Oleh Yazid Bindar, Guru Besar Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung.
Dalam sejarah politik mana pun, rakyat selalu menjadi fondasi dari eksistensi seorang pemimpin. Tak ada seorang pun yang bisa naik ke tampuk kekuasaan tanpa legitimasi yang diberikan oleh rakyat, baik melalui pemilihan langsung maupun sistem representasi lainnya. Karena itu, hubungan antara pemimpin dan rakyat ibarat dua sisi mata uang: tak bisa dipisahkan, saling menguatkan, dan bergantung satu sama lain.
Namun, fenomena yang terjadi belakangan ini menunjukkan retaknya hubungan tersebut. Alih-alih merangkul rakyat, beberapa pemimpin justru tampil dengan sikap pongah. Kritik rakyat dianggap sebagai penghinaan, protes dilabeli sebagai tindakan tolol, dan penolakan membayar pajak malah direspons dengan ancaman “lebih baik tidak hidup di Indonesia.” Kalimat-kalimat seperti itu tidak hanya merendahkan rakyat, tetapi juga menodai prinsip dasar kepemimpinan yang seharusnya hadir sebagai pelindung, bukan pengintimidasi.
Akar Kesombongan Kekuasaan
Mengapa fenomena pemimpin yang menohok balik rakyatnya begitu sering muncul? Salah satu jawabannya adalah kesombongan akibat kekuasaan. Banyak pemimpin lupa bahwa mandat kekuasaan hanya titipan sementara dari rakyat. Begitu mereka merasakan kenikmatan kursi jabatan, fasilitas istimewa, dan penghormatan yang mengiringi kedudukan, mereka mulai merasa lebih tinggi daripada rakyat yang telah memilihnya. Dari sinilah lahir sikap pongah, arogan, bahkan merendahkan orang yang berbeda pendapat.
Sosiolog klasik Lord Acton pernah mengatakan, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut pasti merusak secara absolut. Kalimat ini menggambarkan betul bagaimana pemimpin yang kehilangan kendali atas dirinya cenderung terjerumus pada sikap otoriter. Mereka merasa bahwa protes rakyat adalah ancaman, bukan suara yang perlu didengar. Padahal, dalam demokrasi, kritik rakyat adalah vitamin, bukan racun.
Pemimpin Bukan Raja, Rakyat Bukan Hamba
Seorang pemimpin yang bijak akan menyadari bahwa jabatannya bukanlah warisan kerajaan yang membuatnya berada di atas segalanya. Dalam sistem modern, pemimpin adalah pelayan rakyat—public servant. Konsep ini mengingatkan bahwa ia dipilih untuk melayani, bukan untuk dipuja-puja atau ditakuti. Jika pemimpin mulai menganggap rakyatnya sebagai hamba, maka ia telah mengkhianati esensi demokrasi.
Rakyat yang menyampaikan protes, entah terkait kebijakan pajak, kenaikan harga, atau persoalan lingkungan, sejatinya sedang menjalankan hak konstitusionalnya. Menyebut mereka tolol atau tidak pantas hidup di Indonesia berarti menutup mata terhadap fakta bahwa rakyat memiliki hak bersuara. Bahkan, justru karena suara itulah pemimpin bisa memperbaiki kebijakan yang salah arah. Jika pemimpin menohok balik, maka ia sedang menutup pintu pembelajaran dari rakyatnya sendiri.
Intimidasi Bukan Jalan Kepemimpinan
Ucapan intimidatif seperti “kalau tidak mau bayar pajak jangan hidup di Indonesia” adalah bentuk komunikasi politik yang keliru. Pajak memang kewajiban, tetapi menyampaikannya dengan ancaman justru memperlebar jurang antara pemerintah dan rakyat. Rakyat merasa dipaksa, bukan diajak bekerja sama. Padahal, pajak adalah kontrak sosial yang hanya bisa ditegakkan bila ada rasa saling percaya antara rakyat dan negara.
Pemimpin seharusnya menjelaskan urgensi pajak dengan pendekatan edukatif, transparan, dan persuasif. Jika rakyat enggan membayar pajak, itu bisa jadi sinyal bahwa mereka tidak percaya pada pengelolaan anggaran negara. Menghukum rakyat dengan kata-kata kasar hanya akan memperkuat rasa ketidakpercayaan. Yang dibutuhkan justru keterbukaan: ke mana pajak digunakan, bagaimana dampaknya untuk kesejahteraan rakyat, dan apa manfaat nyata yang mereka rasakan.
