Jakarta– Presiden AS Donald Trump memang angel. Orangnya sulit dan nglunjakan. Ndak ada puas-puasnya.
Pun dalam negosiasi tarif impor dengan Indonesia. Sebaiknya jangan semuanya dituruti.
Seperti diketahui, setelah “diceboki pantatnya”—meminjam istilah Trump—dengan tawaran tempat relokasi untuk pengungsi Gaza dan siap perbanyak impor komoditas dari AS, mereka malah mengkritik pengelolaan QRIS (Quick Response Indonesian Standard) dan GPN (Gerbang Pembayaran Nasional).
Dalam case ini, AS sepertinya dapat titipan pesan dari Visa dan Mastercard.
Kedua vendor sistem pembayaran global ini pasarnya di Indonesia tergerus setelah dioperasikannya QRIS dan GPN.
Tak cukup itu. Kini, AS mengkritik kewajiban divestasi sebesar 51 persen bagi perusahaan asing di sektor pertambangan Indonesia.
Kata mereka, ini menjadi hambatan bagi masuknya investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI).
Kritik ini disampaikan dalam laporan tahunan 2025 National Trade Estimate (NTE) yang dirilis oleh Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR).
“Aturan divestasi 51 persen yang diwajibkan kepada perusahaan pertambangan asing menambah kompleksitas dan ketidakpastian iklim investasi di Indonesia,” tulis USTR dalam laporannya.
Seperti diketahui, kebijakan ini diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 yang telah diubah melalui PP Nomor 25 Tahun 2024.
Dalam beleid itu, perusahaan tambang asing yang mendapatkan izin usaha wajib melepas 51 persen sahamnya ke pemilik lokal.
Batas waktu divestasi dibedakan berdasarkan fasilitas pengolahan yang dimiliki, yakni 15 tahun bagi perusahaan tanpa fasilitas pengolahan terintegrasi dan 20 tahun bagi yang memilikinya.
Menurut seorang analis, kritik tersebut ditujukan untuk kepentingan Freeport yang mayoritas sahamnya sudah dikuasi Indonesia. Bahkan, sebentar lagi mencapai 61 persen.
“Presiden Prabowo harus melawan permintaan AS soal kepemilikan saham di sektor tambang. Jangan semua permintaan AS dituruti, apalagi soal tambang seperti Freeport,” tegasnya.
Efek Ceboki Trump
Dosen Hubungan Internasional Binus University, Tia Mariatul Qibtiyah, sejak awal juga mewanti-wanti agar negosiator Indonesia jangan menuruti semua permintaan AS. Sebab, efeknya bisa kemana-mana.
“Makanya kenapa dari awal saya sudah warning ke pemerintah dalam diplomasi ke Trump, jangan mesti semua diikuti maunya Trump, termasuk soal penerimaan warga Gaza di Indonesia,” ujar Tia di akun IG-nya.
Efek pertama, kata dia, kondisi politik domestik menjadi tidak kondusif karena mendapat penentangan dari masyarakat Indonesia.
Lihat saja bagaimana respon MUI, NU, Muhammadiyah, dan elemen masyarakat berbasis agama lainnya atas rencana relokasi pengungsi Gaza ke Indonesia.
Efek kedua, lanjut dia, secara politik global, Indonesia tidak akan dilihat lagi oleh dunia internasional sebagai negara pejuang kemerdekaan Palestina dan isu-isu kemanusiaan lain.
Efek ketiga, kata dia, China akan bersikap tegas ke RI. Hal ini sudah terlihat saat kunjungan Presiden China Xi Jinping ke ASEAN. Indonesia dilewati. Biasanya prioritas.
China tidak bisa diabaikan karena banyak ketergantungan (dependency) Indonesia ke China.
“Coba cerdas dong. Piawai dalam diplomasi. Jangan mengedepankan ego dan narasi. Harus dipikirkan secara komprehensif akibat-akibatnya terlalu nurut ke Trump itu,” tegas Tia.
Menurut Tia, Trump tidak harus dituruti. Bahkan,di dalam negaranya sendiri, sudah muncul ide dari anggota Senat AS untuk memakzulkan Trump.
“Artinya, memang ngawur tuh orang. Kita malah total nurut dengan hasil (ironis): tarif bukannya turun, malah naik. Diplomasi kita dianggap gagal oleh domestik dan internasional. Menyedihkan,” tutupnya. (DW)