Sumatera Menangis di Tengah Banjir Bandang dan Negara seperti Terasa Menjauh

Oleh Yazid Bindar, Guru Besar Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung.

BANJIR bandang kembali menyapu wilayah Sumatera dengan daya rusak yang sulit dibayangkan. Dari Aceh, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat, air datang bukan sekadar meluap, tetapi menyerbu dengan kecepatan, membawa lumpur, kayu, batu, dan sisa-sisa hutan yang telah lama kehilangan daya tahan alaminya.

Kampung-kampung yang selama puluhan tahun berdiri di tepian sungai tiba-tiba berubah menjadi puing. Sawah terkubur, rumah terbelah, jembatan runtuh, dan jalan penghubung terputus, membuat banyak daerah terisolasi dalam hitungan jam.

Bagi masyarakat setempat, sungai meluap mungkin sudah terbiasa dan tidak terasa asing. Asing karena skala kehancurannya sering kali belum pernah mereka alami sebelumnya, akrab bisa saja karena banjir kecil bisa saja sering terjadi.

Tetapi, yang bencana sekarang ini bukan ‘lah yang biasa-biasa saja. Ganas air bah menghilangkan segalanya. Perubahan pola hujan, degradasi hutan, dan tata ruang yang abai berpadu menciptakan bencana berulang. Namun, yang paling menyayat bukan hanya air yang merusak, melainkan rasa ditinggalkan setelah air surut dan lumpur mengering di dinding rumah serta ingatan kolektif warga.

Aceh bagaikan Luka Lama Tsunami Terbuka Kembali

Aceh adalah wilayah dengan memori traumatik bencana yang panjang. Tsunami 2004 telah mengajarkan betapa rapuhnya manusia di hadapan alam. Namun, banjir bandang hari ini membuka luka baru: luka ketidakberdayaan struktural.

Sungai-sungai yang dahulu menjadi nadi kehidupan kini berubah menjadi ancaman. Di sejumlah kabupaten, banjir bandang datang tiba-tiba dari kawasan hulu, menghantam pemukiman dengan kekuatan yang tak sempat memberi waktu evakuasi.

Di Aceh, penderitaan warga bukan hanya pada saat bencana, tetapi juga setelahnya. Posko darurat sering kekurangan logistik, akses ke desa-desa terputus, dan proses pendataan korban berjalan lambat.

Pemerintah daerah berusaha, namun keterbatasan anggaran membuat upaya tanggap darurat terasa timpang. Rakyat bertahan dengan solidaritas sesama, sementara pertanyaan besar menggantung: sampai kapan Aceh harus mengandalkan empati publik dan relawan untuk menutup celah negara?

Bencana di Tengah Kepadatan

Di Sumatera Utara, banjir bandang menghantam wilayah yang padat penduduk dan strategis secara ekonomi. Sungai-sungai yang menyempit akibat pemukiman dan aktivitas industri tak lagi mampu menampung debit air ekstrem.

Ketika hujan deras turun berjam-jam, air menemukan jalannya sendiri: menerobos rumah, pasar, sekolah, dan rumah ibadah. Dalam hitungan menit, aktivitas ekonomi lumpuh dan warga terjebak tanpa kepastian.

Yang paling memprihatinkan adalah dampak sosial pascabencana. Banyak keluarga kehilangan sumber penghidupan, sementara harga kebutuhan pokok melonjak karena jalur distribusi terputus. Pemerintah daerah bergerak sebisanya, namun biaya rehabilitasi dan rekonstruksi jauh melampaui kemampuan fiskal mereka. Di tengah kondisi ini, warga merasa seolah bencana adalah urusan lokal semata, bukan persoalan nasional yang membutuhkan kehadiran negara secara penuh.

Alam yang Murka dan Ruang Tersapu Tak Mampu Lagi Bertahan

Sumatera Barat mengalami banjir bandang dengan karakteristik khas: air bah dari perbukitan yang membawa material besar dan menghantam lembah-lembah pemukiman. Kampung-kampung yang dulunya aman kini terkikis, terendam, bahkan lenyap.

Banyak warga menyebut kejadian ini sebagai sesuatu yang “tidak pernah terjadi sebelumnya,” menandakan perubahan drastis dalam keseimbangan alam.

