Jakarta– Angka backlog rumah menjadi salah satu masalah penting yang masih belum bisa terselesaikan. Kesenjangan hunian yang dibangun dengan jumlah rumah yang dibutuhkan masyarakat masih tergolong tinggi.
Berdasarkan data Survei Sosio Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2023 yang diolah SMF, tercatat bahwa backlog kepemilikan rumah mencapai 9,91 juta atau 13,56% rumah tangga (ruta).
Sementara, sebanyak 26,92 juta rumah tangga Indonesia, atau sekitar 36,85% masih tinggal di rumah tidak layak huni (RTLH).
Untuk menurunkan tingkat backlog, PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) atau SMF menginisiasi Focus Group Discussion (FGD) bertema “Peran Sektor Perumahan sebagai pendorong Perekonomian dan Pengentasan Kemiskinan Nasional”. FGD ini digelar oleh Dirjen Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan, Kementerian PUPR.
Tujuannya, mengidentifikasi tantangan, merumuskan strategi, dan rekomendasi kebijakan terkait peran sektor perumahan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan untuk mendukung program pemerintah.
Direktur Utama SMF Ananta Wiyogo mengatakan, hasil kajian SMF bersama DTS Indonesia di tahun 2023 menunjukkan, setiap Rp1 triliun yang diinvestasikan di sektor perumahan dapat meningkatkan PDB sekitar Rp1,9 triliun.
“Kemudian mengurangi kemiskinan hingga 6.107 orang, dan berdampak pada 185 sektor lainnya. Termasuk di dalamnya sektor pendidikan dan kesehatan, dua sektor penting dalam peningkatan kualitas SDM dan pengentasan stunting,” jelas Ananta Wiyogo.
Ia menjelaskan, terdapat empat indikator dari kelayakan hunian, yaitu, akses air bersih, akses sanitasi layak, ketahanan bangunan, dan luas bangunan.
Sedangkan poin penting yang perlu diperhatikan adalah, terdapat irisan antara isu RTLH dan backlog kepemilikan. Jadi, isu perumahan terbagi ke dalam tiga kelompok.
Isu pertama menyangkut masyarakat yang tinggal di hunian milik tidak layak yang kini berjumlah 22,43 juta ruta atau sebesar 30,71%.
Selanjutnya terkait masyarakat yang tinggal di hunian non milik tidak layak yang kini berjumlah 4.49 juta ruta atau sebesar 6,15%. Terakhir menyangkut backlog kepemilikan yang berjumlah 5,42 juta ruta atau sebesar 7,42%.
Sehingga jumlah rumah tangga Indonesia yang masih memiliki permasalahan perumahan mencapai angka 32,34 juta ruta atau 44.27% pada tahun 2023.
Dalam FGD ini, SMF mengusulkan agar intervensi di sektor perumahan dapat berjalan efektif dan efisien dari sisi anggaran. Maka intervensinya harus tersegmentasi berdasarkan empat dimensi sosio ekonomi.
Pertama, isu yang dihadapi, kelayakan hunian vs. kepemilikan. Kedua, kemampuan ekonomi, miskin dan rentan vs. masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) vs. non MBR.
Ketiga, lokasi tinggal, perkotaan vs. perdesaan non pesisir vs. perdesaan pesisir. Keempat, jenis pekerjaan, formal vs. informal.
Ia mengatakan, fokus utama intervensi pemerintah ada pada kelompok masyarakat miskin, rentan, dan MBR. Di mana backlog kepemilikan dari ketiga kelompok itu sebesar 8,33 juta ruta. Tiga kelompok kini memiliki sebaran 6,38 juta di perkotaan, 1,19 juta di pedesaan pesisir, dan 0,75 juta di pedesaan nonpesisir.
“Sedangkan di sisi isu kelayakan hunian dari ketiga kelompok itu berjumlah 19,81 juta ruta. Mereka tersebar 9,32 juta di perkotaan, 6,84 juta di pedesaan pesisir, dan 3,66 juta perdesaan non pesisir,” katanya.
Menurutnya, untuk menyelesaikan isu perumahan dan kemiskinan, maka pemerintah perlu mengambil intervensi konkret, efektif, dan fokus pada backlog kepemilikan dan kelayakan hunian.
Intervensi yang dimaksud harus menyentuh kelompok masyarakat miskin, rentan, dan berpenghasilan rendah. Baik melalui program FLPP Tapak/Susun, Rent to Own Tapak/Susun, Kredit Bangun Rumah (KBR), rumah sosial, rumah sewa, bedah rumah, Housing Micro Finance (HMF), Kredit Renovasi Rumah (KRR), dan program lainnya.
“Tentu Dengan memperhatikan tiga dimensi sosio ekonomi lainnya, yaitu lokasi, penghasilan, dan jenis pekerjaan. Sehingga intervensi yang diimplementasikan juga efisien dari sisi anggaran.” tutur Ananta.
Ia mengatakan, berdasarkan simulasi dampak ekonomi dan sosial yang dilakukan SMF, dalam 5 tahun ke depan, sektor perumahan diperkirakan dapat meningkatkan PDB hingga Rp1.628 triliun. Pun, sektor perumahan juga berkontribusi dalam mengurangi angka kemiskinan sebanyak 5,23 juta orang atau 20,2%.
Untuk dapat mewujudkan dampak ekonomi dan sosial itu, ekosistem pembiayaan perumahan perlu ‘mengorkestrasikan’ strategi dari berbagai pemangku kepentingan.
Selain itu, lanjut Ananta, ekosistem pembiayaan perumahan juga perlu membuat master plan perumahan yang mendorong kolaborasi dan sinergi para pihak. Mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, BUMN, BUMD, LSM, dan masyarakat.
“Terakhir, dengan mengoptimalkan penggunaan APBN dan APBD, serta melibatkan pendanaan yang bersumber dari pasar modal, dana CSR, hibah, lembaga donor, dan sumber pendanaan lainnya,” jelasnya.
Optimalisasi dana itu bertujuan merealisasikan inisiatif dalam mengatasi masalah sektor perumahan, mengentaskan kemiskinan, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Perlu diketahui, FGD ini dihadiri oleh Kemenko Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian PPN/Bappenas, perwakilan perbankan, BP Tapera, para pakar dan pengamat perumahan. (*) Ranu Arasyki Lubis