Neuroekonomi Islam dalam Pariwisata: Pendekatan Berbasis Fitrah – Rihlatul Jannah

Oleh: Cak Tom

PARIWISATA konvensional sering kali mengeksploitasi dorongan dasar otak manusia—pencarian kesenangan instan dan kenyamanan—yang sesuai dengan Sistem 1 (Otak Emosional) yang dijelaskan dalam neuroekonomi.

Hal ini memicu praktik seperti wisata hedonis, konsumsi yang berlebihan, dan kerusakan lingkungan, yang pada akhirnya bertentangan dengan kebutuhan otak akan makna (meaning) dan koneksi sosial jangka panjang.

Neuroekonomi Islam menawarkan kerangka kerja yang kuat untuk mengatasi kelemahan ini dengan menempatkan Qalb (pusat integrasi moral dan spiritual) dan Maqāşid al-Shari’ah (tujuan syariah) sebagai inti desain pengalaman perjalanan.

Inti dari Neuroekonomi Islam adalah pengakuan bahwa memberi adalah secara biologis lebih memuaskan daripada menerima. Ilmu saraf menunjukkan bahwa tindakan amal dan altruisme mengaktifkan ventral striatum di otak, pusat hadiah yang sama yang terpicu oleh makanan atau uang.

Dalam konteks pariwisata, ini berarti kita harus mendesain pengalaman yang secara aktif mendorong altruisme, empati, dan kontribusi sosial bagi wisatawan. Alih-alih hanya menjual paket “mewah,” Neuro-Tourism menjual “makna”.

Misalnya, program wisata yang mengintegrasikan wisatawan secara mendalam dalam proyek-proyek konservasi atau pemberdayaan masyarakat lokal, memungkinkan mereka merasakan “kebaikan yang diaktivasi secara neural” (neurally-activated goodness). Pengalaman semacam ini cenderung membentuk memori positif yang kuat dan abadi dibandingkan sekadar kemewahan yang fana.

Menyelaraskan Maqāşid dengan Desain Destinasi

Penerapan Maqāşid al-Shari’ah memberikan panduan etika dan desain yang jelas. Hifz An-Nafs (Perlindungan Diri/Jiwa), ini mencakup kesejahteraan mental dan fisik wisatawan. Destinasi harus dirancang untuk mempromosikan kedamaian, refleksi, dan pemulihan, bukan stres atau kelelahan.

Ini diterjemahkan menjadi wisata berbasis alam, meditasi, dan retret spiritual yang membantu mengaktifkan Dorsolateral Prefrontal Cortex (dlPFC) yang bertanggung jawab atas kontrol rasional dan mengurangi respons stres dari Amigdala.

Hifz Al-‘Aql (Perlindungan Nalar/Intelektual): Pariwisata harus menjadi wadah pembelajaran yang transformatif, bukan sekadar hiburan pasif. Ini dapat berupa wisata budaya dan sejarah yang mendalam, kursus keterampilan tradisional, atau workshop ekologi, yang merangsang fungsi kognitif yang kompleks dan rasa ingin tahu.

Hifz Al-Māl (Perlindungan Harta/Kekayaan): Prinsip ini menentang pemborosan (israf) dan mempromosikan keadilan ekonomi. Neuro-Tourism mendorong model bisnis yang transparan, bebas dari eksploitasi, dan memastikan sebagian besar pendapatan pariwisata kembali ke komunitas lokal (local circular economy).

Hal ini mengurangi kecurangan, menumbuhkan kepercayaan, dan mempromosikan kebahagiaan kolektif, yang secara neurobiologis meningkatkan pelepasan oksitosin (hormon pengikat sosial).

Neuroekonomi Islam mengajarkan bahwa Syukur (Gratitude) adalah prinsip neurokimia yang kuat yang mengatur konsumsi. Dengan mengintegrasikan praktik syukur—seperti jurnal perjalanan reflektif, upacara apresiasi lokal, atau desain pengalaman yang menekankan keterbatasan sumber daya—destinasi dapat menekan dorongan konsumtif impulsif yang didorong oleh loss aversion (kebencian terhadap kehilangan) atau framing effect (efek bingkai).

Taqwa (Kesadaran akan Tuhan) berfungsi sebagai Firewall Adaptif bagi otak, melindungi dari “malware” spiritual seperti kerakusan dan ketidakadilan. Dalam pariwisata, ini diwujudkan melalui Financial Murāqabah (pengawasan spiritual keuangan), di mana operator dan wisatawan didorong untuk mengambil keputusan yang melampaui kepentingan diri sendiri, mempertimbangkan dampak ekologis dan sosial jangka panjang.

Penerapan Neuroekonomi Islam dalam pariwisata bukan hanya tentang membuat sektor ini halal, tetapi tentang membangun ekonomi perjalanan yang adil, berkelanjutan, dan benar-benar manusiawi, di mana setiap transaksi dan pengalaman dirancang untuk mendukung kesehatan Qalb dan kesejahteraan seluruh ekosistem.

Ini adalah pergeseran dari sekadar menjual layanan (service) menjadi menjual transformasi diri dan kontribusi kolektif. Ini adalah Pariwisata Ramah Muslim yang seharusnya, ramah dan bermanfaat bagi wisatawan, ramah dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat setempat, ramah dan bermanfaat bagi lingkungan — Rahmatan lil alamin. Rihlatul Jannah… seperti nama masjid di lingkungan Gedung Sapta Pesona, Kementerian Pariwisata.

FitrahIslamneuroekonomiNeuroekonomi IslamPariwisataPariwisata IndonesiaRihlatul Jannah
Comments (0)
Add Comment