Oleh: Hari Purnomo
DALAM kebudayaan Jawa, pusaka tidak pernah diperlakukan hanya sebagai benda mati. Ia bukan sekadar hasil tempa logam yang dibentuk oleh empu, bukan pula sekadar artefak sejarah yang tersimpan di sudut ruang.
Pusaka, terutama keris, dipahami sebagai entitas yang menghimpun nilai, laku, dan energi batin. Ia adalah cermin dari perjalanan moral pemiliknya. Setiap goresan pamor pada bilahnya bukan hanya keindahan visual, tetapi penanda dari perjalanan panjang yang melibatkan kesabaran, ketekunan, doa, dan kedalaman batin.
Dalam konteks inilah muncul pemahaman bahwa pusaka memiliki khodam—sebuah konsepsi tentang daya halus yang melekat, bukan sekadar bentuk mistis, melainkan simbol etis. Khodam adalah istilah yang disederhanakan untuk menyebut akumulasi energi batin, integritas, karakter, dan kebiasaan moral yang tertanam dalam diri seseorang.
Tetapi ada ungkapan yang sering diucapkan oleh orang-orang tua Jawa yang memadatkan seluruh filsafat ini dalam satu kalimat: “Sebilah keris tanpa ‘khodam’ tak ubahnya hanya seperti besi tua atau barang antik saja. Begitu juga manusia. Dia harus punya ‘khodam’, berupa inner capital atau soft competence—kasat mata tetapi bisa dirasakan dan bermanfaat. Apalagi seorang pemimpin. Jika tanpa ‘khodam’ dan hanya mengandalkan power, maka namanya cepat dilupakan begitu jabatannya dicabut.”
Ungkapan ini menjelaskan bahwa apa yang membuat sesuatu berharga bukanlah bentuk luarnya, melainkan energi nilai yang melekat di dalamnya. Demikian pula pemimpin: jabatan bukanlah kualitas; ia hanya wadah. Yang menentukan adalah khodam: sesuatu yang tidak terlihat, tetapi bisa dirasakan kehadirannya.
Di dalam tradisi Jawa, posisi pemimpin tidak pernah dipahami sekadar sebagai fungsi administratif. Pemimpin adalah figur yang memancarkan wibawa batin, yang menyejukkan, menuntun, dan memberi arah tanpa perlu banyak kata.
Seorang pemimpin bukanlah orang yang paling keras bersuara, tetapi yang paling jernih batinnya. Bukan yang paling sibuk tampil, tetapi yang paling konsisten menempuh laku. Seorang pemimpin yang “jadi” adalah ibarat pusaka berkhodam: ia menyimpan kekuatan yang terasah oleh waktu, laku, refleksi, dan tempaan kehidupan.
Laku adalah inti dari seluruh proses ini. Dalam budaya Jawa, laku mencakup segala bentuk disiplin diri, latihan batin, dan pengendalian moral. Seseorang yang menjalani laku tidak sedang mencari pujian atau perhatian; ia sedang membentuk dirinya.
Laku adalah cara seseorang merawat batinnya agar tetap jernih, rendah hati, dan bersih dari ambisi sempit. Laku melatih manusia untuk tidak cepat bereaksi, untuk mampu melihat sesuatu dari banyak sisi, untuk mengolah emosi agar tidak meledak atau terperosok pada keserakahan. Laku adalah seni memurnikan niat.
Khodam lahir dari laku. Ia tidak bisa dipaksakan. Ia tidak bisa dibeli. Ia tidak muncul dari jabatan atau fasilitas. Ia tumbuh dari hari-hari panjang yang diisi dengan pilihan-pilihan moral yang benar, kesediaan untuk bertanggung jawab, kemampuan menahan diri meski punya kuasa, dan kemauan untuk belajar dari pengalaman.
Khodam adalah buah dari disiplin batin yang konsisten. Inilah sebabnya seorang pemimpin yang memiliki khodam tidak memerlukan banyak simbol untuk menegaskan wibawanya. Kehadirannya saja sudah membawa pengaruh. Tuturnya menenangkan, tindakannya menenteramkan, dan sikapnya menguatkan mereka yang dipimpin.
Jika khodam adalah modal batin, maka pamor adalah jejak yang tampak dari luar. Pamor adalah reputasi moral yang lahir dari konsistensi integritas. Dalam keris, pamor muncul sebagai motif alami pada bilah, bukan sesuatu yang dilukis dengan tinta.
Dalam kepemimpinan, pamor muncul sebagai cahaya karakter, bukan citra yang dibentuk oleh tim humas. Pamor adalah kualitas yang membuat seseorang dikenang bukan karena jabatan atau kekuasaannya, tetapi karena kebijaksanaan, kebaikan, dan ketulusannya.
Pamor adalah warisan. Ia adalah sesuatu yang tetap tinggal setelah seorang pemimpin tidak lagi berada di kursi jabatannya. Pamor tidak hilang ketika fasilitas dipreteli, ketika protokol berhenti mengikuti, ketika sorot kamera tidak lagi mengarah.
Pamor justru diuji setelah itu semua lenyap. Banyak orang terlihat hebat saat berkuasa, tetapi redup ketika kekuasaan itu hilang. Sebaliknya, pemimpin yang punya pamor justru semakin bersinar setelah masa jabatannya selesai. Masyarakat tetap mendekat, tetap mendengar, tetap menghormati. Ini karena mereka tidak hanya memegang kekuasaan; mereka memegang kepercayaan.
