Jakarta — Di pagi yang sejuk, aku mengantar istriku belanja ke warung sayur di belakang cluster tempat tinggalku. Sebagai suami siaga, aku harus selalu siap mengantar istriku ke mana pun dia minta.
Namun, pagi tadi ada perbincangan yang sedikit berbeda dari pagi hari yang lainnya setiap pulang dari warung sayur langganannya itu.
Sambil boncengan naik motor warna merah, bertiga sama si bungsu, tiba-tiba istriku nyeletuk, “Harga cabai dan sayuran lainnya merangkak naik lagi nih, Yah.”
“Lho, kok bisa?” tanyaku.
Biasanya kalau pulang belanja dari warung sayur itu, istriku selalu bilang kalau dia berhasil menghemat beberapa ribu rupiah dengan belanja di warung sayur itu.
“Iya nih, kata si Mba Sayurnya, karena mau hari Natal dan tahun baru (Nataru), jadi harga-harga mulai merangkak naik,” jawab istriku.
“Oh…. Iya ya, fenomena akhir tahun, memang selalu seperti itu,” timpalku.
“Ya sudah nikmati saja, setahun sekali ini Natal dan tahun barunya,” tambahku lagi.
“Iya sih, tapi ‘kan jadi bertambah pengeluaranku. Baru saja kemarin belanja minyak goreng yang harganya juga naik, eh… pagi ini cabai dan sayuran juga ikut naik,” ujar istriku, menggerutu.
Si merah roda dua terus melaju, tak terasa karena sambil ngobrol, akhirnya sampai juga di rumah kami.
Keluhan yang disampaikan oleh istriku mungkin mewakili suara ibu-ibu yang belanja sayur dan minyak goreng. Minyak goreng sawit sejatinya memang sudah merangkak naik sejak bulan lalu, sehingga harganya menembus hampir Rp40 ribu untuk kemasan dua liter.
Entah apa penyebab pasti kenaikan dari minyak goreng tersebut. Ada yang mengatakan bahwa kenaikan harga minyak goreng sawit karena adanya instruksi peningkatan kapasitas produksi biodiesel. Instruksi ini menyebabkan bahan baku minyak sawit untuk minyak goreng terpaksa harus dikonversi menjadi biodiesel. Entahlah.
Tetapi kalau kita cermati, memang ada Peraturan Menteri ESDM No. 12 Tahun 2015 yang menetapkan penggunaan bahan bakar campuran biodiesel sebesar 30% (B30) sebagai bahan bakar mesin diesel yang telah diimplementasikan mulai tanggal 1 Januari 2020. Kebijakan ini mewajibkan penggunaan 30% campuran minyak nabati (biodiesel) dengan 70% bahan bakar minyak jenis solar. Kebijakan ini telah mengukuhkan Indonesia sebagai negara pionir pengguna campuran biodiesel tertinggi di dunia.
Salah satu bahan baku pembuatan biodiesel adalah Crude Palm Oil (CPO) yang merupakan bahan baku utama minyak goreng. Aku jadi ingat apa yang disampaikan oleh salah satu Guru Besar (Profesor) di kampusku dulu. Beliau mengatakan bahwa jika CPO dijadikan sebagai bahan baku utama pembuatan biodiesel maka akan terjadi persaingan dengan minyak pangan, yang pada gilirannya akan menyebabkan kenaikan harga minyak pangan.
“Sebaiknya jangan menggunakan CPO. Ada bahan baku alternatif lain yang tidak bersaing dengan minyak pangan seperti buah jarak atau buah nyampung,” ujar sang Profesor menjelaskan kepada seluruh mahasiswa di kelas waktu itu.
“Memang, diperlukan usaha ekstra untuk membudidayakan pohon jarak dan nyamplung agar dapat menjadi sumber bahan baku utama biodiesel, namun itu lebih baik daripada memanfaatkan CPO sebagai bahan baku karena akan berdampak kepada sektor industri pangan,” demikian ujar sang Profesor.
Apapun alasannya, bagi masyarakat kondisi ini telah menambah beban hariannya. Terlebih lagi saat ini harga cabai dan sayuran mulai merangkak naik, dan kemungkinan kecil akan turun kembali sampai awal tahun 2022. Beban ini semakin berat bagi masyarakat di tengah kondisi pendapatan keluarga yang menurun karena hantaman pandemi Covid-19 yang belum berakhir.
