Overdosis Likuiditas Perbankan Kebijakan Moneter BI Mubazir

Denpasar – Sebagaimana yang telah terinfokan bahwa Bank Indonesia (BI) sebagai lembaga yang bertanggung jawab  dibidang makro prudensial telah meluncurkan lima kebijakan moneter  untuk mendongkrak petumbuhan ekonomi nasional dimasa pandemic covid – 19. Dimana kelima kebijakan moneter tersebut meliputi (1) merupakan kebijakan suku bunga acuan. BI telah memutuskan  menahan suku bunga acuan  di level 4,00 % (2) stabilisasi nilai tukar (3) ekspansi moneter dengan quantitative easing (QE). Hingga saat ini BI telah mengguyurkan likuiditas kisaran dalam jumlah Rp.700  triliun untuk memastikan likuiditas di perbankan lebih dari cukup untuk mendorong pemulihan ekonomi. (4) relaksasi kebijakan makro prudensial  melalui penurunan uang muka kredit kendaraan bermotor berwawasan lingkungan, kredit property berwawasan lingkungan, juga kendaraan dan  property konvensional (5) BI melonggarkan peraturan tentang rasio  intermediasi makro prudensial (RIM)  dan mendorong pemulihan ekonomi lewat digitalisasi system pembayaran sehingga bisa mendukung percepatan penyaluran bantuan social (bansos), moda transportasi, serta pengembangan digitalisasi UMKM.

Perry Warjiyo selaku Gubernur BI menjelaskan bauran kebijakan yang terus dilakukan, hampir semuanya diarahkan bersama kebijakan fiskal dari pemerintah.  Juga disampaikannya bahwa pada tahun ini pihak BI akan terus menempuh kebijakan suku bunga rendah dan likuiditas longgar hingga terdapat indikasi tekanan  inflasi  akan meningkat dan tetap melanjutkan penambahan likuiditas dengan melakukan operasi moneter yang telah mencapai Rp.14,16 triliun per 4 Februari 2021.  Untuk upaya pengendalian inflasi akan ditargetkan berada pada kisaran 3 +/- 1 % dimana  Pemerintah dan BI menyepakati lima langkah strategis pengendalian inflasi di tahun 2021 yang diambil dalam rapat koordinasi Tim Pengendalian Inflasi Pusat (TPIP)  meliputi (1) dengan menjaga inflasi kelompok bahan pangan  bergejolak (volatile food) dalam kisaran 3 – 5%. (2) pengendalian inflasi melalui koordinasi Pemerintah Pusat dan Daerah dalam pengendalian  di perkuat melalui penyelenggaraan Rapat Koodinasi Nasional (Rakornas) dengan tema mendorong peningkatan peran UMKM pangan melalui optimalisasi digitalisasi untuk mendukung pemulihan ekonomi dan stabilitas harga pangan (3) sinergi antar K/L juga akan diperkuat, dengan dukungan pemerintah daerah dalam rangka menyukseskan  program TPIP 2021 (4) memperkuat ketahanan pangan nasional dengan meningkatkan produksi antara lain melalui program food estate  serta menjaga kelancaran distribusi  melalui optimalisasi infrastruktur dan upaya penangan an dampak bencana alam. (5) dengan menjaga cadangan beras pemerintah (CBP) dalam rangka program ketersediaan pasokan dan stabilitas harga (KPSH) untuk mendukung pemberlakuan  pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).

Sedangkan pada tahun 2020 BI telah menggelontorkan likuiditas (QE) di perbankan sekitar Rp.726,57 triliun. Dengan perincian, QE yang dilakukan di perbankan bersumber dari penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar Rp.155 triliun dan ekspansi moneter sekitar Rp.555,77 triliun. Kebijakan pelonggaran likuiditas di perbankan mendorong tingginya rasio alat likuid (AL) terhadap dana  pihak ketiga (DPK) yang mencapai 31,67% pada Desember 2020  dan rendahnya suku bunga pasar uang antar bank (PUAB) overnight, sekitar 3,04% pada Desember 2020. Bunga acuan BI 7 DRR juga telah dipangkas  sebanyak lima kali sebesar  125 basis point menjadi 3,75% merupakan suku bunga acuan terendah sejak pandemic covid – 19. Merupakan suku bunga acuan terendah sejak tahun 2013. Likuditas yang longgar ini membuat suku bunga deposito perbankan turun ke posisi 4,53%. Dengan mentransmisikan ke suku bunga kredit modal kerja menjadi 9,21% per akhir tahun 2020 yang lalu. Kedepan Perry Warjiyo Gubernur BI menyampaikan bahwa ekspansi moneter BI  dan percepatan realisasi anggaran serta program restrukturisasi kredit perbankan diharapkan dapat mendorong penyaluran kredit dan pembiayaan bagi pemulihan ekonomi nasional.

