THE ASIAN POST, JAKARTA – Produsen teh, PT Sariwangi Agricultur Estate Agency (SAEA) dan anak usahanya PT Maskapai Perkebunan Indorub Sumber Wadung (Indorub), akhirnya dinyatakan pailit setelah Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengabulkan permohonan pembatalan perjanjian perdamaian oleh PT Bank ICBC Indonesia.
Majelis hakim Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat memutuskan dua perusahaan tersebut, yakni Sariwangi dan Indorub melakukan ingkar janji atau wanprestasi terhadap perjanjian perdamaian dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terdahulu. Menurut Hakim Ketua, Abdul Kohar melalui pertimbangannya, terjadi wanprestasi karena kedua perseroan lalai melakukan pembayaran cicilan utang bunga.
Hingga jatuh tempo pada 20 Maret 2017, SAEA dan Indorub tidak bisa membuktikan telah menunaikan kewajibannya kepada Bank ICBC selaku pemohon. Sariwangi, tambah Abdul, tidak menjalankan kewajibannya membayar utang bunga senilai USD416 ribu, dan Indorub senilai USD42 ribu kepada ICBC.
“Mengabulkan permohonan pembatalan perdamaian atau homologasi dari pemohon (ICBC). Menyatakan perjanjian homologis batal, menyatakan termohon 1 (sariwangi) dan termohon 2 (Indorub) pailit dengan segala akibat hukumnya,” ujar Abdul Kohar saat membacakan amar putusan di PN Jakarta Pusat, Selasa (16/10) lalu.
Kuasa Hukum ICBC, Swandy Halim menyatakan, “Debitur baru mulai melakukan pembayaran pada Desember 2017, dan ini juga tidak jelas untuk pembayaran apa. Karena, selain utang bunga yang ditanggujhkan, debitur juga punya kewajiban atas bunga dari 9 Oktober 2016,” ujarnya.
Swandy menambahkan, tagihan PKPU sejatinya tanggung jawab bersama Sariwangi dan Indorub. Sehingga, jika Sariwangi tidak mampu melakukan pembayaran, maka Indorub yang harus bertanggung jawab.
“Indorub hanya membayar porsinya saja, sementara dari Sariwangi tidak pernah ada pembayaran. Padahal, ini cross default, dia juga punya kewajiban membayar utang Sariwangi,” tambah Swandy.
Sementara itu, Direktur Dewan Teh Indonesia (DTI), Suharyo Husen mengaku cukup mengenal keluarga dari pemilik perusahaan Sariwangi. Menurutnya, kondisi perusahaan mulai menurun ketika merek Sariwangi dibeli Unilever, meski ia tidak mengetahuinya secara detail.
“Sebelumnya mulai menurun, yaitu pada saat dibeli Unilever. Waktu itu masih Pak Alex (Johan Alexander Supit) yang pegang. Jadi mereka kerja sama produksi, tapi kan mereknya dijual, ujarnya di Jakarta, Kamis (18/10).
Unilever sendiri hanya membeli merek dagang Sariwangi pada 1989, bukan perusahaannya. Sebagai pemegang merek Sariwangi, Unilever masih mengambil pasokan dari SAEA. Setelah itu, SAEA hanya menjual teh dalam bentuk bahan baku.