Merangkul Kritik, Bukan Menghardik
Kritik rakyat, betapapun tajam, sesungguhnya adalah wujud cinta mereka pada negeri. Orang yang protes berarti masih peduli; mereka tidak ingin negara berjalan ke arah yang salah. Pemimpin yang bijak akan mendengarkan kritik itu, menyaring yang konstruktif, lalu memperbaiki kebijakannya. Itulah yang membedakan pemimpin besar dengan pemimpin kecil.
Sebaliknya, pemimpin yang menohok balik justru menunjukkan kelemahan dirinya. Ia seakan tidak siap dikritik, padahal kritik adalah konsekuensi logis dari jabatan publik. Merangkul rakyat berarti membuka ruang dialog, bukan menutupnya dengan cercaan. Seorang pemimpin yang mampu tersenyum bahkan ketika dikritik keras sesungguhnya sedang membangun kepercayaan yang lebih dalam dari rakyatnya.
Demokrasi Menuntut Ruang Perbedaan
Dalam sistem demokrasi, protes dan kritik bukanlah aib. Justru tanpa protes, demokrasi kehilangan rohnya. Ketika rakyat turun ke jalan menyuarakan aspirasi, itu adalah hak konstitusional yang dijamin undang-undang. Pemimpin yang menganggap protes sebagai penghinaan telah melanggar ruh demokrasi itu sendiri.
Pemimpin seharusnya melihat perbedaan pendapat sebagai cermin. Dari sana ia bisa melihat sisi-sisi yang mungkin terlewat dalam kebijakan. Bukankah lebih baik mendengar protes di jalan daripada melihat kemarahan rakyat meledak dalam bentuk yang tak terkendali? Demokrasi sehat hanya bisa tumbuh jika pemimpin punya telinga besar untuk mendengar, bukan mulut besar untuk menohok balik.
Contoh Nyata di Indonesia Antara Arogansi dan Kerendahan Hati
Dalam konteks Indonesia, kita bisa melihat beberapa contoh nyata. Beberapa waktu lalu, seorang pejabat tinggi negara menanggapi kritik masyarakat terkait pajak dengan mengatakan “kalau tidak mau bayar pajak, jangan hidup di Indonesia.” Ucapan ini memicu polemik luas, karena rakyat merasa seolah-olah mereka tidak dianggap bagian sah dari negeri ini hanya karena mengkritik kebijakan. Alih-alih merangkul, pemimpin itu justru memperlebar jarak psikologis dengan rakyatnya.
Ketika sebagian rakyat mengkritik dengan narasi rakyat sendiri tentang bubarkan DPR, kritik tidak disukai pemimpin di DPR, rakyat yang minta DPR dibubarkan dinyatakan pemimpin sebagai orang tolol se dunia. Pemimpin ternyata merespon kritik rakyat dengan narasi emosi. Pemimpin yang komunikatif dengan rakyatnya akan mengambil langkah merangkul bukan dengan menohok balik
Namun, Indonesia juga punya contoh berbeda. Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dikenal sangat santai menanggapi kritik. Ia kerap menjawab dengan humor, sehingga ketegangan mereda. Ketika banyak orang mengecam kebijakan kontroversialnya, Gus Dur tidak marah atau menyebut rakyatnya tolol, melainkan menanggapi dengan kelakar yang menyenangkan. Inilah cermin bagaimana seorang pemimpin bisa tetap merangkul rakyatnya meski berbeda pandangan.
Contoh Nyata di Dunia dari Otoritarianisme hingga Demokrasi Matang
Di dunia internasional, contoh pemimpin yang menohok balik rakyatnya bisa kita lihat pada Presiden Filipina Rodrigo Duterte. Ia sering kali melontarkan kata-kata kasar kepada pengkritiknya, bahkan menyebut mereka sebagai “idiot” atau “bodoh.” Gaya komunikasi keras itu memang menimbulkan ketakutan, tetapi juga memperuncing jarak antara pemerintah dan masyarakat sipil. Sikap seperti ini menegaskan bagaimana intimidasi verbal justru bisa menurunkan kualitas demokrasi.
Sebaliknya, contoh positif bisa kita lihat pada Jacinda Ardern, mantan Perdana Menteri Selandia Baru. Ketika rakyat mengkritik penanganan pandemi Covid-19, Ardern memilih menenangkan publik dengan penjelasan yang transparan dan empati yang tulus. Ia bahkan mengadakan siaran langsung di media sosial untuk menjawab keresahan rakyat. Sikap merangkul ini membuatnya dikenal sebagai pemimpin yang rendah hati dan dekat dengan rakyat.
