Jakarta— Bank of China (Hong Kong) Limited atau BOCHK Cabang Jakarta berhasil memanfaatkan momentum suku bunga tinggi dan pertumbuhan kredit di Indonesia.
Handojo Wibawanto, Director Corporate Banking at Bank of China Jakarta Branch mengatakan, upaya perusahaan dalam menyiasati tingginya suku bunga berimbas positif pada laba perusahaan.
Tercatat, sepanjang 2023, Bank of China dapat membukukan laba bersih keseluruhan sebesar Rp1,32 triliun. Perolehan itu naik 106 persen dibandingkan tahun 2022 yang hanya Rp641,8 miliar.
Kenaikan laba terdongkrak dari pendapatan bunga bersih (net interest margin/NIM) menjadi Rp2,32 triliun. Angka ini naik 85 persen dari tahun sebelumnya sebesar Rp1,25 triliun. Penempatan dana pada Bank Indonesia mencapai Rp27,47 triliun, naik dari Rp23,91 triliun.
“Likuiditas kami Sebagian besar kami taruh di Bank Indonesia. Jadi, kalau bisa dilihat loan kami itu hanya sepertiga dari total aset kami,. Sedangkan dua pertiga lebih banyak pada penempatan di Bank Indonesia. Dengan suku bunga naik mulai tahun kemarin, NIM kami juga terdongkrak,” ujarnya, kepada The Asian Post, di acara “29th Infobank Banking Appreciation 2024”, yang berlangsung di Shangri-La Hotel Jakarta, Kamis (29/8/2024).
Ia mengatakan, kenaikan suku bunga yang dikhawatirkan perusahaan jasa keuangan bank justru berdampak positif kepada perusahaan. Kokohnya likuiditas bank membuat Bank of China leluasa memberikan penawaran pinjaman dengan suku bunga yang kompetitif.
“Kami punya likuiditas cukup tinggi. Kami punya CASA yaitu sekitar 75 persen. Jadi kami punya banyak likuiditas untuk di-deploy. LDR kami sekitaran 36 persen, sementara CAR kami 43 persen. Jadi kami punya likuiditas yang cukup banyak untuk kami deploy,” terangnya
Di segi intermediasi, penyaluran kredit tumbuh 8,4 persen menjadi Rp19,17 triliun, dari tahun sebelumnya sebesar Rp17,67 triliun.
Mayoritas kredit yang disalurkan bank fokus pada pembiayaan korporasi untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur, manufaktur, dan kesehatan. Sebesar 40 persen dari portofolio kredit mengalir ke perusahaan BUMN. Sisanya, sebesar 30 persen untuk pembiayaan konglomerasi lokal dan 30 persen ke perusahaan Cina related.
“Buat kami risiko measurement itu nomor satu. Jadi kami tidak sembarangan kasih pinjam. Kami melihat kalau suatu project risikonya baik, return-nya penting tapi bukan nomor satu. Risk-nya dulu, baru return-nya,” pungkasnya.(*) Ranu Arasyki Lubis