Universitas dan Luka Kolektif Bangsa

Oleh Agus Somamihardja, Alumnus Asian Institute of Technology (AIT) Thailand dan Institut Pertanian Bogor (IPB)

Dulu, universitas adalah tempat lahirnya revolusi. Tempat gagasan-gagasan besar lahir menentukan arah zaman. Dari ruang kuliah lahir pemikir, pembaharu, dan pembebas.

Tapi, kita menyaksikan ironi hari ini. Universitas-universitas justru tunduk, sunyi, dan kehilangan taring.

Dari tempat merdeka berpikir, kini menjelma seperti perusahaan layanan pendidikan.

Roh Awal yang Terlupa

Universitas tidak lahir dari semangat industrialisasi. Universitas menjelma dari hasrat akan ilmu dan kebijaksanaan.

Universitas Al-Qarawiyyin di Maroko (859), Al-Azhar di Kairo (970), hingga Bologna dan Oxford di Eropa pada abad pertengahan, berdiri bukan untuk mencetak tenaga kerja, melainkan untuk menjaga akal sehat masyarakat (Haskins, The Rise of Universities, 1923).

Di sana, filsuf duduk bersama fuqaha, ilmuwan berdiskusi dengan penyair. Mereka tidak membicarakan laba, melainkan makna.

Universitas adalah tempat menumbuhkan nalar dan karakter. Bukan alat seleksi kerja, tetapi arena pembentuk peradaban.

Di Indonesia, Bung Karno pernah bermimpi besar soal universitas. Lewat Trisakti, pertama, berdaulat dalam politik. Kedua, berdikari dalam ekonomi, dan ketiga berkepribadian dalam budaya.

Ia membayangkan perguruan tinggi sebagai kawah candradimuka kader bangsa. Tempat menggodok pemimpin, bukan hanya mencetak sarjana. (Pidato 17 Agustus 1964).

Universitas dan Negara: Siapa Membimbing Siapa?

Di Singapura, universitas menjadi tempat bertanya arah.

National University of Singapore (NUS) bukan hanya pencetak insinyur, tetapi pembuat kebijakan.

NUS punya lembaga riset strategis seperti Lee Kuan Yew School of Public Policy yang langsung berkontribusi ke kabinet (Mahbubani & Sng, The ASEAN Miracle, 2017).

Kampus menjadi nakhoda moral pembangunan. Karena di sanalah refleksi terjadi, kritik dilatih, dan keberanian dipupuk.

Bagaimana dengan Indonesia?

Hari hari ini, kita menyaksikan universitas menjadi sorotan. Bukan karena prestasi keilmuan, melainkan kontroversi.

UI terseret kasus konflik kepentingan yang dengan mudahnya meloloskan seorang menteri melanggar segala standar untuk meraih gelar doktor.

UGM tak henti hentinya dikaitkan dengan dugaan kejanggalan ijazah mantan presiden.

ITB ramai dibahas soal sistem pemilu digital.

IPB, diam-diam kehilangan identitas dengan menghindar dari amanah yang diembannya sebagai penjaga kedaulatan pangan bangsa.

Kampus di PIK, Nurani yang Pudar

Kasus terbaru rencana ITB membuka kampus di Pantai Indah Kapuk (PIK) makin menegaskan keterasingan universitas dari nurani rakyat.

PIK bukan sekadar kawasan elite; ia adalah simbol ketimpangan, reklamasi penuh kontroversi, dan ketercerabutan ekologis yang ditolak banyak kalangan.

Ketika kampus teknologi terbaik bangsa justru memilih membuka cabang di sana, kita patut bertanya: kepada siapa universitas ini berpihak?  

Alih-alih berdiri menjadi benteng kritik atas proyek-proyek mercusuar yang menyakiti ruang hidup rakyat, ITB justru memilih dan bahkan terlibat.

Ini bukan hanya kesalahan strategis, tapi membuka lebar luka ideologis.

Ia mengkhianati semangat universitas sebagai penjaga akal sehat dan suara nurani bangsa.

Miskin Anggaran, Miskin Nurani

Dulu kita diminta mempercayai bahwa otonomi kampus akan membebaskan universitas dari belenggu birokrasi.

Tapi yang terjadi justru sebaliknya: kampus dipaksa mencari uang sendiri.

Dosen dituntut jadi “pemungut proyek”, kampus membuka pintu sponsor besar-besaran, bahkan nama gedung bisa dijual pada korporasi.

Bill Readings dalam The University in Ruins (1996) menyebut universitas masa kini sebagai “institusi kosong” yang kehilangan misi kebudayaan dan hanya sibuk mengejar efisiensi.

Otonomi berubah menjadi komersialisasi. Kampus bukan lagi tempat berpikir, tetapi startup pendidikan.

Asketikme Intelektual: Cahaya yang Terlupakan

Apa yang hilang dari universitas kita hari ini bukan sekadar anggaran atau otonomi.

Universitas kehilangan asketikme intelektual, sebuah laku batin yang disebut oleh Peter Brown sebagai kesediaan untuk melepaskan ego, melepaskan hasrat akan pujian dan kuasa, demi membela yang benar (The Body and Society, 1988).

Ivan Illich mengingatkan dalam Deschooling Society (1971): pendidikan yang terlalu tunduk pada struktur dan birokrasi, akan kehilangan jiwanya. Ia bukan lagi alat pembebasan, tapi alat penjinakan.

Sajogyo di IPB mengajarkan itu. Ia tak hanya menulis kemiskinan dari balik meja, tapi turun ke desa, berdialog dengan rakyat.

Satari menghidupkan kelas bukan lewat PowerPoint, tapi lewat hati. Andi Hakim mengundang keberagaman, bukan menaklukkan perbedaan.

IPB lahir dari semangat itu. Sajogyo, Satari, dan Andi Hakim Nasoetion adalah teladan hidup bahwa ilmu bisa tumbuh dari lumpur sawah, dari peluh petani, dari rasa malu jika hanya sibuk konferensi tapi lupa kampung halaman (IPB Press, Riwayat Kearifan Andi Hakim, 2005).

Ke mana Kita Melangkah?

Jika universitas tak lagi menjadi tempat merdeka berpikir, ke mana kita akan mencari kompas moral bangsa?

Jika kampus sibuk menjual jasa pendidikan, siapa yang akan membela ilmu dari komersialisasi?

Jika dosen, rektor dan dewan guru besar takut bicara, siapa yang akan membela suara mahasiswa, generasi penerus bangsa, suara rakyat?

Siapa yang akan menjadi tokoh pemberi inspirasi? Tokoh yang tak hanya dalam berfikir tapi berani bertindak?

Kita sedang berada di tikungan sejarah. Dan seperti yang diingatkan oleh Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970), pendidikan yang tidak membebaskan, hanyalah alat kekuasaan untuk melanggengkan ketertundukan.

Saatnya Menolak Lupa

Universitas bukan biro jasa pelatihan. Ia adalah benteng terakhir peradaban.

Jika kita diam saat kampus dijadikan alat kekuasaan dan pasar, maka kita pun sedang menyaksikan kejatuhan bangsa yang memalukan.

Maka biarlah tulisan ini menjadi catatan kecil. Sebuah panggilan untuk menghidupkan kembali asketikme intelektual.

Untuk mengingatkan bahwa di tengah gegap gempita dunia digital dan birokrasi pendidikan, masih ada yang lebih penting dari akreditasi, dan itu adalah nurani. Inti sari kemanusiaan. (*)

Agus Somamihardjakampus
Comments (0)
Add Comment