Oleh Yazid Bindar, Guru Besar ITB dan Pemerhati Masalah Sosial Politik
Apa itu State Capture Corruption dan Bahayanya
State capture corruption adalah bentuk korupsi yang paling berbahaya karena melibatkan aktor-aktor elit, baik dari pemerintahan maupun sektor swasta, dalam mengendalikan kebijakan dan institusi negara demi keuntungan pribadi atau kelompok. Berbeda dengan korupsi biasa yang terjadi dalam bentuk suap atau gratifikasi, state capture beroperasi lebih canggih dan sistematis, menjadikan negara sebagai alat eksploitasi bagi segelintir elit. Di Indonesia, fenomena ini sudah menjadi ancaman serius bagi demokrasi dan kesejahteraan rakyat.
Pembajakan Regulasi Melalui Menulis Aturan Demi Kepentingan Oligarki
Salah satu metode utama state capture corruption adalah pembajakan regulasi, di mana kelompok tertentu mempengaruhi pembuatan undang-undang atau kebijakan untuk menguntungkan bisnis mereka. Ini bisa terjadi melalui lobi politik, pendanaan kampanye, atau bahkan penempatan orang-orang mereka di dalam lembaga legislatif dan eksekutif. Contohnya adalah ketika regulasi di sektor pertambangan, perkebunan, atau energi dibuat sedemikian rupa sehingga menguntungkan segelintir korporasi, sementara masyarakat adat dan lingkungan menjadi korban.
Kendali atas Penegakan Hukum untuk Kebal dari Jeratan Hukum
Korupsi dalam bentuk state capture juga terlihat dari bagaimana elit bisnis dan politik dapat mengendalikan lembaga penegak hukum. Aparat kepolisian, kejaksaan, hingga pengadilan bisa dikendalikan untuk melindungi kepentingan mereka dan memastikan tidak ada hukuman yang dijatuhkan atas praktik koruptif mereka. Akibatnya, meskipun ada kasus korupsi yang melibatkan aktor-aktor besar, sering kali mereka lolos dari jeratan hukum atau hanya mendapatkan hukuman ringan.
Perdagangan Jabatan untuk Memastikan Loyalitas Birokrasi
Elit yang menjalankan state capture corruption juga menggunakan metode perdagangan jabatan untuk memastikan kendali mereka atas birokrasi. Dengan menempatkan orang-orang loyal di posisi strategis, mereka bisa memastikan kebijakan dan anggaran berjalan sesuai dengan kepentingan kelompoknya. Praktik ini sering terjadi dalam pengisian jabatan di kementerian, BUMN, dan lembaga penegak hukum, di mana jabatan tertentu bisa diperoleh melalui transaksi politik atau ekonomi.
Monopoli dan Kartel Ekonomi dalam Mengendalikan Pasar dan Sumber Daya
Dalam banyak kasus, state capture corruption melibatkan penguasaan sektor ekonomi tertentu oleh kelompok elit. Mereka menciptakan monopoli atau kartel melalui regulasi yang dibuat khusus untuk membatasi persaingan dan memastikan keuntungan besar hanya bagi mereka. Contohnya adalah kebijakan impor yang sering kali dibuat untuk menguntungkan segelintir importir besar, sementara produsen menjadi korban dari kebijakan yang tidak berpihak.
Manipulasi Anggaran Negara dengan Proyek Fiktif dan Mark-Up
Selain mengendalikan kebijakan dan regulasi, pelaku state capture corruption juga memanfaatkan anggaran negara sebagai sumber utama keuntungan. Praktik seperti penggelembungan anggaran (mark-up), proyek fiktif, hingga alokasi anggaran yang hanya menguntungkan kelompok tertentu sudah menjadi pola yang umum. Ini bisa terlihat dalam proyek-proyek infrastruktur besar yang sering kali disertai dengan korupsi sistematis dari proses perencanaan hingga pelaksanaan.
Eksploitasi Sumber Daya Alam untuk Menjarah Kekayaan Negara
Indonesia yang kaya akan sumber daya alam sering menjadi sasaran state capture corruption. Penguasaan sektor pertambangan, perkebunan, dan kehutanan oleh segelintir elit menunjukkan bagaimana kebijakan dibuat untuk mempermudah eksploitasi sumber daya tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan. Izin tambang sering kali diberikan kepada perusahaan tertentu tanpa melalui prosedur yang transparan, sementara masyarakat lokal dibiarkan menderita akibat perampasan lahan dan pencemaran lingkungan.
