Oleh Yazid Bindar, Guru Besar Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung.
BENCANA alam selalu datang tanpa aba-aba. Ia tidak menunggu kesiapan anggaran, tidak mempertimbangkan kalender politik, dan tidak mengenal hirarki kewenangan. Ketika bencana menimpa suatu wilayah, yang pertama kali runtuh bukan hanya rumah dan infrastruktur, tetapi juga rasa aman warga negara.
Dalam situasi inilah negara diuji pada makna paling dasar dari keberadaannya: hadir atau abai. Mengutamakan penyelamatan kemanusiaan dalam kondisi bencana dan pasca bencana bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan mandat moral dan konstitusional para pemimpin negeri ini.
Lebih jauh, cara negara merespons bencana akan menentukan kuat atau rapuhnya ikatan kebangsaan. Di hadapan penderitaan massal, rakyat tidak menunggu pidato panjang atau perhitungan teknokratis.
Mereka menunggu tindakan nyata. Ketika negara hadir secara penuh, cepat, dan empatik, bencana justru dapat menjadi perekat kebangsaan. Sebaliknya, ketika negara ragu, berhitung, atau melempar tanggung jawab, bencana berubah menjadi luka kolektif yang menggerogoti rasa kebersamaan nasional.
Kemanusiaan di Atas Segala Perhitungan
Dalam situasi bencana, logika efisiensi anggaran tidak boleh menjadi alasan untuk menunda atau mengurangi penyelamatan manusia. Tidak ada istilah “negara dalam kondisi sulit” ketika yang dipertaruhkan adalah nyawa, martabat, dan masa depan rakyat.
Negara boleh menghitung anggaran dalam proyek-proyek rutin, tetapi tidak dalam keadaan darurat kemanusiaan. Setiap menit keterlambatan bantuan adalah perpanjangan penderitaan yang seharusnya bisa dicegah.
Mengutamakan kemanusiaan berarti menjadikan korban bencana sebagai subjek utama kebijakan, bukan sekadar angka statistik. Mereka adalah warga negara yang hak-haknya tidak boleh dikurangi hanya karena tinggal di daerah yang jauh dari pusat kekuasaan.
Negara yang besar bukan diukur dari surplus fiskalnya, tetapi dari keberanian moralnya untuk mengerahkan seluruh sumber daya demi menyelamatkan rakyatnya yang paling rentan.
Tanggung Jawab Negara yang Tidak Bisa Dialihkan
Kesalahan besar dalam penanganan bencana adalah kecenderungan mengalihkan tanggung jawab kepada pemerintah daerah. Dalam banyak kasus, pemerintah daerah justru menjadi pihak yang paling tidak berdaya ketika bencana datang. Kapasitas fiskal mereka terbatas, struktur birokrasi mereka kecil, dan sumber daya mereka sering kali sudah terkuras bahkan sebelum bencana terjadi.
Lebih ironis lagi, dalam beberapa tahun terakhir, banyak daerah mengalami pemotongan atau pengetatan anggaran dari pusat. Ketika bencana datang, daerah diminta bergerak cepat, tetapi tanpa amunisi yang memadai. Dalam kondisi seperti ini, negara pusat tidak boleh bersembunyi di balik dalih otonomi daerah. Bencana berskala besar adalah urusan negara, bukan sekadar urusan daerah administratif.
Sumatera dan Bingkai Kebangsaan Indonesia
Sumatera bukan sekadar salah satu pulau di Indonesia. Ia adalah bingkai utama kebangsaan, ruang sejarah, ekonomi, dan kebudayaan yang sejak awal membentuk Indonesia sebagai bangsa. Ketika bencana menimpa Sumatera, sesungguhnya yang sedang diuji bukan hanya ketahanan daerah tersebut, tetapi juga keseriusan negara dalam merawat bingkai kebangsaannya sendiri.
Bencana yang berulang di Sumatera, banjir bandang, longsor, gempa, hingga kebakaran hutan, tidak boleh dinormalisasi sebagai “takdir wilayah”. Normalisasi semacam ini berbahaya karena melahirkan sikap pasrah struktural. Negara harus melihat Sumatera bukan sebagai beban, tetapi sebagai bagian integral dari rumah besar Indonesia yang wajib dijaga dan dipulihkan sepenuhnya ketika rusak.
Kehadiran Negara Harus Seratus Persen, Bahkan Lebih
Dalam konteks bencana besar, kehadiran negara tidak cukup setengah-setengah. Kehadiran simbolik tanpa dukungan kebijakan dan sumber daya hanya akan melukai perasaan korban. Negara harus hadir seratus persen, bahkan lebih. Artinya, seluruh instrumen negara berupa anggaran, aparat, logistik, teknologi, dan jaringan diplomasi harus dikerahkan tanpa ragu.
Kehadiran ini juga harus terasa sampai ke level paling bawah. Bukan hanya terlihat di layar televisi atau laporan resmi, tetapi dirasakan langsung oleh warga yang kehilangan rumah, mata pencaharian, dan anggota keluarga. Ketika negara hadir secara utuh, rakyat akan merasakan bahwa mereka tidak sendirian, bahwa penderitaan mereka adalah penderitaan bangsa.
