Highlight:
- Pemerintah soroti tingginya pengangguran muda dan mismatch tenaga kerja Indonesia
- Data BPS memperlihatkan sebanyak 36,36 persen angkatan kerja muda bekerja tidak sesuai pendidikan, picu wage penalty
- Peningkatan kompetensi digital dan AI dinilai kunci daya saing tenaga kerja nasional
Jakarta– Pemerintah menegaskan peningkatan kompetensi tenaga kerja muda menjadi kebutuhan mendesak di tengah dominasi pekerja informal dan rendahnya tingkat pendidikan sebagian besar angkatan kerja.
Kondisi ini dinilai memperlemah daya saing nasional dan memperbesar risiko pengangguran usia muda di tengah disrupsi global.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan dalam tiga tahun terakhir tingkat pengangguran terbuka usia muda masih relatif tinggi.
Selain itu, persoalan ketidaksesuaian antara pendidikan dan pekerjaan atau mismatch masih menjadi tantangan serius di pasar kerja Indonesia.
Hal itu disampaikan Wakil Menteri Ketenagakerjaan Afriansyah Noor pada seminar “Level Up Your Future: Tips Sukses Masuk Dunia Kerja dan Mandiri Finansial” yang diselenggarakan oleh Infobank Financial Society (IFS) di Universitas Bina Nusantara (Binus) Jakarta, Rabu (17/12).
“Banyaknya pekerja informal dan pekerja dengan pendidikan SMP ke bawah membuat peningkatan kompetensi menjadi kebutuhan mendesak,” ujar Wamen.
Dalam paparannya, pemerintah mencatat sekitar 36,36 persen angkatan kerja muda bekerja pada posisi yang tidak sesuai dengan tingkat pendidikannya. Kondisi overeducated maupun undereducated tersebut berdampak jangka panjang terhadap produktivitas dan kesejahteraan pekerja.
“Ijazah formal saja tidak lagi cukup untuk menjamin kesesuaian kerja,” tegasnya.
Ketidaksesuaian kompetensi dinilai memicu wage penalty atau stagnasi upah, di mana pekerja cenderung menerima penghasilan lebih rendah dibandingkan mereka yang bekerja sesuai bidang keahlian. Akumulasi masalah ini berpotensi menciptakan inefisiensi masif dalam perekonomian nasional.
Tekanan terhadap pasar kerja semakin besar seiring cepatnya disrupsi teknologi. Pekerjaan dengan tingkat rutinitas tinggi, khususnya di sektor manufaktur, dinilai lebih rentan tergantikan oleh robotika, platform digital, dan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).
“Pekerjaan dengan upah dan intensitas pekerjaan rutin lebih tinggi cenderung lebih rentan untuk terdisrupsi oleh teknologi,” tertulis dalam bahan paparan.
Meski demikian, katanya, AI juga dipandang sebagai peluang strategis untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Pemerintah menilai pemanfaatan AI dapat membantu efisiensi kerja individu, mendukung pengambilan keputusan di tingkat unit bisnis. Teknologi ini juga mendorong transformasi sistem operasional organisasi.
Di sisi lain, aspirasi generasi milenial dan Generasi Z terhadap dunia kerja turut berubah. Lingkungan kerja yang mendukung pertumbuhan, kolaborasi, dan kesejahteraan menjadi prioritas utama bagi tenaga kerja muda dalam memilih pekerjaan.
Afriansyah mengatakan, pemerintah menekankan fase transisi dari sekolah ke dunia kerja sebagai periode krusial dalam membangun kesiapan tenaga kerja.
Penguasaan keterampilan terintegrasi, mulai dari AI, big data, keamanan siber, hingga kemampuan berpikir analitis, kreativitas, dan kepemimpinan dinilai menjadi fondasi utama daya saing tenaga kerja masa depan.
Upaya peningkatan kompetensi tersebut dipandang sebagai langkah strategis untuk menekan pengangguran, mengurangi mismatch, serta memastikan tenaga kerja Indonesia mampu beradaptasi dan bersaing di tengah perubahan global yang semakin cepat. (*) Ranu Arasyki Lubis