Oleh Dr. H. Serian Wijatno (Akademisi dan Pemerhati Sosial Kemasyarakatan).
Pemerintah akan melakukan penulisan ulang sejarah Indonesia. DPR RI sudah setuju.
Alasannya, proyek nasional ini sebagai langkah menandai akhir dari kevakuman penulisan sejarah bangsa selama lebih dari dua dekade.
Tujuannya menghapus bias kolonial, menguatkan identitas nasional, hingga menjawab tantangan globalisasi yang relevan bagi generasi muda.
“Penulisan ulang sejarah bukan lagi pilihan, tapi keharusan,” , tegas Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam keterangan tertulis yang diterima InfoPublik, Selasa (27/5/2025).
Kita tentu sangat setuju dengan alasan dan tujuan penulisan ulang sejarah nasional yang nanti akan diterbitkan menjadi buku sejarah.
Namun, saya terkesan dengan pernyataan Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian saat rapat kerja dengan Menteri Kebudayaan tentang rencana penulisan ulang buku sejarah, di mana beliau menekankan pentingnya proses penulisan yang inklusif dan transparan.
Karena ini bukan sekadar penulisan akademis, tapi juga untuk membentuk memori kolektif bangsa.
Saya setuju dengan pernyataan beliau, bahwa penulisan sejarah itu harus transparan.
Kalau kita merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti kata “transparan” jika ditinjau dari makna kiasan berarti adalah keterbukaan, kejujuran, dan kejelasan dalam suatu proses atau informasi. Hal ini berarti tidak ada yang ditutupi atau disembunyikan.
Tapi sayangnya, dalam rencana penulisan ulang sejarah inilah point “transparansi” seperti terlupakan. Khususnya, ketika membahas tentang peristiwa menjelang era reformasi yang meninggalkan catatan buruk sejarah perjalanan negeri ini dengan terjadinya aksi kerusuhan yang kemudian dikenal dengan peristiwa “Tragedi Mei 1998”.
Tragedi Mei 1998 merupakan salah satu titik gelap dalam perjalanan sejarah Indonesia.
Kerusuhan yang melanda berbagai kota besar bukan hanya menimbulkan kerusakan fisik dan ekonomi, tetapi juga trauma sosial yang mendalam.
Di tengah kekacauan itu, terjadi kekerasan seksual terhadap perempuan.
Namun hingga hari ini, belum pernah ada pengadilan HAM ad hoc yang dibentuk untuk mengusut tragedi tersebut.
Padahal, menurut kesaksian para penyintas peristiwa itu, korbannya tak sedikit yang trauma hingga kini bahkan pergi ke luar negeri tak kembali.
Peristiwa sedih itu tercatat dalam laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk bersama pemerintah dibawah kepemimpinan Presiden BJ Habibie.
Dalam laporan tersebut, TGPF menemukan adanya tindak kekerasan seksual yang terjadi di Jakarta, Medan, dan Surabaya dalam kerusuhan Mei 1998.
Tapi tampaknya fakta itu tidak diperhatikan dalam penyusunan ulang buku sejarah kita.
Seperti dikutip kompas.com (13/6/2025), menurut Menteri Kebudayaan Fadli Zon, peristiwa itu hanya berdasarkan rumor yang beredar dan tidak pernah ada bukti pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 1998.
“Nah, ada perkosaan massal. Betul enggak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Itu enggak pernah ada proof-nya (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Enggak pernah ada,” ucap Fadli Zon dalam program Real Talk with Uni Lubis, Senin (8/6/2025).
Pernyataan Fadli Zon itu tampaknya patut mendapat perhatian serius. Semoga saja bukan sinyal bahwa fakta tahun 1998 itu tak masuk dalam catatan ulang sejarah yang akan ditulis.
Padahal, sekali lagi, penulisan sejarah harus transparan. Penulisan ulang itu di back up oleh puluhan sejarawan tentu kita semua pasti mengapresiasi.
Tapi untuk sejarah kasus kerusuhan 1998 ini, selain karena jarak waktunya belum terlalu lama, maka tim penyusun dan pemerintah selain bisa mengandalkan sejarawan bisa juga melibatkan atau meminta masukan juga dari tokoh-tokoh yang duduk dalam TGPF Tragedi Mei 1998. Seperti KH. Said Aqil Siradj, Bambang Wijayanto, Dai Bachtiar dan tokoh lainnya.
Bahkan tak sedikit penyintasnya yang masih hidup untuk diambil kesaksiannya. Sehingga akan memperkaya perspektif.
Kenapa hal ini perlu diperhatikan? Tentu semata-mata demi penulisan sejarah yang benar-benar transparan. Karena ini adalah bagian sejarah Indonesia yang harus dipahami generasi muda. Tidak ada maksud tertentu.
Apalagi untuk menyudutkan kelompok atau pihak lain. Justru kalau ini tidak dibuka secara transparan malah akan menimbulkan kecurigaan, sementara peristiwanya sendiri sudah mendunia.
Kita tidak ingin disebut sebagai yang gagal dalam membangun politik ingatan yang sehat. Politik ingatan adalah cara suatu bangsa mengingat dan menafsirkan masa lalunya.
Kita juga tidak mau sejarah dijadikan medan tarik-menarik kepentingan politik jangka pendek. Tragedi yang seharusnya menjadi pengingat bersama justru direduksi menjadi wacana yang dipertentangkan, bukan dimaknai secara jernih.
Sebagian mungkin berkata bahwa membuka luka lama hanya akan mengganggu persatuan.
Namun kita percaya, bangsa yang besar bukanlah bangsa yang melupakan masa lalunya, tetapi yang mampu menghadapinya dengan keberanian dan empati.
Dengkan bersikap transparan dalam menulis ulang sejarah, bukan untuk mencaci, melainkan untuk mengingatkan bahwa kebenaran tidak boleh disangkal hanya karena tidak nyaman.
Sebaliknya, itu adalah bentuk tanggung jawab moral untuk membuka ruang penyembuhan bagi mereka yang telah lama diam karena takut dan terluka.
Luka tidak akan pernah sembuh jika terus dianggap tidak ada. Trauma tidak akan pernah reda jika terus dianggap ilusi. Dan, keadilan tidak akan pernah terwujud jika suara korban terus dibungkam.
Para penyintas kekerasan seksual 1998 tidak meminta belas kasihan. Mereka hanya ingin satu hal: kejujuran.
Kejujuran bahwa yang mereka alami itu nyata. Dan bahwa bangsa ini cukup dewasa untuk mengakui kesalahan masa lalunya. Kita semua percaya bahwa keadilan, meskipun tertunda, tetap layak diperjuangkan. ***