Waspada Gejala Illiberal Democracy: Kulit Demokrasi, Isi Otoriter

Oleh Yazid Bindar, Guru Besar Institute Teknologi Bandung

Di atas permukaan, demokrasi di Indonesia terlihat berjalan baik. Pemilu digelar secara rutin, partai politik bersaing, dan rakyat datang ke bilik suara. Namun di bawah permukaan, fondasi demokrasi mulai keropos. Kebebasan sipil dibatasi, kritik dibungkam, lembaga pengawas kekuasaan dilemahkan.

Demokrasi yang hanya berhenti pada pemilu, tanpa menjamin hak-hak dasar warga, adalah demokrasi yang tidak lengkap. Inilah yang disebut sebagai illiberal democracy—demokrasi yang tidak liberal.

Istilah ini diperkenalkan oleh Fareed Zakaria pada 1997 dalam artikelnya “The Rise of Illiberal Democracy”. Ia mengingatkan bahwa pemilu tidak cukup untuk menjamin demokrasi jika tidak disertai kebebasan individu, supremasi hukum, dan pembatasan kekuasaan.

Sayangnya, inilah pola yang kini mulai meresap ke dalam sistem politik kita. Indonesia mengalami ancaman dari dalam: demokrasi yang dikhianati oleh aktor-aktornya sendiri.

Wajah Demokrasi, Watak Otoriter

Illiberal democracy memiliki ciri khas: pemilu tetap berlangsung, tetapi nilai-nilai demokrasi substantif ditanggalkan. Pemerintah yang terpilih secara sah justru menggunakan kekuasaan untuk membatasi kritik, mengontrol media, dan menundukkan lembaga negara. Pemilu digunakan bukan untuk memperkuat akuntabilitas, melainkan untuk melanggengkan kekuasaan.

Dalam konteks ini, kebebasan berekspresi menjadi korban. Laporan Reporters Without Borders menunjukkan bahwa indeks kebebasan pers Indonesia stagnan. Pasal-pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) digunakan untuk mengintimidasi warganet, aktivis, hingga jurnalis. Kritik dianggap sebagai ancaman, bukan bagian dari demokrasi.

Pelemahan Lembaga Pengawas

Lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi penyeimbang kekuasaan justru dilemahkan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), misalnya, tak lagi segarang dulu. Revisi Undang-Undang KPK tahun 2019 membuat lembaga ini kehilangan independensinya.

Pegawai berintegritas disingkirkan melalui tes yang dipertanyakan. Mahkamah Konstitusi pun disorot, terutama setelah putusan kontroversial soal batas usia capres yang dinilai sarat konflik kepentingan.

Pelemahan ini tidak dilakukan secara frontal, tetapi lewat jalur hukum dan administrasi. Legalitas dipakai untuk menyamarkan niat. Dalam illiberal democracy, hukum tidak lagi menjadi alat keadilan, melainkan instrumen kekuasaan. Lembaga yudikatif dan legislatif dijinakkan. Yang tersisa adalah sistem demokrasi yang tak mampu menahan laju otoritarianisme.

Politik Dinasti dan Oligarki

Gejala lain dari illiberal democracy adalah dominasi elit dan politik dinasti. Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan banyak kepala daerah dan pejabat publik berasal dari lingkaran keluarga politik. Teranyar, dalam Pilpres 2024, publik dikejutkan oleh munculnya putra Presiden sebagai calon wakil presiden—difasilitasi oleh putusan Mahkamah Konstitusi yang dinilai sarat konflik kepentingan.

Jeffrey Winters (2011) menyebut Indonesia sebagai “oligarki elektoral”: pemilu tetap berlangsung, tetapi dikendalikan oleh segelintir elit ekonomi dan politik. Akibatnya, kebijakan publik kerap tidak berpihak pada rakyat, melainkan pada kepentingan kelompok kuat. Demokrasi prosedural berubah menjadi arena perebutan kekuasaan antar oligarki, sementara suara rakyat hanya menjadi formalitas.

Demokrasi Tanpa Kebebasan

Kita hidup dalam situasi paradoks: demokrasi formal terus berlangsung, tetapi kebebasan justru menyusut. Rakyat masih bisa memilih, tapi makin sulit bersuara. Kritik dibalas dengan pelaporan. Demonstrasi dibungkam. Aktivis diintimidasi. Sementara itu, ruang-ruang diskusi publik dikendalikan oleh narasi tunggal yang mendewakan stabilitas dan pembangunan.