Di tengah kenyataan ini, ada kutipan lain yang memperindah pemahaman tentang hubungan antara pemimpin dan pusaka: “Leader seperti pusaka berkhodam. Saat leader meninggalkan jabatannya, yang tertinggal adalah legacy-nya. Pusaka adalah barang kuno yang ampuh pada masanya. Saat masanya sudah lewat, yang tertinggal adalah pamor pusakanya.”
Kutipan ini menegaskan bahwa pamor adalah inti dari warisan seorang pemimpin. Seperti halnya pusaka, seorang pemimpin memiliki masa di mana ia menjadi pusat perhatian, memegang kendali, dan menjadi rujukan. Tetapi, masa itu tidak abadi. Ketika kekuasaan itu selesai, yang tersisa bukanlah sambutan atau tepuk tangan, melainkan apakah ia meninggalkan pamor yang layak dijadikan teladan.
Kepemimpinan modern sering kali digambarkan sebagai kemampuan manajerial, kecakapan komunikasi, atau kegesitan mengelola struktur organisasi. Namun, bagi masyarakat Jawa, kepemimpinan sejati berkaitan dengan kedalaman batin. Boleh saja seseorang fasih berbicara, tetapi jika batinnya keruh, khodamnya tidak terbentuk.
Boleh saja seseorang memiliki banyak program kerja, tetapi jika integritasnya goyah, pamornya tidak memancar. Dunia modern cenderung menghargai pencitraan, namun filsafat Jawa mengajarkan bahwa yang paling murni adalah apa yang lahir dari kejujuran laku.
Pemimpin tanpa khodam mungkin populer, tetapi tidak berpengaruh. Ia mungkin dikenal, tetapi tidak dikenang. Ia mungkin memiliki kekuasaan, tetapi tidak memiliki wibawa. Saat fasilitas protokoler diambil, ia kehilangan semua. Sebaliknya, pemimpin dengan khodam tetap dihormati meskipun dirinya telah lama tidak menjabat.
Ia menjadi seperti pusaka yang disimpan dengan penuh hormat meskipun masanya telah lewat. Daya pamornya masih memancar, memberi arah dan inspirasi.
Seseorang bisa saja hebat saat menjabat, tetapi ukuran sejatinya baru tampak ketika ia meninggalkan jabatan itu. Dalam budaya Jawa, ada pertanyaan yang sering diajukan tentang seorang pemimpin: “Apa yang tinggal ketika ia sudah tidak memegang kekuasaan?” Jika jawabannya adalah kekecewaan, luka, atau kekacauan organisasi, berarti ia tidak pernah memiliki pamor.
Tetapi, jika yang tinggal adalah ketenangan, ketertiban, kader yang tumbuh, dan nilai-nilai baik yang melekat, maka ia adalah pemimpin yang berhasil menulis namanya dalam ruang moral komunitasnya.
Pemimpin seperti itu menjadi pusaka hidup. Ia tidak perlu mengklaim dirinya penting, karena nilai dirinya terbukti dari apa yang tertinggal. Ia tidak perlu memaksa orang untuk menghormatinya, karena penghormatan itu datang dengan sendirinya. Ia tidak perlu bersuara keras, karena ketenangannya sudah cukup menjadi tuntunan. Ia tidak perlu mengejar pengakuan, karena pamor akan memancarkan pengakuan secara natural.
Dalam dunia yang bergerak cepat dan serba instan seperti sekarang, filosofi pusaka, khodam, dan pamor menawarkan jalan alternatif untuk membangun kepemimpinan yang berkelanjutan.
Dunia modern penuh dengan godaan: popularitas instan, kekuasaan yang mudah disalahgunakan, pencitraan yang mudah direkayasa. Namun, nilai yang tahan lama tidak bisa dibuat dalam satu malam. Nilai yang bertahan adalah nilai yang ditempa oleh laku. Integritas yang kokoh hanya bisa lahir dari disiplin batin yang panjang.
Seorang pemimpin yang benar-benar memahami filosofi ini akan menata dirinya seperti empu menata keris. Ia merawat batinnya, menjaga sikapnya, mengendalikan emosinya, menempatkan nilai di atas kepentingan pribadi, dan bersikap tegas tanpa kehilangan kelembutan.
Ia membangun kader, bukan pengikut. Ia menguatkan organisasi, bukan memusatkan kekuasaan pada dirinya. Ia menanam nilai yang dapat hidup lebih lama dari umur jabatannya.
Akhirnya, pemimpin yang lahir dari laku, memiliki khodam, dan memancarkan pamor akan menjadi pusaka bagi komunitasnya. Ia adalah sumber nilai, penjaga moral, dan teladan hidup. Ia adalah seseorang yang namanya disebut dengan hormat, bukan karena overdosis pujian, tetapi karena ia telah membuktikan kualitas dirinya melalui tindakan dan integritas.
Pemimpin seperti ini tidak membutuhkan jabatan untuk dihormati. Ia dihormati karena menjadi dirinya sendiri. Ia dihargai bukan karena fasilitas, tetapi karena moralitas.
Ia dikenang bukan karena kekuasaan, tetapi karena pamor yang ditinggalkannya. Dan ketika generasi berikutnya memandang kembali, mereka akan menyebutnya bukan sebagai orang yang pernah berkuasa, tetapi sebagai pusaka: sesuatu yang meskipun waktunya telah lewat, tetap memancarkan cahaya nilai yang tidak lekang oleh zaman.