang Publik
Publikasi ilmiah adalah instrumen utama dalam membangun dan menyebarluaskan pengetahuan. Namun ketika proses publikasi dikuasai oleh mekanisme pasar dan dibiarkan berjalan tanpa pengawasan etis, maka ia dapat berubah dari jembatan ilmu menjadi tembok eksklusif.
Dilema publikasi ilmiah saat ini bukan hanya soal biaya dan akses, tetapi juga menyangkut keadilan, integritas, dan masa depan ekosistem pengetahuan global.
Kita membutuhkan komitmen bersama dari akademisi, institusi, pemerintah, dan komunitas global untuk mereformasi sistem ini. Ilmu pengetahuan harus dikembalikan kepada tujuannya yang luhur: sebagai barang publik yang dapat diakses, dikembangkan, dan dimanfaatkan oleh seluruh umat manusia—tanpa sekat, tanpa syarat, dan tanpa dominasi pasar.