Oleh Yazid Bindar, Guru Besar Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung.
Banyak pemimpin di dunia, termasuk di Indonesia, berlomba-lomba meninggalkan “legasi besar” — entah berupa infrastruktur megah, proyek energi raksasa, atau sistem digitalisasi yang diiklankan sebagai warisan kemajuan.
Namun, di balik retorika kebanggaan nasional itu, sering tersembunyi kenyataan getir: proyek-proyek tersebut berdiri di atas pondasi utang besar yang tidak produktif dan berisiko gagal bayar. Fenomena ini menunjukkan bagaimana politik pembangunan kerap dijalankan bukan sebagai instrumen kemaslahatan publik, melainkan sebagai panggung politik untuk mengabadikan citra pemimpin.
Konsumsi dengan pemborosan dilakukan untuk mempertontonkan status dan kekuasaan, bukan untuk fungsi rasional. Dalam konteks negara, “pamer pembangunan” menjadi strategi simbolik untuk menunjukkan keberhasilan politik, walau biaya jangka panjangnya membebani keuangan nasional. Maka, proyek legasi berbungkus utang bukan sekadar kebijakan ekonomi, melainkan praktik simbolik kekuasaan.
Paradoks Pembangunan dan Utang Publik
Pada dasarnya, utang publik bukan hal tabu. Pinjaman negara sudah umum dilakukan untuk dapat menjadi instrumen fiskal dalam hal menstimulasi pertumbuhan, khususnya saat investasi swasta lesu.
Namun, permasalahanya ada pada utang yang digunakan untuk proyek yang gagal produktif dan utang ini juga beraroma korupsi dengan ketidak transparansian penggunaannya dan efektivitas manfaat publik. Bila utang digunakan untuk proyek yang menghasilkan nilai tambah ekonomi, maka ia dapat dikembalikan melalui pajak atau keuntungan ekonomi.
Sebaliknya, bila utang digunakan untuk proyek politis tanpa analisis manfaat yang jelas, ia berubah menjadi beban lintas generasi.
Sayangnya, dalam banyak kasus, proyek legasi cenderung lebih menonjol pada aspek visual — gedung tinggi, jalan tol panjang, atau bendungan megah — tetapi minim nilai tambah struktural. Di sinilah muncul paradoks: proyek dibangun atas nama rakyat, tetapi justru membebani rakyat dengan utang yang akan mereka bayar tanpa pernah merasakan manfaat ekonominya secara langsung.
Dari Pembangunan ke “Pembungaan” Utang
Sebagian besar proyek legasi besar biasanya dibiayai oleh skema pinjaman luar negeri atau public-private partnership (PPP) yang tampak elegan di atas kertas. Namun, mekanisme semacam ini dapat menjebak negara berkembang dalam ketergantungan struktural terhadap modal dan teknologi asing.
Ketika proyek gagal memberikan imbal hasil, negara tetap wajib membayar bunga dan cicilan pokok, sementara pihak asing menikmati posisi tawar yang semakin kuat.
Lebih buruk lagi, karena proyek semacam ini sering dikebut dalam masa jabatan politik yang terbatas, banyak keputusan investasi dilakukan dengan studi kelayakan yang direkayasa. Fenomena ini dapat dikatakan sebagai kebijakan sudah diputuskan, lalu bukti ilmiah disusun untuk mendukungnya, bukan sebaliknya.
Dengan demikian, “pembangunan” bergeser menjadi “pembungaan”: bunga utang yang terus tumbuh di atas kepentingan politik sesaat.
Korupsi Struktural dalam Rantai Proyek
Setiap proyek besar yang berorientasi simbolik membuka peluang luas bagi praktik korupsi terstruktur. Sektor infrastruktur adalah salah satu bidang paling rentan terhadap suap dan mark-up biaya. Ketika proyek dikendalikan oleh lingkar kekuasaan yang kuat, pengawasan publik dan parlemen menjadi tumpul. Korupsi lahir dari rumus sederhana: Korupsi = Kekuasaan + Diskresi – Akuntabilitas.