Akan tetapi, di balik narasi cuaca ekstrem, ada persoalan tata kelola ruang dan lingkungan yang tak bisa diabaikan. Hutan yang kehilangan tonggak kayunya, lereng yang terbuka, dan sungai yang menyempit menjadikan banjir bandang sebagai keniscayaan.

Ketika bencana datang, pemerintah daerah kembali dihadapkan pada dilema klasik: kebutuhan mendesak yang besar berhadapan dengan kantong anggaran yang tipis. Revitalisasi daerah terdampak terasa seperti mimpi jauh di tengah realitas fiskal yang keras.

Pemerintah Daerah: Antara Tanggung Jawab dan Ketidakberdayaan

Pemerintah daerah berada di garis depan penanganan bencana, namun sering kali tanpa senjata yang memadai. Anggaran penanggulangan bencana daerah umumnya terbatas dan lebih difokuskan pada tanggap darurat, bukan pemulihan jangka panjang.

Ketika banjir bandang meluas dan merusak infrastruktur vital, beban biaya melonjak drastis, melampaui kemampuan APBD.

Di sisi lain, ekspektasi publik sangat tinggi. Warga menuntut respons cepat, bantuan memadai, dan kepastian masa depan. Kepala daerah dan aparatnya bekerja di bawah tekanan besar, berusaha menenangkan masyarakat sembari mencari celah bantuan dari pusat.

Tanpa adanya status bencana nasional, ruang gerak mereka semakin sempit. Pemerintah daerah seperti diminta bertanggung jawab penuh atas bencana yang akar dan dampaknya melampaui wilayah administratif mereka.

Pemerintah Pusat seperti Sikap Menghindar

Harapan rakyat secara naluriah tertuju pada pemerintah pusat. Dalam imajinasi publik, negara hadir paling kuat justru ketika daerah tak lagi mampu berdiri sendiri. Tetapi, yang dirasakan masyarakat Sumatera adalah kesan menghindar. Pernyataan-pernyataan pejabat pusat yang menolak atau menunda penetapan bencana nasional terdengar seperti palu godam yang mematahkan harapan.

Penolakan ini sering dibungkus dengan alasan prosedural dan teknokratis: skala belum memenuhi syarat, masih bisa ditangani daerah, atau anggaran pusat terbatas. Bagi warga korban, alasan-alasan itu terasa dingin dan jauh dari realitas lapangan.

Yang mereka lihat adalah rumah hancur, sawah hilang, dan masa depan yang kabur. Ketika negara tampak berdebat soal status, rakyat terjebak dalam ketidakpastian yang melelahkan.

Rakyat di Persimpangan Harapan

Dalam situasi seperti ini, rakyat menjadi bingung harus berharap kepada siapa. Pemerintah daerah dianggap tak berdaya, pemerintah pusat terasa menjauh, sementara waktu terus berjalan membawa dampak sosial dan psikologis yang kian dalam. Anak-anak kehilangan sekolah, orang tua kehilangan mata pencaharian, dan komunitas kehilangan rasa aman.

Solidaritas masyarakat dan bantuan relawan memang menghangatkan, tetapi tidak bisa menggantikan peran negara. Rakyat membutuhkan kebijakan, anggaran, dan jaminan keberlanjutan, bukan sekadar simpati. Ketika harapan pada negara memudar, yang tersisa adalah rasa getir dan kecurigaan bahwa penderitaan mereka hanyalah angka statistik di meja birokrasi.

Sumatera Menangis, Negara Diuji

Banjir bandang di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bukan sekadar peristiwa alam, melainkan ujian serius bagi kehadiran negara. Ini adalah cermin hubungan pusat dan daerah, sekaligus indikator sejauh mana keadilan ekologis dan sosial benar-benar dijalankan. Sumatera menangis bukan hanya karena air bah, tetapi karena rasa ditinggalkan dalam duka.

Jika bencana terus dipandang sebagai urusan administratif semata, maka jarak antara negara dan rakyat akan semakin melebar. Penetapan bencana nasional bukan sekadar soal status, tetapi simbol tanggung jawab kolektif.

Di tengah banjir bandang yang mengikis tanah dan harapan, rakyat Sumatera menunggu satu hal sederhana namun fundamental: kehadiran negara yang nyata, utuh, dan berpihak pada mereka yang paling terdampak.

Acehbanjir bandangbencana alamSumateraSumatera BaratSumatera Utara
Comments (0)
Add Comment