Jakarta – Kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di Pertamina (Persero) Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) senilai Rp193,7 triliun dinilai sebagai salah satu kejahatan dari tiga kejahatan terstruktur di Pertamina.
Kejahatan pertama terkait dengan struktur ekspor dan impor minyak mentah dari dan ke Indonesia. Ini seperti dikondisikan. Sebab, eksplorasi minyak mentah sejatinya sudah dilakukan Pertamina di dalam negeri, tapi hasilnya justru diekspor.
“Alasannya, minyak mentah Indonesia memiliki spesifikasi yang tidak bisa diolah di dalam negeri karena kilang minyak kita sudah out of date. Sudah kedaluwarsa,” ungkap pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy kepada The Asian Post.
Alasan ini, kata dia, menjadikan Indonesia membutuhkan minyak mentah dengan spesifikasi yang cocok untuk kilang minyak di Indonesia. Kebijakan impor pun diterbitkan. Sementara, minyak mentah hasil kilang dalam negeri diekspor ke negara-negara maju yang memiliki kilang sesuai spesifikasi.
Menurutnya, minyak mentah dalam negeri memiliki spesifikasi tinggi yang menghasilkan RON 98, sementara kilang minyak dalam negeri cocoknya untuk minyak mentah dengan spesifikasi bawah, seperti RON 88, 90, dan 92.
Padahal, jika masalahnya di kilang minyaknya yang sudah out of date kenapa tidak di-up date atau ditingkatkan teknologinya? “Masalah tata kelola minyak mentah dan produksi kilang ini sebetulnya masalah lama yang tidak pernah disentuh,” ujarnya.
Masalah tata kelola minyak mentah dan produksi kilang yang tidak pernah disentuh inilah yang di kemudian hari memunculkan kasus dugaan korupsi “oplosan Pertamax” senilai Rp193,7 triliun itu.
Kejahatan berikutnya terkait dengan kompensasi atas penjualan minyak oleh Pertamina. Diduga ada manipulasi harga yang membuat Pertamina harus membayar lebih tinggi dalam jual-beli yang dilakukan PT Patra Niaga.
“Yang dijual ke masyarakat kemurahan, sehingga ada kewajiban bayar Patra Niaga ke PT yang bersangkutan. Pertamina harus membayar ini. Itu kan pakai uang negara,” ujarnya.
Kejahatan ketiga terkait nilai selisih subsidi dengan harga jual sebenarnya. Selama ini, harga pokok produksi blending minyak Pertamina tak pernah dijelaskan secara terbuka. Informasi yang tertutup ini membuka potensi penyelewengan.
“Persoalan besarnya, baik pengadaan, impor-ekspor, blending di kilang, penambahan aditif, selling, dan lainnya, semua ada transaksi. Persoalannya, subdisi dan kompensasi. Sebenarnya berapa biaya pokok produksi. Ini tidak pernah dibuka Pertamina. Penyakit lama yang selalu ditutupi. Perusahaan sengaja dipecah-pecah agar sulit diaudit. Apalagi, auditnya post factum atau setelah peristiwa terjadi. Ini sulit,” papar Noorsy.
Dalam catatan The Asian Post, kasus korupsi di Pertamina selalu berulang. Bahkan, sejak tahun-tahun awal berdiri. Ibnu Sutowo, Dirut Pertamina pertama adalah pelaku pertama, yang tak pernah diadili.
Kasus besar lainnya adalah kasus korupsi pengelolaan dana pensiun Pertamina tahun 2014 senilai Rp599 miliar, korupsi investasi di BMG Australia senilai Rp568 miliar, hingga kasus korupsi pengadaan LNG tahun 2011-2014 senilai Rp2,1 triliun. DW