Ratapan Singkong: Merancang Ulang Rantai Nilai Singkong RI

Oleh Guru Besar Institute Teknologi Bandung, Yazid Bindar

Musim panen raya di Lampung — provinsi yang selama ini dikenal sebagai lumbung singkong nasional — kembali menghadirkan ironi. Alih-alih membawa kesejahteraan, panen justru menghadirkan kerugian besar.

Harga singkong basah anjlok hingga harga di bawah Rp1.200 per kilogram, jauh di bawah harga pokok produksi petani. Kejadian ini bukan yang pertama tetapi kejadian yang selalu berulang. Seolah tidak ada pembelajaran, tidak ada penyelesaian menyeluruh.

Realitas ini menunjukkan bahwa persoalan dalam usaha tani singkong bukan sekadar fluktuasi musiman, melainkan krisis struktural yang dibiarkan berlangsung terlalu lama. Dari ketidaksiapan sistem pasar, lemahnya perlindungan harga, hingga ketidakberpihakan pada produksi dalam negeri, semuanya berpadu menciptakan kondisi yang memarjinalkan petani di negeri sendiri.

Petani singkong Indonesia tidak menuntut kemewahan. Mereka hanya ingin kerja kerasnya dihargai. Jika negara serius ingin membangun kemandirian pangan, maka tidak ada jalan lain selain memberikan tempat yang layak bagi singkong dalam peta kebijakan nasional.

Singkong bukan simbol keterbelakangan. Ia adalah lambang ketahanan, keberlanjutan, dan adaptasi. Dalam dunia yang makin rapuh oleh krisis pangan dan energi, singkong adalah jawaban yang tumbuh di tanah kita sendiri.

Produksi Melimpah, Pasar Mandek

Produksi singkong Indonesia yang selama ini berada di sekitar 22 juta ton per tahun malah mengalami penurunan di bawah 20 juta ton, sementara jumlah konsumsi singkong berada di atas nilai konsumsi.

Tahun 2023, jumlah produksi singkong Indonesia jauh turun ke 16,8 juta ton per tahun. Indonesia tahun 2020 dilaporkan jumlah produksi singkongnya sebesar 18,3 juta ton per tahun yang berada di bawah Nigeria 60 juta ton, Kongo 41 juta ton, Thailand 29 juta ton, dan Ghana 22 juta.

Indonesia tahun 2020 berada pada posisi ke lima di dunia. Namun, ironi terjadi: ketika produksi meningkat, harga justru terjun bebas. Ini akibat daya serap pasar domestik yang tidak sebanding dengan jumlah produksi, terutama ketika industri pengolahan tidak beroperasi maksimal.

Selama ini, struktur penggunaan singkong dalam negeri sangat bergantung pada industri tapioka. Ketika pabrik-pabrik tapioka melambat, ribuan ton singkong petani tidak terserap. Sayangnya, Indonesia belum membangun sistem cadangan atau buffer stock komoditas singkong seperti halnya beras dan jagung.

Ketergantungan pada industri besar juga menempatkan petani pada rantai pasok yang timpang. Tidak ada sistem kontrak jangka panjang yang mengikat antara petani dan industri. Petani hanya bisa menjual saat panen, tanpa kepastian harga, tanpa jaminan serapan, dan tanpa daya tawar.

Singkong Impor dan Ketimpangan Kompetitif

Masalah semakin kompleks ketika industri dalam negeri lebih memilih mengimpor singkong dari Thailand atau Vietnam. Mengapa? Karena harga singkong impor lebih murah, kualitas relatif stabil, dan suplai lebih pasti.

Negara produsen seperti Thailand berhasil menjaga efisiensi produksi singkong melalui mekanisasi pertanian, subsidi pupuk, serta jaminan harga oleh negara.

Di sisi lain, petani Indonesia masih mengandalkan cara tanam tradisional, harga input mahal, serta minim dukungan teknologi.

Tanpa perlindungan dan dukungan yang setara, wajar jika produk lokal kalah bersaing. Kondisi ini menciptakan paradoks: Indonesia sebagai negara penghasil singkong justru mengalami kelebihan pasokan di hulu dan kelangkaan suplai standar industri di hilir.

Singkong Penyelamat Pangan Masa Depan

Di balik semua ironi ini, ada fakta penting yang sering diabaikan: singkong adalah sumber karbohidrat yang paling tangguh dan paling murah dalam penggunaan lahan di masa depan. Ketika dunia mulai menghadapi krisis energi dan degradasi tanah akibat ketergantungan terhadap pupuk kimia, singkong menawarkan solusi alami yang tidak bisa diremehkan.

Beras dan gandum, dua bahan pangan utama manusia, sangat bergantung pada pupuk anorganik berbasis gas alam dan batubara. Tanpa pupuk tersebut, produktivitas mereka akan menurun drastis, bahkan lebih dari 50 persen.

Padi sawah, misalnya, tanpa pupuk nitrogen hanya mampu menghasilkan separuh dari hasil optimalnya. Ini menjadi tantangan besar ketika pasokan gas dan energi fosil semakin terbatas dan mahal.

Sebaliknya, singkong tetap mampu tumbuh pada lahan marginal dan tetap produktif meskipun tanpa pupuk anorganik. Bahkan pada kondisi tanpa pupuk sama sekali, singkong masih bisa menghasilkan sekitar 5 ton bahan pangan karbohidrat per hektar per tahun — angka yang luar biasa untuk tanaman yang tahan kekeringan, tidak rakus pupuk, dan bisa tumbuh di hampir seluruh wilayah Indonesia.

Dengan kata lain, kekurangan pasokan karbohidrat dari beras dan gandum di masa depan hampir pasti akan ditambal oleh singkong. Singkong bukan hanya alternatif, ia adalah cadangan strategis pangan dunia. Di tengah krisis iklim, krisis energi, dan perubahan pola konsumsi, potensi singkong sebagai penyelamat perut manusia tak bisa diabaikan.

Langkah Strategis yang Mendesak

Untuk menyelamatkan usaha singkong nasional dan mempersiapkannya sebagai pilar pangan masa depan, setidaknya ada lima langkah penting yang harus dilakukan secara simultan.

Pertama adalah modernisasi pertanian singkong. Pemerintah harus mendorong penggunaan varietas unggul, mekanisasi, dan manajemen input yang efisien. Pelatihan petani muda dalam pertanian presisi juga harus diakselerasi.

Kedua adalah proteksi harga petani dan penyangga komoditas. Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dan lembaga penyangga seperti BUMN pangan atau koperasi negara yang menyerap hasil saat panen raya untuk stabilisasi harga sangat diperlukan.

Ketiga adalah pengendalian impor dan insentif hilirisasi. Regulasi impor singkong harus diperketat dengan kebijakan kuota dan tarif. Industri perlu diberi insentif untuk menyerap produksi lokal melalui skema kemitraan.

Keempat adalah diversifikasi produk dan pasar. Fokus industri tidak boleh hanya pada tapioka. Produk pangan seperti tepung pangan mocaf, snack gluten-free, produk jadi beras singkong harus dikembangkan untuk pasar domestik maupun ekspor.

Dan kelima adalah penguatan UMKM serta pasar lokal. Pemerintah daerah harus memfasilitasi pelaku UMKM olahan singkong dengan peralatan, pelatihan, hingga akses pemasaran digital. Pasar lokal dan e-commerce bisa menjadi ruang pertumbuhan yang besar.

petanipetani singkongrantai nilai singkongsingkongsingkong impor
Comments (0)
Add Comment