Padahal, esensi demokrasi bukan sekadar pemilu. Demokrasi adalah penghormatan terhadap martabat manusia, kesetaraan di depan hukum, dan kebebasan untuk berbeda pendapat. Ketika hak-hak dasar itu dikorbankan, maka demokrasi kehilangan maknanya. Demokrasi tanpa kebebasan adalah demokrasi yang mati secara perlahan.

Jalan Taubat Konstitusional

Apa yang bisa dilakukan? Jawabannya bukan sekadar mengganti elite, tetapi memulihkan kembali semangat konstitusi. Kita butuh taubat nasional secara konstitusional: kembali ke nilai-nilai dasar demokrasi sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945—kedaulatan rakyat, keadilan sosial, dan kemanusiaan yang adil dan beradab.

Reformasi kelembagaan harus dilakukan agar lembaga pengawas kekuasaan kembali independen. Undang-undang yang membatasi kebebasan sipil perlu direvisi. Partai politik harus didorong untuk lebih transparan dan demokratis. Media perlu diperkuat sebagai kekuatan keempat (fourth estate) dalam demokrasi, bukan sebagai corong kekuasaan.

Peran Masyarakat Sipil

Perubahan tidak akan datang dari atas. Sejarah membuktikan, rakyatlah yang menjadi penjaga utama demokrasi. Masyarakat sipil, jurnalis, akademisi, mahasiswa, dan warga biasa harus bersatu untuk membangun budaya demokrasi yang kritis dan partisipatif. Pendidikan politik menjadi kunci agar rakyat tidak mudah diperdaya oleh kosmetik demokrasi.

Demokrasi tidak akan bertahan jika hanya dibela oleh segelintir orang. Ia harus diperjuangkan oleh banyak orang, setiap hari, dalam banyak cara. Mulai dari berbicara, menulis, berdiskusi, hingga ikut serta dalam proses pengambilan keputusan. Demokrasi bukan hanya sistem politik, tetapi cara hidup yang menempatkan manusia sebagai subjek, bukan objek kekuasaan.

Penyembuhan Demokrasi Sakit Illiberal

Indonesia memiliki pengalaman panjang dalam memperjuangkan demokrasi. Reformasi 1998 adalah tonggak sejarah yang tidak boleh dilupakan. Namun, perjuangan belum selesai. Ancaman baru muncul dari dalam sistem itu sendiri. Illiberal democracy bukan mimpi buruk masa depan, melainkan kenyataan yang mulai kita alami.

Usulan konstitusional, fundamental, dan praktikal dalam tata cara pelaksanaan pemilu dan pilpres sebagai upaya penyembuhan demokrasi yang sakit akibat illiberalism dapat diwujudkan melalui perbaikan mekanisme seleksi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan lembaga pengawas pemilu dengan mengusulkan agar mereka dipilih, misalnya seperti dari kalangan dosen perguruan tinggi yang memiliki rekam jejak akademik, integritas, dan independensi yang kuat.

Secara konstitusional, hal ini sejalan dengan prinsip penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil sebagaimana tertuang dalam Pasal 22E UUD 1945, serta memperkuat posisi penyelenggara sebagai lembaga negara independen, bukan perpanjangan tangan kekuasaan.

Secara fundamental, pendekatan ini dapat memperkuat profesionalisme, netralitas, dan kapasitas etik kelembagaan, karena perguruan tinggi negeri merupakan institusi yang relatif otonom dan berakar pada nilai-nilai ilmiah dan rasionalitas publik.

Secara praktikal, skema seleksi ini dapat diatur melalui revisi undang-undang kepemiluan dan melibatkan senat akademik universitas sebagai pihak nominasi, sehingga mempersempit celah politisasi dan intervensi elite partai atau penguasa dalam menentukan komisioner.

Dengan begitu, penyelenggaraan pemilu dan pilpres akan lebih akuntabel, terpercaya, dan benar-benar mencerminkan kedaulatan rakyat secara murni.

Inilah saatnya kita bersikap. Demokrasi bukan hadiah, tetapi hasil perjuangan. Jangan biarkan ia direduksi menjadi sekadar prosedur. Kita butuh demokrasi yang utuh—yang menjamin hak, melindungi yang lemah, dan membatasi kekuasaan. Demokrasi yang demikian adalah warisan terbaik yang bisa kita berikan untuk generasi mendatang.

demokrasidemokrasi Indonesiailliberal democracy
Comments (0)
Add Comment