Dengan membeludaknya ketersediaan likuditas perbankan apalagi dengan adanya realisasi stimulus fiskal yang tersedia untuk anggaran Penanganan Covid -19 (PC) dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang mencapai jumlah anggaran sebesar  Rp.677,2 triliun dengan serapan sebesar Rp.431,54 triliun (62,1%) hingga posisi 25 November 2020. Berkontribusi  menambah jumlah uang yang beredar dimasyarakat menjadi melimpah dan mendongkrak likuiditas perbankan semakin aman namun sepertinya tidak nyaman. Dengan jumlah likuidtas perbankan yang berlimpah tersebut semestinya bunga DPK  terus melaju turun sehingga diikuti oleh bunga pinjaman (kredit) secara teoritis akan mengikuti turun menjadi rendah. Sehingga fungsi intermediasi akan bisa berjalan dan cenderung membaik meningkat jumlahnya. Namun demikian kenyataannya perbankan tidak mampu menurunkan suku bunga pinjaman sebagaimana yang diharapkan para pelaku usaha utama UMKM yang perlu segera ditolong dalam kondisi pandemi agar kembali bisa bangkit.

Sehingga juga fungsi intermediasi perbankan bisa berjalan maksimal dengan tingkat risiko yang rendah dengan kualitas kredit yang baik mengungkit ekonomi bisa segera bangkit dan pulih. Sebagaimana yang pernah diberitakan bahwa Perry Warjiyo Gubernur BI sempat kesal dan gusar mungkin beliau gemes dan tidak tahan melihat kinerja para bankir perbankan nasional yang sangat mengecewakan. Dengan mengeluarkan semacam umpatan yang sangat keras dan menohok dengan mengatakan perbankan benar benar brengsek sudah disuntik BI hampir Rp.700 triliun (dikutip dari Babe). Padahal suku bunga acuan telah lima kali diturunkan dan bertahan rendah dilevel 3,75%, dimana dalam kesehariannya beliau demikian kalem dan tenangnya. Sesungguhnya kebijakan menurunkan suku bunga acuan pada masa pandemic covid – 19 ini menurut hemat kami merupakan tindakan yang tepat sesuai dengan sikon extraordinary. Bahkan  berharap agar tercipta  sejarah tersendiri bahwa Gubernur BI Perry Warjiyo yang sangat smart, brilian dan visioner sudah melakukan lompatan yang berani terus menurunkan suku bunga acuan. Sehingga bisa segera mengakhiri rezim suku bunga tinggi sekaligus mengakhiri rezim bunga positif menuju ke rezim suku bunga rendah bahkan menjelma menjadi rezim suku bunga negative.

Sebagaimana sudah menjadi trend dan fenomena Negara Negara maju belakangan ini dalam upaya memperbaiki perekonomiannya dengan mengadopsi dan menerapkan rezim suku bunga negative yang lebih menjanjikan dan berprospek baik kedepan. Sebab dengan quantitative easing policy yang telah dilaunching oleh BI yang menciptakan likuiditas perbankan yang overdosis menjadi mubazir karena perbankan nasional tidak mampu menyalurkannya dalam bentuk pinjaman (kredit). Membuat intermediasi perbankan menjadi stagnan pertumbuhannya. Tidak mampu memberikan kontribusi yang siginifikan bagi kebangkitan  sebagaimana yang diharapkan para pihak yang berkepentingan (stake holders). Padahal perbankan nasional sudah mulai menikmati banyak keringanan dari sisi biaya dana atau cost of fund dan beban administrasi kredit. Ternyata pertumbuhan kredit belum seperti yang diharapkan bahkan pada Oktober 2020 terkontraksi 0,47 % (yoy). Jadi berlanjut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatatkan pertumbuhan kredit bank terkontraksi minus 2,41% secara tahunan pada tahun 2020.  Sudah barang tentu kecukupan modal nya masih tetap tercatat tinggi berada pada level 23,78%.