Rantai korupsi ini sering kali dibungkus rapi dalam narasi pembangunan nasional. Pembengkakan anggaran dianggap sebagai konsekuensi wajar dari “proyek besar”.
Padahal, dalam praktiknya, penggelembungan biaya dan pengadaan yang tidak efisien justru menjadi saluran untuk menyalurkan rente bagi elite politik dan kroninya. Akibatnya, utang yang sejatinya diperuntukkan bagi kepentingan publik berubah menjadi instrumen penghisapan sumber daya.
Politik Simbolik dan Legitimasi Kekuasaan
Kekuasaan tak hanya beroperasi melalui kekuatan fisik, tetapi juga melalui simbol. Dalam konteks proyek legasi, kekuasaan berupaya mengonstruksi simbol kejayaan — bandara baru, pelabuhan megah, kereta cepat — yang menjadi “tanda visual” bahwa pemerintah bekerja.
Namun, simbol-simbol ini sering kali digunakan untuk menutupi kontradiksi ekonomi yang mendasar: meningkatnya ketimpangan, turunnya daya beli, atau membengkaknya defisit neraca berjalan.
Dengan demikian, proyek legasi menjadi bagian dari politik legitimasi, bukan sekadar pembangunan fisik. Ini merupakan bentuk hegemoni modern dimana rakyat diyakinkan untuk merasa bangga terhadap capaian yang sesungguhnya memperlemah kemandirian ekonomi mereka.
Narasi kemajuan diulang di media, sementara fakta tentang lonjakan utang dan ketergantungan finansial diabaikan atau dikaburkan.
Krisis Akuntabilitas dalam Negara Demokrasi
Dalam sistem demokrasi, utang publik dan proyek besar semestinya melewati proses konsultasi terbuka dan audit publik. Akan tetapi, banyak kasus menunjukkan bagaimana mekanisme ini dilewati dengan dalih “kepentingan strategis nasional”.
Demokrasi prosedural gagal mengimbangi praktik teknokratis yang diselimuti rahasia. Pembangunan tanpa kebebasan informasi dan partisipasi publik bukanlah pembangunan sejati, melainkan otoritarianisme terselubung dalam bentuk administratif.
Ketika ruang partisipasi publik disempitkan, proyek-proyek raksasa menjadi keputusan elitis. Rakyat hanya menjadi penonton yang dipaksa percaya pada janji pertumbuhan ekonomi masa depan.
Pengambil kebijakan juga memiliki motif pribadi: mencari dukungan politik, memperpanjang kekuasaan, atau memperkuat jaringan patronase. Maka, korupsi dalam proyek legasi bukan saja penyimpangan, melainkan konsekuensi logis dari insentif politik yang salah arah.
Efek Domin dari Proyek ke Krisis Fiskal
Ketika utang yang ditarik untuk proyek legasi tak menghasilkan arus kas balik, risiko fiskal meningkat tajam. Negara dipaksa menutup defisit dengan pinjaman baru, menciptakan lingkaran setan debt spiral.
Krisis seperti ini pernah menimpa Sri Lanka pada 2022 — proyek infrastruktur besar yang dibiayai pinjaman luar negeri berakhir sebagai beban gagal bayar dan memicu kebangkrutan nasional. Kasus tersebut menjadi cermin bagaimana ambisi politik bisa berubah menjadi kehancuran ekonomi bila tak diimbangi dengan rasionalitas fiskal.
Indonesia sendiri menghadapi potensi risiko serupa jika pola pembangunan berbasis utang tak diubah menjadi pembangunan berbasis nilai tambah dan produktivitas. Untuk Indonesia, porsi belanja untuk pembayaran bunga dan pokok utang terhadap pendapatan negara terus meningkat. Tanpa perbaikan tata kelola, beban ini akan menekan ruang fiskal untuk layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan.
