Ekonomi Diliputi Ketidakpastian, Ini Proyeksi Pefindo ‘Tuk Pasar Surat Utang RI
Jakarta – PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) mengeluarkan rilis terbaru terkait tren perkembangan pasar surat utang korporasi di Indonesia. Dari data terbaru itu, didapati total penerbitan surat utang korporasi secara keseluruhan pada tahun 2024 mencapai Rp149,7 triliun. Sementara itu, penerbitan surat utang periode Januari 2025 baru mencapai Rp8,6 triliun.
Nilai total penerbitan surat utang nasional pada 2024 tersebut menunjukkan peningkatan sebesar 14,44 persen jika dibandingkan tahun 2023 yang senilai Rp130,81 triliun.
Khusus untuk penerbitan obligasi korporasi dan sukuk tercatat sebesar Rp147,7 triliun pada tahun 2024, naik 15,84 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar Rp127,5 triliun. Sementara untuk periode Januari 2025, penerbitan obligasi korporasi dan sukuk mencapai Rp8,6 triliun, naik 43,33 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang senilai Rp6,0 triliun.
Sementara itu, penerbitan surat utang jangka menengah atau medium term note (MTN) pada 2024 menunjukkan penurunan yakni sebesar Rp1,5 triliun, atau turun 37,5 persen dibandingkan Rp2,4 triliun pada 2023. Lalu, periode Januari 2025 juga menunjukkan penurunan, yaitu baru mencapai Rp45 miliar dibandingkan Rp581,3 miliar di periode yang sama tahun sebelumnya.
Penerbitan efek utang lainnya (perpetual, SBK, dan sekuritisasi) turut menunjukkan penurunan, dimana pada 2024 nilainya sebesar Rp0,5 triliun, dibandingkan Rp0,9 triliun pada 2023.
Melihat data yang ada, Suhindarto selaku Ekonom Pefindo menyatakan bahwa terdapat sejumlah tantangan baru di tahun 2025 bagi pasar surat utang di Indonesia. Pefindo sendiri memproyeksikan penerbitan baru surat utang 2025 diperkirakan akan berkisar di rentan Rp139,29 sampai Rp155,43 triliun, dengan titik tengah pada Rp143,91 triliun.
“Masih terdapat tantangan yang perlu kita waspadai, dimana kami melihat di sisi risiko geopolitik, diperkirakan tetap tinggi di tahun 2025,” ujar Suhindarto saat konferensi pers secara virtual, Selasa, 11 Februari 2025.
Risiko geopolitik ini tak bisa dipisahkan dari imbas berbagai konflik geopolitik yang masih berlanjut. Bahkan, sekalipun mulai ada gencatan senjata di Timur Tengah, belum ada resolusi yang benar-benar bisa menyelesaikan konflik yang ada. Hal serupa juga terjadi pada konflik di Eropa Timur, ditambah perang dagang antara AS dan China.
Kondisi tersebut berpotensi membuat pasar lebih volatil, dan mendorong premi yang diminta akan menjadi lebih besar. Kedua, adanya potensi fluktuasi nilai tukar yang bisa saja terjadi seiring dengan kemungkinan pelonggaran moneter di AS yang diperkirakan lebih lambat.
“Bila di September tahun lalu, kita lihat The Fed bisa menurunkan suku bunga sebanyak empat kali atau 100 bps. Namun, perkembangannya sampai Januari kemarin, The Fed kemungkinan tak akan menurunkan sebanyak itu,” jelasnya.
Saat ini, konsesus pasar memperkirakan The Fed hanya sekali menurunkan suku bunga acuannya. Jika memang benar terjadi demikian dan ada divergensi kebijakan moneter di negara maju lainnya, maka ada potensi terjadinya arus modal asing keluar dari negara berkembang, serta mendorong adanya fluktuasi nilai tukar di negara-negara berkembang, tanpa terkecuali Indonesia.
Ketiga, kecenderungan yield yang sulit untuk turun seiring dengan rencana penerbitan surat utang pemerintah yang akan lebih besar. Kondisi ini tak bisa dilepaskan dari adanya defisit anggaran pemerintah yang diperkirakan semakin besar di tahun ini.
“Maka, pasokan permintaan akan perilisan surat utang juga diperkirakan bisa meningkat, yang mana menyebabkan yield cenderung lebih kaku untuk diturunkan, meskipun masih ada kebijakan pelonggaran moneter,” imbuh Suhindarto.
Selanjutnya, ada tantangan dari sisi persaingan pada instrumen substitusi seperti SRBI & SUN, yang bisa membayangi dan membuat penyerapan penerbitan masih kurang maksimal.
“Dan tantangan terakhir terkait investor utama yang cenderung untuk menghindari peringkat tertentu (BBB ke bawah) dan bersikap lebih mengambil lower risk ketimbang sebelumnya di tengah kondisi yang diliputi ketidakpastian lebih tinggi,” tukasnya.
Sikap investor yang cenderung mengambil lower risk pada akhirnya membuat risiko penerbitan dari peringkat dan sektor tertentu terbatasi. Namun begitu, selain terdapat tantangan, ada pula peluang yang bisa dimanfaatkan oleh korporasi maupun pihak pemerintah untuk menggenjot pasar surat utang nasional.
Peluang-peluang itu antara lain:
- Kebutuhan refinancing diperkirakan masih tinggi seiring dengan nilai surat utang jatuh tempo yang masih besar (Rp161,21 triliun) pasca tingginya penerbitan bertenor pendek di tahun 2024.
- Aktivitas sektor riil diperkirakan relatif menguat. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan terdorong oleh kebijakan pemerintah yang lebih ekspansif, dengan inflasi yang diperkirakan masih terkendali.
- Suku bunga acuan yang lebih rendah sejalan dengan ekspektasi berlanjutnya pelonggaran kebijakan moneter.
- Likuiditas Lembaga Keuangan yang semakin ketat dan potensi pertumbuhan permintaan bisnis mendorong perusahaan mencari alternatif dana dengan tenor lebih panjang daripada pinjaman perbankan, seperti obligasi korporasi, untuk mendukung asset-liability keuangan.
- Premi diperkirakan relatif melandai, seiring dengan leverage keuangan yang membaik akibat suku bunga yang relatif lebih rendah. SW