Bahkan merupakan tertinggi di kawasan ASEAN  karena tidak mampu menyalurkan kredit  dengan baik. Namun mungkin baik untuk tujuan berjaga jaga menghadapi risiko yang sulit diprediksi dalam situasi yang belum diketahui pasti kapan pandemic akan berakhir. Sedangkan rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) mestinya bisa lebih rendah dari posisi 3,06%. Bila mampu menyalurkan kredit dengan maksimal, dengan demikian berarti juga fungsi intermediasi perbankan tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.  Salah satu faktor penyebab utamanya karena tingkat bunga pinjaman yang dirasakan masih tinggi oleh para pelaku usaha disaat sikon yang lagi extraordinary. Maka untuk memulihkan dan mendorong pertumbuh an ekonomi yang tengah lesu dihantam badai wabah covid – 19.  Maka sudah menjadi fenomena Negara Negara maju belakangan ini dengan mengadopsi dan menerapkan suku bunga negative. Sebagaimana juga halnya dengan Jepang telah melakukan kebijakan QE menggelontorkan dana ke pasar dan banyak kebijakan lainnya, ternyata tidak berhasil, akhirnya Jepang mengikuti Negara Negara maju di Eropa seperti Swedia, Jerman, Swiss dan lain lain.

Dengan mengadopsi dan menerapkan suku bunga negative berharap masyarakat semakin menjadi produktif dan banyak yang terjun ke dunia usaha serta tidak ada lagi yang bermalas malasan  hidup enak sendiri berfoya foya dengan menikmati bunga deposito bagaikan rentenir atau lintah darat. Dengan memeras keringat orang lain dengan tidak memperhatikan kepentingan yang lebih luas demi kesejahteraan orang banyak. Dengan mengupayakan uang yang dimilikinya bisa bermamfaat menciptakan lapangan pekerjaan dan tidak saja untuk kepentingan dirinya sendiri semata.  Namun juga menjadi produktif untuk kepentingan yang lebih luas dan masyarakat banyak dalam menciptakan lapangan kerja sehingga tercipta prinsip pang pade payu (saling memberdayakan dan saling menguntungkan) demi terciptanya kesejahteraan bersama menuju Indonesia maju.  Sebagai suatu solusi untuk bisa keluar dari jebakan resesi yang berkepanjangan, dengan inflasi sangat rendah bahkan terjadi deflasi mengindikasikan ekonomi lesu tidak bergerak. Dengan demikian diyakini perekonomian akan kembali bergerak bangkit menjadi lebih sehat dan produktif dari sebelumnya bila mengadopsi dan menerapkan rezim suku bunga negative.

Jadi tujuannya Jepang menerapkan suku bunga negative adalah suatu upaya agar bisa kembali memulihkan perekonomiannya sebagaimana  yang telah dilakukan Negara Negara lainnya.  Agar bisa keluar dari jebakan keselesuan ekonomi yang menderanya. Tidak jauh berbeda dengan Indonesia seperti halnya Jepang masyarakatnya lebih banyak menyimpan dananya diperbankan dan enggan membelanja-kannya yang membuat ekonomi menjadi stagnan tidak bisa bergerak dan tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Mengingat pola konsumsi masyarakat yang tidak bergerak, akhirnya tak terhindarkan ekonomi Jepang mengalami kelesuan dan tidak bisa bangkit dari keterpurukannya. Berkaca dari pengalaman Jepang dalam memulihkan perekonomiannya yang telah mengalami kelesuan secara berkepanjangan, terlebih lebih telah menerapkan kebijakan QE sebagaimana yang dilakukan Perry Warjiyo sebagai Gubernur BI yang berhasil menciptakan likuiditas perbankan yang berlimpah bahkan dalam istilah kedokterannya terjadinya likuiditas bank yang overdosis. Mengingat pihak perbankan nasional   tidak mampu menyerapnya dengan merealisasikannya melalui fungsi intermediasinya dengan menyalurkan kembali kedalam masyarakat dalam bentuk pinjaman (kredit).

Sebagaimana  fungsi utama perbankan sebagai agent of intermediary, yang didukungnya dengan fungsi khususnya sebagai agent of trust, agent of development, agent of serve dan agent of progress sehingga kebijakan moneter BI sepertinya menjadi mubazir dan sia sia. Bravo BI, OJK dan Perbankan nasional.

Hormat kami : Ida Bagus Kade Perdana, Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Bali Nusra, Wakil Ketua Umum Kadinda Prov Bali Bidang Moneter dan Fiskal, Mantan Dirut Bank Sinar Jreeeng Mantaaap (sekarang Bank Mandiri Taspen).

 

Bank IndonesiaBIkebijakan moneter
Comments (0)
Add Comment