Jakarta— Desainer dari Indonesia kini berkesempatan untuk mempelajari seluk beluk tren fesyen yang digemari generasi muda di Eropa, khususnya Prancis.
Pasalnya, di bulan ini JF3, LAKON Indonesia dan Kedutaan Besar Prancis melalui IFI (Institut Francais d’Indonesie) kembali berkolaborasi mengadakan program “PINTU Incubator”.
Program inkubasi ini sekaligus menjadi jembatan bagi desainer muda asal Indonesia untuk melebarkan sayap bisnisnya ke pasar global. Thresia Mareta, Co Insiator PINTU Incubator mengatakan, PINTU Incubator memperkuat kerja sama bilateral dengan menghadirkan belasan mentor Prancis untuk berkolaborasi dalam sesi mentoring dan pembelajaran.
Thresia Mareta, Co Insiator PINTU Incubator mengatakan, sejumlah mentor yang akan terlibat dalam program inkubator ini yakni Alphonse Maitrepierre, Joshua Cannone, Martial Charasse, Lucie Brochard, Jonathan Canuti, Mossi Traore, dan Juliette Pasquier
“Ini bisa jadi modal yang sangat pasti. Kalau ini bisa diolah kita bisa bersaing di internasional. Nah kolaborasi seperti ini kita punya material dasarnya. Tapi untuk mengolah mereka lebih punya ilmunya. Kolaborasi ini saya harap kita benar-benar bisa mengolah apa yang kita punya naik ke level berikutnya,” ujar Thresia kepada Asian Post, di Kediaman Dubes Prancis, Selasa (25/7/2023).
Ia menyebut, lebih dari 500 brand lokal telah melakukan registrasi untuk mengikuti program PINTU Incubator 2023. Setelah melalui proses kurasi, terpilih sebanyak 12 brand yang akan mengikuti proses inkubasi selanjutnya yang tidak hanya melibatkan mentor dari para profesional di Indonesia, tapi juga fashion expert dan pelaku bisnis mode dari Prancis.
“Tahun ini yang mendaftar jauh lebih banyak. Naik sepuluh kali lipat. Kalau tahun lalu masih 50-an, tahun ini di atas 500 orang. Mentor tahun ini jauh lebih banyak dari tahun lalu. Apalagi dengan kedatangan para desainer dan expertise dari Prancis penambahannya banyak sekali,” sambungnya.
Thresia mengatakan, ada perbedaan pradigma yang membedakan desainer Indonesia dan Prancis. Misalnya, lulusan sekolah fesyen dari Indonesia biasanya bercita-cita menciptakan brand dan memasarkan produk besutannya secara mandiri, sedangkan desainer di Prancis saling berlomba menjadi bagian dari brand besar.
Bagi mereka, masuk ke brand besar merupakan prestige atau pencapaian yang membanggakan, sehingga dengan jalur ‘satu parit itu’ para desainer di Prancis memiliki portfolio dan karir yang bagus. Berbeda dengan desainer di Indonesia yang setelah lulus sekolah, kemudian berkeinginan membuat brand sendiri.
“Terus, desainer Prancis memikirkan sistem management, sedangkan di Indonesia masih jauh dari itu. Kita lebih banyak di industri rumah tangga. Maka jangan heran kalau saya ketemu brand lokal pembukuan saja mereka masih jauh. Itu kan sulit kalau mau berkembang dan masuk ke pasar internasional. Kalau mau jadi profesional kita perlu sistem pendukung yang profesioanal,” jelasnya.
Thresia berharap PINTU Incubator dapat menelurkan banyak brand yang pada akhirnya bisa setara dan bersaing di kancah internasional.
“Lebih besar dari itu adalah industri fesyen kita, maka ada kesempatan bagi kita di sini untuk jadi bagian dari ekosistem global,” katanya.
Sementara Chairman JF3 Soegianto Nagaria menjelaskan, pihaknya secara konsisten mendukung dan memberdayakan UMKM lokal, salah satunya melalui program PINTU Incubator yang berfokus pada pengembangan bisnis dan kreatif muda Indonesia.
“JF3 juga berkembang lebih profesional dengan belajar dari ekosistem industri mode global. Dengan ini program PINTU Incubator, brand lokal Indonesia akan memiliki kesempatan memperluas wawasan akan pasar mode global, dan pada saat yang bersamaan, kita bisa saling mempromosikan karya dan sekaligus memperkenalkan pengrajin, pelaku UMKM mode Indonesia kepada para pelaku mode dari Prancis,” tambahnya. (*) RAL