Bahaya Narasi yang Mengecilkan Bencana
Selain tindakan, narasi para pemimpin negara memegang peranan penting dalam situasi bencana. Narasi yang mengecilkan kejadian, meremehkan dampak, atau bahkan enggan mengakui skala penderitaan akan melukai psikologis korban. Kata-kata pemimpin memiliki daya simbolik yang besar dalam hal ia bisa menjadi obat atau justru racun.
Narasi negatif atau dingin dalam menghadapi bencana dapat memunculkan perasaan ditinggalkan. Lebih berbahaya lagi, ia membuka ruang bagi ketidakpercayaan terhadap negara. Dalam jangka panjang, ketidakpercayaan ini dapat menggerus kohesi sosial dan memicu sentimen kedaerahan yang merusak bingkai kebangsaan.
Narasi Positif sebagai Energi Pemulihan
Sebaliknya, narasi positif yang empatik dan bertanggung jawab mampu menguatkan hati dan tenaga daerah yang terdampak bencana. Narasi positif bukan berarti menutupi kenyataan pahit, melainkan mengakui penderitaan sambil menegaskan komitmen negara untuk bangkit bersama rakyat. Pengakuan ini penting agar korban merasa dilihat dan didengar.
Narasi yang benar akan memobilisasi solidaritas nasional. Ia menggerakkan bantuan lintas daerah, memperkuat semangat gotong royong, dan menumbuhkan keyakinan bahwa bencana bukan akhir dari segalanya. Dalam konteks inilah, bahasa para pemimpin menjadi bagian dari strategi pemulihan nasional, bukan sekadar komunikasi politik.
Pemimpin Negara Harus Turun dan Menyaksikan
Tidak ada kebijakan yang benar-benar tajam tanpa pengalaman langsung. Para pemimpin negara wajib turun ke lokasi bencana, menyaksikan penderitaan rakyat dengan mata kepala sendiri. Kehadiran fisik pemimpin bukan sekadar formalitas, tetapi simbol kesungguhan dan tanggung jawab moral. Dari lapangan, pemimpin dapat memahami kompleksitas masalah yang tidak selalu tertangkap dalam laporan tertulis.
Lebih dari itu, kehadiran pemimpin di tengah korban adalah bentuk penghormatan terhadap martabat rakyat. Ia menunjukkan bahwa penderitaan warga negara cukup penting untuk membuat pemimpin meninggalkan kenyamanan kantor dan protokol. Dari sinilah kepercayaan publik dibangun kembali, bukan dari balik meja rapat yang jauh dari lokasi bencana.
Menguatkan Bingkai Kebangsaan, Bukan Meretakannya
Setiap bencana membawa potensi dua arah berupa memperkuat atau meretakkan kebangsaan. Ketika negara lamban, abai, atau tidak adil, bencana dapat menjadi sumber kekecewaan kolektif yang berbahaya. Sebaliknya, ketika negara hadir dengan empati dan tindakan nyata, bencana justru menjadi momentum konsolidasi nasional.
Para pemimpin negara memiliki kewajiban historis untuk memastikan bahwa respons bencana selalu mengarah pada penguatan bingkai kebangsaan. Jangan sampai rakyat di daerah terdampak merasa menjadi warga kelas dua. Indonesia hanya akan kokoh jika setiap wilayah merasa diperlakukan setara dalam penderitaan maupun pemulihan.
Fasilitas Negara untuk Meringankan Derita Rakyat
Negara memiliki banyak fasilitas dan sumber daya: alat berat, rumah sakit, logistik, aparat keamanan, hingga jaringan internasional. Dalam situasi bencana, semua ini harus dimaksimalkan tanpa kecuali. Tidak boleh ada fasilitas negara yang menganggur sementara rakyat menderita. Prinsipnya sederhana: apa pun yang dimiliki negara, pada saat bencana, itu adalah milik rakyat yang membutuhkan.
Pemulihan pasca bencana juga harus dipikirkan sejak awal. Bukan hanya membangun kembali rumah dan jalan, tetapi juga memulihkan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan mental korban. Pemulihan yang setengah hati hanya akan memindahkan penderitaan ke masa depan.
Sumatera dan Identitas Bencana yang Tidak Boleh Dinormalisasi
Bahwa bencana seolah melekat dengan satu entitas pulau, yakni Sumatera, tidak boleh diterima sebagai kewajaran. Identitas “pulau bencana” adalah hasil dari kelalaian struktural yang terus berulang. Negara harus belajar dari setiap kejadian, memperbaiki tata kelola lingkungan, dan mencegah bencana buatan manusia yang memperparah bencana alam.
Mengakhiri siklus bencana di Sumatera berarti menjaga masa depan Indonesia itu sendiri. Selama negara masih berhitung dalam kemanusiaan dan ragu dalam kehadiran, selama itu pula bencana akan terus menjadi sumber luka kebangsaan. Sebaliknya, ketika kemanusiaan diletakkan di atas segalanya, bencana dapat berubah menjadi ujian yang justru menguatkan Indonesia sebagai bangsa yang utuh dan beradab.