Aku coba memahami keluhan yang disampaikan istriku tadi pagi. Namun, aku juga ingin pemerintah tidak lengah dengan kondisi potensi kenaikan harga-harga aneka produk, khususnya bahan-bahan pokok menjelang hari Natal dan tahun baru. Aku juga ingin para pebisnis bahan-bahan pokok memiliki sensitivitas terhadap penderitaan sesama anak bangsa.
Pemerintah harus total waspada. Jangan lengah karena fokus kepada pencegahan penyebaran Covid-19, namun juga harus mencegah semakin menyebarnya angka kemiskinan di masyarakat. Kebijakan pemerintah terhadap kekhawatiran melonjaknya kembali angka yang terpapar Covid-19 pasca Natal dan tahun baru sudah tepat. Menaikkan kembali level PPKM menjadi level-3 di seluruh Tanah Air, mulai 24 Desember 2021 – 2 Januari 2022, mendapatkan dukungan penuh dari para ahli epidemiologi.
Namun demikian, sampai saat ini kita belum mendengar informasi terkait antisipasi pemerintah terhadap kenaikan harga-harga bahan pokok. Setidaknya kalaupun sudah ada, informasinya tidak masif. Mungkin karena sudah biasa alias rutin terjadi, sehingga kebijakan tersebut tidak dipublikasi secara masif. Piye iki, Pak Jokowi?
Adalah sebuah kelaziman, jika permintaan terhadap suatu barang meningkat maka harga barang tersebut juga akan meningkat. Terlebih lagi jika kenaikan permintaan tidak diimbangi dengan kenaikan jumlah pasokan. Jumlah permintaan lebih tinggi dari jumlah pasokan, timbullah kelangkaan sehingga harga barang menjadi lebih mahal. Begitulah teori ekonomi yang pernah aku pelajari di sekolah dulu.
Namun, walaupun hukum ekonomi tersebut sudah lazim, tetapi di tengah kondisi perekonomian masyarakat yang masih terhimpit, pemerintah wajib melakukan langkah nyata untuk mengantisipasinya. Kesehatan dan ekonomi adalah dua hal penting yang wajib dihadirkan di tengah-tengah masyarakat agar dapat segera bangkit pasca keterpurukan akibat pandemi Covid-19.
Sementara itu, bagi kita sebagai masyarakat dan warga negara yang baik, maka perlu berperan serta aktif dengan mentaati segala kebijakan pemerintah. Menaati protokol kesehatan dan tidak bepergian pada periode yang ditetapkan, adalah bentuk dukungan nyata masyarakat terhadap upaya yang dilakukan pemerintah.
Demikian pula bagi Anda para pelaku ekonomi dan pebisnis bahan-bahan pokok, janganlah mengambil kesempatan dalam kesempitan. Berempatilah kepada sesama anak bangsa, agar kita bisa bangkit bersama-sama. Sebagai anak bangsa, kita wajib memiliki empati terhadap sesama. Janganlah mengambil keuntungan berlebih dengan alasan apapun.
Sebagai anak seorang petani, aku dapat merasakan betul perasaan para petani. Walaupun harga di pasar naik berkali-kali lipat, tapi tetap saja bukan petani yang menikmati. Petani bahkan cenderung rugi setiap kali musim panen tiba. Lagi-lagi kondisi ini membuatku teringat teori asimetri yang diajarkan oleh dosenku yang lain di kampusku.
“Petani itu sering mengalami kerugian karena adanya asimetri informasi. Kondisi ini dimanfaatkan oleh middle man untuk meraih keuntungan dengan cara menekan harga kepada petani dan menaikkan harga kepada pedagang,” demikian penjelasan sang Profesor.
“Harusnya asimetri informasi ini dapat segera diatasi jika pemerintah mengambil kebijakan dan menggunakan teknologi informasi sehingga jumlah suplai, permintaan, dan harga di tingkat petani dan pasar dapat diakses oleh petani maupun pedagang,” tambahnya.
Salah satu implementasinya menurutku adalah penggunakan e-commerce untuk produk-produk pertanian perlu diintensifkan.
Semoga dengan sinergi antara pemerintah dan masyarakat, dan seluruh pemangku kepentingan lainnya, kenaikan yang tak dirindukan ini tidak akan terjadi. Mari bersinergi, agar Indonesia tangguh, Indonesia tumbuh. (*)
*) Oleh Dr. Abidin, doktor bidang Teknik dan Sistem Industri Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Ketua Program Studi Teknik Industri Universitas Budhi Dharma (UBD) Tangerang