Oleh Fadjar Hutomo selaku Ketua Bidang Pariwisata, DKU Rekayasa Sipil dan Lingkungan Terbangun, Persatuan Insinyur Indonesia.
Pariwisata di Indonesia sering kali dielu-elukan sebagai mesin pertumbuhan ekonomi baru, sebuah sumber devisa yang tak terbatas dan cepat menghasilkan. Namun, obsesi terhadap angka kunjungan wisatawan—sebuah metrik kuantitas yang mudah diukur—telah menutupi isu mendasar mengenai kualitas, keberlanjutan, dan, yang paling penting, daya dukung atau carrying capacity sebuah destinasi.
Inilah titik krusial di mana komitmen pembangunan dan pengembangan pariwisata Indonesia yang berkualitas dan berkelanjutan membutuhkan integrasi disiplin ilmu yang terstruktur dan analitis: keinsinyuran.
Komitmen untuk mewujudkan pariwisata yang berkelanjutan tidak dapat dicapai hanya dengan promosi yang gencar atau branding yang memukau. Ia menuntut perencanaan matang yang berbasis data dan perhitungan fisik.
Selama ini, perdebatan seputar over-tourism kerap terhenti hanya pada kritik terhadap kepadatan atau antrian panjang, tanpa menyentuh akar masalah yang sebenarnya yakni kegagalan dalam menghitung dan mengelola daya dukung fisik, ekologis, dan sosial suatu kawasan.
Insinyur memiliki peran sentral di sini. Mereka bukan hanya merancang bandara atau jalan tol, melainkan merancang sistem, mulai dari manajemen limbah yang efisien, ketersediaan air bersih yang tidak mengorbankan penduduk lokal, hingga simulasi arus pergerakan manusia yang mencegah stagnasi dan kerusakan lingkungan.
Inovasi dalam pemodelan prediktif untuk menghitung batas optimal kunjungan, yang jauh melampaui perhitungan kursi pesawat atau kamar hotel, adalah domain insinyur.
Kebutuhan akan perhitungan teknis ini menjadi sangat terasa ketika kita menghadapi konflik tata ruang, salah satu persoalan akut dalam kepariwisataan. Dalam perspektif ekonomi lokal, pembangunan infrastruktur pariwisata seringkali luput dari desain sirkulasi yang terintegrasi dengan pasar dan usaha mikro kecil.
Dari kacamata sosial budaya, pembangunan masif sering mengabaikan desain kawasan konservasi yang memisahkan area publik turis dari ruang sakral atau permukiman tradisional, yang semuanya dapat diatasi melalui perencanaan tata ruang keinsinyuran yang cerdas.
Sementara dari sisi lingkungan, penentuan lokasi dan kapasitas bangunan, serta pengelolaan dampak limbah cair dan padat, adalah murni persoalan teknik sipil, lingkungan, dan perencanaan wilayah. Hanya melalui intervensi keinsinyuran, sebuah proyek pembangunan pariwisata dapat memastikan manfaat ekonomi mengalir secara adil, konflik sosial diminimalisir melalui zonasi yang jelas, dan beban lingkungan tidak melampaui kemampuan asimilasi alam.
Di samping tantangan tata ruang, persoalan keselamatan dan kebencanaan menempatkan insinyur sebagai garda terdepan. Berada di cincin api, destinasi wisata Indonesia harus dirancang dengan resiliensi. Insinyur geoteknik memastikan stabilitas lereng di area perbukitan dan mitigasi risiko likuefaksi di kawasan pesisir.
Insinyur struktur memastikan hotel, jembatan, dan fasilitas publik dapat menahan guncangan gempa. Lebih jauh, insinyur telekomunikasi dan sistem informasi berperan dalam merancang jaringan peringatan dini yang efektif, terintegrasi, dan mudah diakses oleh wisatawan maupun pengelola.
Keinsinyuran di sini berfungsi sebagai asuransi kolektif, memastikan bahwa pembangunan yang diupayakan tidak berubah menjadi bencana ketika alam menunjukkan kuasanya.
Selain peran fisik dan struktural, keinsinyuran modern menemukan medan kontribusi terbesarnya melalui optimalisasi dan utilisasi teknologi digital, termasuk Kecerdasan Buatan (AI). Jika insinyur geoteknik membangun fondasi fisik, insinyur sistem dan perangkat lunak membangun fondasi data.
Pemanfaatan Internet of Things (IoT) dan jaringan sensor di destinasi wisata memungkinkan pengumpulan data real-time mengenai kepadatan pengunjung, kualitas udara dan air, bahkan pola konsumsi energi. Data masif ini kemudian diolah oleh algoritma AI untuk memprediksi puncak kunjungan, mengoptimalkan alokasi sumber daya seperti transportasi atau penjadwalan pemeliharaan infrastruktur, dan secara dinamis menyesuaikan batas daya dukung.
Dengan teknologi digital, pengelolaan pariwisata beralih dari reaktif menjadi prediktif. Pendekatan keinsinyuran ini memastikan setiap keputusan manajerial didasarkan pada perhitungan yang presisi, bukan sekadar perkiraan, sehingga keberlanjutan tidak hanya menjadi janji, tetapi sebuah hasil yang terukur.
Melihat kembali isu sentral carrying capacity, jelas bahwa pariwisata berkelanjutan adalah persoalan desain dan manajemen sistem, bukan hanya pemasaran. Insinyur menawarkan solusi konkret melalui pengintegrasian sistem transportasi publik yang mengurangi polusi, pembangunan infrastruktur green and blue yang memulihkan ekosistem, dan penerapan teknologi cerdas untuk pemantauan kepadatan real-time.
Melalui kontribusi inovatif dalam merumuskan daya dukung yang holistik—mengukur bukan hanya berapa banyak orang yang bisa muat, tetapi berapa banyak yang bisa ditampung tanpa merusak ekologi, mengganggu sosial, atau merendahkan pengalaman wisatawan—insinyur dan keinsinyuran mengisi ruang kosong yang selama ini hanya diisi oleh narasi ekonomi.
Dengan demikian, masa depan pariwisata Indonesia yang berkualitas, aman, dan benar-benar berkelanjutan bergantung pada integrasi total disiplin dan metodologi keinsinyuran ke dalam perancangan dan manajemennya.