Tanpa Pesmunahan Cepat, Ancaman Bencana Sampah itu Nyata Hantui Kota dan Kabupaten

Oleh Yazid Bindar, Guru Besar Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung.

SETIAP hari, di berbagai kota dan kabupaten di Indonesia, truk-truk pengangkut sampah melaju dari pemukiman, pasar, dan pusat ekonomi menuju tempat pembuangan sampah sementara (TPS) dan berakhir pada tempat pembuangan sampah akhir (TPA). Mereka membawa beban dari aktivitas masyarakat modern yang terus tumbuh: sisa makanan, plastik sekali pakai, kemasan produk, hingga limbah rumah tangga lainnya.

Namun, di balik rutinitas ini, ada persoalan besar yang kian menumpuk – volume sampah meningkat jauh lebih cepat daripada kemampuan sistem pengelolaan untuk menguranginya. TPS yang seharusnya bersifat sementara kini berubah menjadi gunungan permanen sampah yang mencemari lingkungan. TPA seharusnya menjadikan sampah musnah dalam waktu yang tidak lama bukan menciptakan bukit bukit yang terbentuk oleh sampah.

Kondisi ini semakin parah karena keterbatasan lahan. Banyak TPS terletak di kawasan padat penduduk dengan luasan terbatas, sehingga tumpukan sampah cepat mencapai batas maksimal. Seperti terlihat pada gambar dan grafik yang disertakan, tinggi tumpukan sampah meningkat dari waktu ke waktu (t₁, t₅, t₁₀, t₁₅, t₂₀, t₂₅) hingga melewati garis batas kritis.

(Foto: Istimewa)

Saat batas ini terlampaui, sampah mulai meluap ke jalan, saluran air, dan area publik. Fenomena ini bukan lagi sekadar masalah estetika, melainkan ancaman nyata terhadap kesehatan dan keselamatan masyarakat.

TPS dan TPA di Ambang Kolaps

Tempat Pembuangan Akhir (TPA), yang seharusnya menjadi solusi terakhir, kini menghadapi kondisi kritis. Volume sampah yang datang dari TPS-TPS di berbagai wilayah meningkat tanpa henti, sementara teknologi landfill konvensional yang digunakan hanya menimbun tanpa mengurangi massa sampah secara signifikan. Akibatnya, lahan TPA cepat penuh, dan bau menyengat, pencemaran air lindi, serta pelepasan gas metana menjadi masalah yang tak terhindarkan.

Setiap tahun, ketinggian tumpukan di TPA bertambah seperti kurva pada grafik—menunjukkan akumulasi tanpa pemusnahan.

Jika tren ini berlanjut, kota dan kabupaten akan menghadapi situasi di mana TPA tak lagi mampu menerima kiriman sampah baru. Saat itu terjadi, truk pengangkut sampah akan berhenti beroperasi, dan sampah akan menumpuk di sumbernya: di depan rumah warga, di pasar, dan di sepanjang jalan.

Bencana sampah bukan lagi potensi, melainkan kenyataan. Tanpa perubahan sistemik dan penerapan teknologi pemusnahan cepat, aman, dan terjangkau, semua upaya pengangkutan hanyalah memindahkan masalah dari satu titik ke titik lain.

Paradigma Lama: Buang dan Timbun

Sebagian besar sistem pengelolaan sampah di Indonesia masih mengandalkan paradigma lama: kumpul-angkut-buang. Sistem ini terlihat sederhana, namun menyembunyikan kelemahan besar. Tidak ada tahap pemrosesan yang benar-benar menghentikan akumulasi volume.

Akibatnya, baik TPS maupun TPA menjadi titik akhir penumpukan, bukan penghilangan. Pemerintah daerah sering kali hanya berfokus pada pengangkutan, sementara aspek pengolahan belum menjadi prioritas utama karena keterbatasan dana dan infrastruktur.

Model ini juga menciptakan ketergantungan sistemik pada lahan baru, padahal ketersediaan lahan di kota dan kabupaten semakin terbatas. Bahkan, pembukaan lahan TPA baru kerap menimbulkan konflik sosial karena menurunkan kualitas lingkungan sekitar. Oleh karena itu, pendekatan ini bukan solusi jangka panjang. Justru, ia menjadi akar penyebab bencana lingkungan yang lebih besar: tumpukan sampah yang tak pernah berkurang.

Krisis Infrastruktur dan Ketidakadilan Lingkungan

Masalah sampah tidak berdiri sendiri. Ia berkelindan dengan persoalan infrastruktur, tata kelola, dan keadilan sosial. Di banyak daerah, sistem pengumpulan dan pengangkutan tidak efisien karena armada dan rute yang terbatas.

Akibatnya, tidak semua wilayah terlayani secara merata. Daerah pinggiran dan kawasan padat sering menjadi korban, karena sampah di sana lebih cepat menumpuk dan jarang diangkut. Ketika daya tampung TPS dan TPA mencapai batasnya, masyarakat kecil lah yang pertama kali terkena dampaknya.