Keteladanan Pemimpin dalam Sejarah
Sejarah mencatat banyak pemimpin yang memilih merangkul daripada menohok balik. Khalifah Umar bin Khattab pernah ditegur keras oleh seorang rakyat jelata terkait kebijakan distribusi kain. Bukannya marah, Umar justru menjelaskan secara terbuka dan mengapresiasi keberanian rakyat itu. Inilah teladan bagaimana seorang pemimpin menghadapi kritik dengan rendah hati.
Di luar dunia Islam, tokoh seperti Abraham Lincoln pun dikenal sebagai presiden yang merangkul kritik. Ia bahkan menunjuk lawan-lawan politiknya untuk duduk di kabinetnya, agar mendapat pandangan yang berbeda. Sikap seperti ini menunjukkan bahwa pemimpin sejati tidak takut pada perbedaan, justru menjadikannya sebagai kekuatan untuk memperbaiki diri.
Bahaya Pemimpin yang Menohok Balik
Ketika pemimpin terbiasa menohok balik rakyatnya, ada bahaya besar yang mengintai. Pertama, ia menciptakan budaya takut. Rakyat enggan bersuara karena khawatir dicap tolol atau dihina. Budaya takut ini akan membunuh partisipasi politik rakyat, dan demokrasi pun berubah menjadi otoritarianisme yang halus.
Kedua, pemimpin yang pongah justru meruntuhkan legitimasi dirinya sendiri. Rakyat lambat laun akan muak, merasa ditindas, dan kehilangan kepercayaan. Jika kepercayaan hilang, maka sehebat apa pun program pemerintah tidak akan mendapat dukungan. Ketidakpercayaan publik adalah awal dari krisis politik yang bisa menjatuhkan legitimasi seorang pemimpin.
Jalan Kepemimpinan yang Merangkul
Untuk menjadi pemimpin yang merangkul, ada beberapa prinsip yang harus dijaga. Pertama, kerendahan hati. Sehebat apa pun pencapaian seorang pemimpin, ia harus sadar bahwa semua itu berkat dukungan rakyat. Tanpa rakyat, ia bukan siapa-siapa. Kedua, komunikasi yang empatik. Rakyat ingin didengar, bukan diintimidasi. Maka setiap kata-kata pemimpin harus lahir dari empati, bukan kesombongan.
Ketiga, transparansi dan akuntabilitas. Rakyat akan dengan senang hati mendukung pemimpin yang jujur, terbuka, dan bisa dipercaya. Mereka tidak akan enggan membayar pajak jika tahu pajak itu benar-benar kembali untuk kesejahteraan bersama. Transparansi adalah cara paling efektif untuk merangkul rakyat, jauh lebih kuat daripada seribu ancaman.
Menutup Jurang antara Pemimpin dan Rakyat
Hubungan pemimpin dan rakyat bagaikan ayah dengan anak. Ayah yang bijak tidak akan menohok balik anaknya yang sedang protes. Ia akan mendengarkan, mencari tahu penyebabnya, lalu memberi solusi. Demikian pula pemimpin yang bijak: ia akan merangkul rakyatnya, meski harus menelan kritik pahit.
Jurang antara pemimpin dan rakyat hanya bisa dijembatani dengan kasih sayang, kerendahan hati, dan kesediaan mendengar. Jika pemimpin terus menohok balik, jurang itu akan semakin lebar. Tetapi jika pemimpin memilih merangkul, maka rakyat pun akan merespons dengan cinta dan loyalitas yang tulus.
Pemimpin untuk Semua, Bukan Lawan Rakyatnya
Pemimpin sejati adalah mereka yang tetap merangkul rakyatnya meski dihujani kritik. Ia tidak menohok balik dengan kata-kata kasar, tidak mengintimidasi dengan ancaman, dan tidak merendahkan dengan label tolol. Sebaliknya, ia melihat kritik sebagai kesempatan untuk belajar dan memperbaiki diri.
Dalam perjalanan bangsa, rakyat akan selalu kritis, dan itu adalah pertanda sehat. Tugas pemimpin adalah menjaga agar kritik itu tetap menjadi energi positif, bukan dianggap sebagai musuh. Dengan cara itu, pemimpin tidak hanya mempertahankan kekuasaan, tetapi juga menorehkan warisan moral: bahwa kekuasaan sejati bukanlah menundukkan rakyat, melainkan merangkul mereka tanpa menohok balik.