Oleh: Habe Arifin (Pegiat Literasi dan Pendiri Forum Literasi Jakarta)
THE ASIAN POST – Sofie Dewayani mengatakan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) gagal. Sebagai orang yang ikut membidani berbagai panduan GLS yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud), pernyataan Sofie ini menampar mukanya sendiri.
Sejak muncul Satgas GLS, saya berkata dalam hati, GLS ini pasti gagal. Mengapa? Visinya berubah, misinya menyimpang. Sudah bisa ditebak, praktik berliterasinya jauh panggang dari api.
Apa yang ingin dicapai dari gerakan literasi? Sederhana sekali. Menciptakan budaya membaca. Tak kurang, tidak lebih. Hanya itu, itu saja. Tidak yang lain-lain.
Lha wong ini saja masih sulit. Berganti-ganti presiden dan menteri pendidikan, budaya membaca ini tak pernah terjadi. Baik di sekolah, di rumah, apalagi di masyarakat.
Forum Literasi Jakarta (FLJ) yang saya bentuk bersama teman-teman dan Dinas Pendidikan DKI tak punya target muluk-muluk. Pertama, membangkitkan kesadaran pentingnya berliterasi (baca: membaca). Kedua, melaksanakan kegiatan membaca setiap hari, minimal 15 menit sebelum pelajaran dimulai.
Dua target ini saya harapkan menciptakan kebiasaan membaca di sekolah. Betul-betul hanya sebuah kebiasaan. Siswa biasa membawa buku nonpelajaran di dalam tas. Sesampainya di sekolah, siswa dan guru membaca buku yang dibawanya. Setelah 15 menit buku ditutup. Selesai.
Jika ada yang mau mencatat dan membuat komen atas hasil bacaannya, itu hanya bonus. Tidak dianjurkan dan tidak juga dilarang.
Buku bacaannya pun dibebaskan agar siswa bisa membaca buku apa saja yang disenanginya, yang diinginkannya. Pengawasan dilakukan hanya untuk memantau bahwa konten buku tetap baik untuk siswa.
Saya pikir kebiasaan seperti ini harus dibangun selama lima tahun. Bukan satu atau tiga tahun. Fokus menjadi penentu keberhasilan.
Jika kelas 1-6 SD, kelas 1-3 SMP dan 1-3 SMU membiasakan membaca setiap hari, saya membayangkan akan terjadi generasi baru berliterasi yang suka dan membiasakan dirinya membaca. Sederhana sekali mestinya.
Tapi di tangan Satgas GLS, sesuatu yang sederhana ini kemudian menjadi dipersulit, dibuat rumit, diciptakan berbagai panduan, berbagai teori, dan entahlah apalagi. Selama tiga tahun bergerak, hasilnya kemudian diucapkan sendiri oleh Sofie: “Gagal”.
Sudut pandang para profesor yang bertebaran di satgas ini membuat semua yang mudah menjadi sulit, sangat akademis, dan ilmiah. Akibatnya semua produknya sulit diimplementasi.
Jika ingin berbenah, saya menyarankan dua hal. Pertama, kembalikan GLS pada khittahnya.
Apa itu? Membaca 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Itu saja dijalankan secara konsisten, istiqomah. Jika ingin dicatat, catatlah melalui rapor membaca. Semacam buku laporan pemantauan. Jika tak mau repot ya bebaskan saja.
Kedua, fokus menyiapkan buku bacaannya. Setiap hari siswa membaca satu buku yang habis dibaca dalam 15 menit. Setiap siswa membaca buku yang sama. Jika hari belajar ada 250 hari (misalnya) dalam setahun, siswa akan membaca 250 buku.
Setiap jenjang membaca buku sesui peruntukannya. Siswa TK dibacakan satu buku setiap hari. Siswa SD, SMP, dan SMA membaca buku sesuai kelas dan jenjangnya.
Konten buku berisi 18 karakter yang sudah dipromosikan pemerintah. Dikemas dalam cerita yang menarik. Enak dibaca dan aman.
Pesan penting sebuah gerakan, sesuatu yang mudah angan dipersulit. Sesuatu yang sederhana jangan dibuat rumit.
Salam literasi.