Oleh Diding S. Anwar selaku Ketua Komite Tetap Panjaminan, Perasuransian, Dana Pensiun KADIN Indonesia Bidang FMIK (Fiskal, Moneter, Industri Keuangan).
SATU dekade implementasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan menandai era baru penguatan pembiayaan nasional berbasis UMKM dan Koperasi. Ketika Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan disahkan pada 19 Januari 2016, Indonesia memasuki babak baru penguatan sistem pembiayaan nasional.
UU ini memberikan legitimasi kelembagaan bagi perusahaan penjaminan dan menciptakan kerangka mitigasi risiko pembiayaan yang mendukung pertumbuhan ekonomi berbasis UMKM dan Koperasi melalui peningkatan akses modal.
Di momen satu dekade ini penting untuk melakukan evaluasi terkait dampak UU ini, tantangan ke depan, serta strategi apa yang harus ditempuh untuk menjaga keberlanjutan industri penjaminan.
Dampak UU Penjaminan terhadap Ekosistem Pembiayaan UMKM dan Koperasi (2016–2025)
Penjaminan mengurangi risiko lembaga keuangan melalui pengalihan risiko kredit. Bank dan lembaga pembiayaan menjadi lebih agresif menyalurkan kredit produktif, termasuk kepada UMKM ultra mikro dan mikro yang sebelumnya high-risk, serta Koperasi.
Pasca terbitnya UU Nomor 1 Tahun 2016, data 2017 sampai 2024 menunjukkan portofolio penjaminan tumbuh 18% sampai 22% per tahun, total penerima manfaat mencapai 32 juta UMKM dan Koperasi, serta kapasitas penjaminan nasional meningkat lebih dari tiga kali lipat dibandingkan era pra-UU.
Persyaratan modal minimum, manajemen risiko, GCG, prosedur klaim, dan subrogasi menurunkan moral hazard, meningkatkan kredibilitas industri, dan memperkuat akuntabilitas lembaga keuangan serta regulator.
Hal itu dikarenakan, secara tak langsung, penjaminan juga mendorong UMKM dan Koperasi memperbaiki manajemen internal, tata kelola keuangan, formalitas, arus kas, dan kapasitas usaha, menghasilkan kelompok UMKM dan Koperasi yang lebih bankable dan berdaya saing tinggi.
Ekosistem Penjaminan Terintegrasi hingga Reguarantee
Penjaminan akan maksimal bila menjadi bagian dari ekosistem pembiayaan produktif yang lengkap, dari pelaku usaha hingga lapisan mitigasi risiko tertinggi.
Hal ini akan mewujudkan UMKM dan Koperasi sebagai penerima pembiayaan produktif; perbankan dan lembaga pembiayaan sebagai penyalur kredit; perusahaan penjaminan sebagai pengambil risiko utama; skema co-guarantee untuk penyebaran risiko antar penjamin; reguarantee sebagai lapisan terakhir mitigasi risiko, regulator dan pemerintah sebagai pembentuk kebijakan dan pengawas; serta platform digital, akademisi, dan profesi sebagai enabler melalui digitalisasi, credit scoring, riset, kurikulum, dan sertifikasi kompetensi.
Kolaborasi lintas pemangku kepentingan yang dikenal sebagai pentahelix (akademisi, bisnis, pemerintah, komunitas, media) memperkuat integrasi ekosistem, mempercepat adopsi digital, dan mendorong UMKM dan Koperasi naik kelas secara berkelanjutan.
Human Capital — Pondasi Keberlanjutan Industri Penjaminan
Modernisasi penjaminan memerlukan SDM profesional dan berintegritas. Ini dapat dihasilkan lewat gelar profesi “Ahli Penjaminan”; sertifikasi berbasis SKKNI Penjaminan (Kepmenaker RI 231/2020) dan KKNI Lembaga Penjaminan; jalur akademik formal (D3, S1, S2, S3) untuk riset dan inovasi kebijakan; serta adanya standar kompetensi digital, analisis penjaminan, risk management, hukum, klaim, subrogasi, dan etika industri.
Untuk mencapai bisnis yang dipercaya, kapasitas teknis dan integritas profesional menjadi unsur paling kritikal.
Agenda Transformasi Industri 2026–2035
Agenda strategis untuk dekade berikutnya:
1. National Guarantee System (NGS): integrasi data dan proses penjaminan nasional.
2. Penguatan kapitalisasi industri: co-guarantee nasional, reasuransi global, dan reguarantee.
3. Digitalisasi end-to-end: underwriting, monitoring risiko, klaim, dan subrogasi otomatis.
4. Credit scoring UMKM berbasis data alternatif: QRIS, marketplace, logistik, pajak, utilitas.
5. Ekspansi mandat penjaminan: sektor pangan, energi, green economy, teknologi, ekspor, dan syariah.
Di samping itu, penjaminan konvensional dan syariah perlu ditegaskan kembali bahwa konvensional itu berbasis risiko komersial dan syariah berbasis akad kafalah dengan imbal jasa ujrah dan prinsip ta’awun. Dua pendekatan ini memungkinkan fleksibilitas pembiayaan sesuai karakter UMKM dan Koperasi.
Satu dekade UU No. 1 Tahun 2016 telah membangun fondasi kuat untuk pembiayaan UMKM dan koperasi, memperluas inklusi keuangan, meningkatkan stabilitas sistem keuangan, dan menciptakan pemerataan ekonomi.
Dekade berikutnya fokus pada optimasi penjaminan sebagai instrumen transformasi ekonomi nasional melalui penguatan kapasitas risiko, integrasi ekosistem hingga reguarantee, digitalisasi menyeluruh, dan profesionalisasi SDM melalui gelar Ahli Penjaminan.
Industri penjaminan kini bukan sekadar pelengkap pembiayaan, tetapi penggerak pembangunan ekonomi berbasis UMKM dan Koperasi — sektor penyerap tenaga kerja terbesar dan pilar ekonomi Indonesia.