Moral Ekonomi dan Kehancuran Kolektif
Dalam tradisi moral ekonomi, masyarakat memiliki harapan normatif terhadap keadilan dalam kebijakan ekonomi. Bila pemerintah mengkhianati harapan tersebut — misalnya, dengan memperkaya elite melalui proyek utang — maka muncul erosi kepercayaan sosial yang dalam.
Korupsi besar bukan sekadar kejahatan finansial, melainkan kejahatan moral terhadap masa depan bangsa.
Korupsi yang terlembaga melalui proyek legasi memperlemah kepercayaan publik terhadap negara. Ia menciptakan apa yang disebut sebagai pembusukan institusi yang tak lagi berfungsi untuk melayani rakyat, melainkan melayani dirinya sendiri.
Dalam kondisi ini, rakyat kehilangan rasa memiliki terhadap negara, dan negara kehilangan legitimasi moral untuk menuntut pengorbanan rakyat dalam membayar utang.
Jalan Keluar dengan Transparansi dan Audit Sosial
Untuk keluar dari jebakan ini, perlu diterapkan pendekatan good governance yang bukan hanya administratif, tetapi juga substantif. Artinya, setiap proyek publik harus dapat diaudit secara sosial — rakyat berhak mengetahui siapa yang mendapat keuntungan, siapa yang menanggung beban, dan apa dampak jangka panjangnya.
Pengawasan harus bergeser dari model birokratis tertutup ke model partisipatif yang terbuka. Selain itu, perlu diterapkan ex-post evaluation terhadap setiap proyek besar untuk menilai manfaat ekonominya setelah selesai dibangun.
Banyak negara maju seperti Korea Selatan atau Jerman telah menerapkan mekanisme ini untuk mencegah pemborosan anggaran dan memastikan setiap proyek benar-benar memberi nilai tambah bagi publik. Indonesia harus berani melakukan hal serupa, agar proyek legasi tidak berubah menjadi legasi utang dan korupsi.
Reorientasi Pembangunan dari Citra ke Nilai
Akar persoalan dari proyek legasi berbungkus utang adalah orientasi pembangunan yang berpusat pada citra, bukan nilai. Negara perlu kembali pada developmental state yang menekankan efisiensi, kemandirian teknologi, dan kesejahteraan masyarakat.
Negara seharusnya berperan aktif dalam pembangunan ekonomi, namun dengan disiplin fiskal dan tata kelola yang ketat.
Hanya dengan orientasi nilai itulah pembangunan dapat menjadi alat emansipasi, bukan eksploitasi. Pembangunan yang sejati bukanlah tentang monumen yang menjulang, melainkan kemampuan rakyat untuk hidup lebih sejahtera, mandiri, dan berdaya.
Bila pemimpin ingin meninggalkan warisan, biarlah yang diwariskan adalah sistem yang bersih dan ekonomi yang kokoh — bukan tumpukan utang dan aroma busuk korupsi yang harus ditanggung generasi berikutnya.
Legasi Berluka Sejarah
Pada akhirnya, proyek legasi berbungkus utang beraroma korupsi adalah refleksi dari paradoks kepemimpinan di era modern: ingin dikenang karena kebesaran, tetapi justru diingat karena keborosan.
Dalam logika kekuasaan yang sempit, keberhasilan diukur dari apa yang terlihat. Namun dalam logika sejarah, keberhasilan sejati diukur dari apa yang bertahan. Infrastruktur fisik bisa hancur, tetapi integritas dan tata kelola yang baik akan menjadi fondasi abadi bagi bangsa.
Maka, bangsa ini harus belajar dari sejarah banyak negara yang jatuh karena memuja pembangunan semu. Legasi sejati bukanlah proyek mercusuar, melainkan kemampuan untuk berkata jujur kepada rakyat — bahwa pembangunan tanpa integritas hanya akan menghasilkan kehancuran yang tertunda.
Sejarah tak akan mencatat berapa panjang jalan tol yang dibangun, melainkan seberapa besar utang dan korupsi yang diwariskan kepada anak cucu.