Politik Dinasti dan Persekongkolan Memperkuat Cengkeraman Keluarga dan Kroni
Salah satu metode yang digunakan untuk menjaga keberlanjutan state capture corruption adalah dengan membangun politik dinasti. Dalam sistem ini, kekuasaan dan kendali atas kebijakan diwariskan kepada anggota keluarga atau kroni terdekat, sehingga jaringan korupsi dapat terus berjalan tanpa gangguan. Fenomena ini terlihat jelas di berbagai daerah di Indonesia, di mana kepala daerah sering kali digantikan oleh keluarganya dalam pemilu berikutnya.
Kendalikan Media dan Kendalikan Narasi
Agar state capture corruption dapat berjalan lancar, pengendalian media menjadi salah satu strategi penting. Pemilik modal yang juga memiliki kepentingan politik sering kali menguasai media massa untuk membentuk opini publik yang mendukung kepentingan mereka. Investigasi jurnalistik yang mencoba membongkar korupsi skala besar sering kali mendapat tekanan, baik dalam bentuk sensor, ancaman, atau bahkan kriminalisasi terhadap jurnalis.
Intervensi dan Rekayasa Demokrasi Mengunci Kekuasaan Sejak Awal
Agar jaringan state capture corruption tetap kuat, intervensi dalam proses pemilu dilakukan secara sistematis. Ini bisa berupa manipulasi daftar pemilih, politik uang, hingga penggunaan sumber daya negara untuk memenangkan kandidat yang berpihak pada kelompok tertentu. Dengan menguasai pemilu, mereka dapat memastikan kebijakan tetap berpihak kepada oligarki dan mempersempit ruang bagi perubahan politik yang lebih demokratis.
Kolusi antara Pejabat dan Swasta sebagai Simbiosis Koruptif
Dalam banyak kasus, state capture corruption terjadi karena adanya hubungan simbiosis antara pejabat negara dan pengusaha. Mereka bekerja sama dalam proyek-proyek strategis yang pada akhirnya hanya menguntungkan kedua belah pihak, sementara kepentingan publik diabaikan. Contohnya adalah dalam proyek infrastruktur besar seperti jalan tol atau pembangunan kota baru, di mana lahan rakyat digusur tanpa kompensasi yang layak demi keuntungan pengembang properti.
Menekan Aktivis dan Membungkam Kritik
Agar sistem korupsi ini tidak terganggu, mereka yang berusaha melawannya sering kali menjadi target represi. Aktivis antikorupsi, akademisi, dan pembela hak asasi manusia sering mengalami intimidasi, kriminalisasi, atau bahkan kekerasan fisik. Tujuannya adalah menciptakan efek jera agar tidak ada pihak yang berani melawan kekuasaan yang sudah dikuasai oleh para elit korup.
Dampak Buruk bagi Demokrasi dan Perekonomian
State capture corruption membawa dampak buruk yang luas, mulai dari merusak demokrasi hingga memperdalam kesenjangan ekonomi. Ketika kebijakan dibuat hanya untuk kepentingan segelintir orang, masyarakat luas menjadi korban dari ketidakadilan struktural. Anggaran negara yang seharusnya digunakan untuk pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan rakyat justru disedot oleh para aktor korup untuk memperkaya diri sendiri.
Merebut Kembali Negara dari Oligarki
Meskipun state capture corruption begitu mengakar, masih ada harapan untuk melawan. Transparansi dalam pembuatan kebijakan, penguatan peran masyarakat sipil, serta reformasi kelembagaan menjadi langkah kunci untuk merebut kembali negara dari cengkeraman oligarki. Selain itu, media independen dan gerakan antikorupsi harus terus diperkuat agar publik memiliki akses terhadap informasi yang benar dan bisa menekan perubahan sistemik.
Melawan atau Tenggelam dalam Korupsi Sistemik
Indonesia saat ini bisa berada di persimpangan jalan. Jika state capture corruption dibiarkan tanpa perlawanan, maka negara ini akan semakin tenggelam dalam jurang ketidakadilan dan kehancuran ekonomi. Namun, jika ada keberanian dari masyarakat dan pemimpin yang berintegritas, masih ada peluang untuk memperbaiki sistem dan menciptakan pemerintahan yang benar-benar berpihak pada rakyat. Pilihannya ada di tangan kita: melawan atau menyerah pada cengkeraman korupsi sistemik.
Yazid Bindar
7 Maret 2025