Lebih jauh lagi, bencana sampah adalah bentuk nyata dari ketidakadilan lingkungan. Masyarakat berpenghasilan rendah biasanya tinggal di sekitar TPS atau TPA dan harus menanggung risiko pencemaran udara, air, dan tanah setiap hari. Di sisi lain, kelompok yang lebih mampu hidup di kawasan yang jauh dari sumber timbunan sampah. Ketimpangan ini memperlihatkan bahwa sistem pengelolaan sampah yang ada saat ini bukan hanya tidak efisien, tapi juga tidak adil.

Sampah dan Krisis Kesehatan Masyarakat

Tumpukan sampah yang tidak dikelola dengan baik adalah sumber berbagai penyakit. Lalat, tikus, dan nyamuk berkembang biak di area pembuangan sampah terbuka, membawa risiko demam berdarah, leptospirosis, dan penyakit kulit.

Air lindi yang meresap ke tanah mencemari sumur warga, sementara pembakaran terbuka di TPS menghasilkan emisi beracun seperti dioksin yang mengancam kesehatan pernapasan. Semua ini memperlihatkan bahwa bencana sampah bukan hanya bencana lingkungan, tetapi juga bencana kesehatan masyarakat.

Dalam kondisi tertentu, sampah bahkan bisa menjadi sumber bencana fisik. Kasus longsor sampah di TPA Leuwigajah tahun 2005 adalah peringatan keras. Ketika volume dan tinggi tumpukan tidak terkendali, gaya gravitasi dan tekanan internal dapat menyebabkan longsor besar yang menelan korban jiwa. Artinya, tanpa sistem pemusnahan yang cepat dan aman, ancaman ini dapat terulang kapan saja, di kota mana pun.

Mengapa Pemusnahan Cepat, Aman dan Terjangkau Diperlukan

Teknologi pemusnahan cepat dan aman bukan sekadar solusi teknis, tetapi kebutuhan mendesak. Dengan teknologi termal, pirolisis, gasifikasi, atau metode non-listrik yang efisien yang cepat, aman dan terjangkau, sampah dapat direduksi secara signifikan di tingkat TPS sebelum dikirim ke TPA.

Prinsip dasarnya adalah mengubah sifat sampah dari “menumpuk” menjadi “hilang” secara terkendali dan tanpa menghasilkan residu berbahaya. Pemusnahan cepat, aman dan terjangkau memungkinkan TPS dan TPA beroperasi dalam kapasitas optimal tanpa perlu perluasan lahan terus-menerus.

Selain itu, sistem ini juga harus terjangkau secara ekonomi agar dapat diterapkan di berbagai daerah, termasuk kabupaten kecil. Tanpa keterjangkauan biaya, teknologi hanya akan berhenti di proyek percontohan tanpa kelanjutan.

Pendekatan yang paling realistis adalah dengan mengembangkan teknologi pemusnahan lokal skala menengah, yang tidak bergantung pada listrik tinggi dan mudah dioperasikan oleh pemerintah daerah. Pendekatan inilah yang mampu mencegah terjadinya bencana sampah secara berkelanjutan.

Transformasi Sistem Pengelolaan Sampah

Untuk keluar dari ancaman bencana sampah, kota dan kabupaten harus berani melakukan transformasi paradigma. Pengelolaan sampah tidak boleh lagi hanya dipandang sebagai urusan “angkut dan buang”, tetapi sebagai sistem terintegrasi dari sumber hingga pemusnahan.

Tahapan ini meliputi: pengurangan dari sumber (reduce), pemilahan, daur ulang, hingga pemusnahan cepat dan aman. Setiap tahapan perlu dukungan kebijakan, pembiayaan, dan inovasi teknologi yang konsisten.

Transformasi juga perlu melibatkan masyarakat. Edukasi tentang pengelolaan sampah dari rumah tangga menjadi fondasi utama. Jika masyarakat memahami bahwa sampah bukan hanya masalah pemerintah tetapi juga tanggung jawab bersama, maka beban sistem pengumpulan dan pemrosesan akan berkurang.

Namun, edukasi saja tidak cukup—harus disertai fasilitas yang memadai, termasuk teknologi pemusnahan cepat. Aman dan terjangkau di tingkat TPS dan TPA yang bisa diakses semua daerah.

Bencana Sampah yang Bisa Dihindari

Gambar dan grafik yang ditampilkan menjadi peringatan visual yang kuat. Setiap tahun tanpa tindakan berarti menambah ketinggian tumpukan sampah dan memperpendek jarak menuju garis merah “tinggi kritis”.

Ketika garis itu terlewati, bukan hanya TPS atau TPA yang kolaps, tetapi seluruh sistem kehidupan kota: ekonomi terganggu, kesehatan memburuk, dan lingkungan rusak. Bencana sampah bukan fenomena tiba-tiba—ia tumbuh dari pembiaran yang berlangsung lama.

Namun, bencana ini bisa dihindari. Dengan penerapan teknologi pemusnahan cepat, aman, dan terjangkau, serta kebijakan pengelolaan terintegrasi yang menekankan pencegahan, kita dapat mengubah arah dari kehancuran menuju keberlanjutan.

Kota dan kabupaten di Indonesia harus segera bertindak sebelum grafik tumpukan sampah dalam gambar tersebut menjadi kenyataan di dunia nyata. Sebab, waktu terus berjalan—dan setiap hari, sampah terus datang.

bencana sampahkabupatenKotalimbahsampah
Comments (0)
Add Comment