Mampukah Purbaya Melibas Praktek Misinvoicing yang Dibeking Banyak Jeger

Karnoto Mohamad, Pemimpim Redaksi The Asian Post

SELAMA hampir tiga dekade terakhir, Indonesia gagal menciptakan pertumbuhan ekonomi 7%. Padahal, Indonesia sangat kaya dengan berbagai komoditas sumber daya alam (SDA).

Di dunia, cadangan nikelnya terbesar, timahnya terbesar nomor dua, batubara terbesar nomor enam, memiliki “harta karun” super langka bernama logam tanah jarang (rare earth element), serta penghasil sederet komoditas lain seperti sawit, karet, hingga perikanan.

Kementerian Keuangan pernah mencatat kekayaan tersebut bernilai Rp200.000 triliun.
Artinya, Indonesia sesungguhnya tidak kekurangan uang, namun sayang banyak “maling” yang membuat kekayaan SDA tersebut tak mampu mensejahterakan rakyat.

Kekayaan itu pun tak berdampak kepada penerimaan negara. Untuk membangun infrastruktur dan membiayai program-program populis, pemerintah selama ini memilih menarik utang dan mengejar-ngejar pajak yang membuat masyarakat senewen.

Dari realisasi penerimaan negara per 31 Agustus 2025 yang mencapai Rp1.638,7 triliun, penerimaan dari SDA nonmigas hanya Rp75,60 triliun atau hanya 3,96%.

Pada 2024, dari penerimaan negara sebesar Rp2.842,5 triliun, penerimaan SDA nonmigas juga hanya Rp118,3 triliun pada 2024 atau 4%.

Penerimaan negara didominasi dari pajak yang sebesar Rp1.932,4 triliun yang terus digenjot hingga pemerintah memaksakan diri dengan menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% mulai 2025 hingga pengenaan pungutan baru “opsen” alias tambahan biaya baru yaitu opsen Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB).

Lalu, kemana raibnya kekayaan SDA yang melimpah hingga pemerintah secara brutal mengejar pendapatan pajak untuk membiayai belanja negara yang 2025 sebesar Rp3.621,3 triliun dan 37,85%-nya untuk membayar utang?

Pada 2014 atau ketika baru memimpin pemerintahan, Presiden periode 2014-2024 Joko Widodo (Jokowi) pernah berjanji akan memberantasnya mafia SDA dengan membentuk Satgas Mafia SDA.

Tapi, apa dijanjikannya tidak pernah terwujud. Salah satu modus operandi mafia SDA adalah melakukan penambangan illegal hingga melakukan trade misinvoicing transaksi ekspor-impor terutama komoditas untuk penghindaran pajak melalui penggerusan basis pajak dan pemindahan keuntungan.

Potensi penerimaan negara ribuan triliun dari royalty maupun pajak hilang akibat praktek tersebut.

Menurut laporan International Energy Agency (IEA), pada 2024 Indonesia mencatat volume ekspor batubara sebesar 558 juta ton. Namun, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor batubara hanya sebesar US$30,48 miliar. Artinya, harga yang tercatat secara statistic sebesar US$55 per ton.

Padahal, harga rata-rata batubara di pasar internasional tahun lalu mencapai US$136,41 per ton. Artinya ada selisih harga sebesar US$79,74 per ton dengan nilai US$45,64 miliar.

Yang paling ngeri terjadi pada 2022 ketika harga batubara di pasar dunia mencapai puncak dengan rata-rata mencapai US$403,71 per ton.

Tapi, harga statistik dari volume ekspor batubara Indonesia yang mencapai 465,74 juta ton, nilainya hanya US$54,57 miliar atau harga statistiknya hanya US$117 per ton. Ada selisih nilai ekspor yang tidak tercatat mencapai sebesar US$s133,46 miliar.

Di sini terjadi indikasi under-invoicing ekspor dimana nilai ekspor yang tercatat di Indonesia lebih kecil dari realisasi impor barang di negara-negara tujuan ekspor. Setiap tahun terjadi selisih. Menurut data Biro Riset Infobank yang diolah dari berbagai sumber, jika menghitung nilai ekspor batubara yang tidak tercatat selama 12 tahun dari 2013 hingga 2024, akumulasinya mencapai US$495,98 miliar atau sekitar Rp8.084 triliun dengan mengunakan kurs Rp16.300 per US$.

Dengan asumsi PPN 11%, PPH 2,5% dan royalti 5%, maka penerimaan negara yang hilang sebesar Rp1.495 triliun triliun.

Jika ditambah pajak keuntungan pengelolaan SDA sebesar 25%, maka penerimaan yang hilang bisa lebih besar lagi. Itu belum baru batubara, belum komoditas lain seperti tembaga, lignit, hingga minyak sawit.

Juga, belum termasuk potensi penerimaan yang hilang dari kegiatan impor illegal atau penyelundupan dan kalau pun lewat jalur resmi diduga banyak terjadi praktek over-invocing.

Perampasan uang hasil korupsi di sektor minyak sawit senilai Rp13,25 triliun diperkirakan hanya puncak gunung es. Rampasan tersebut berasal dari Wilmar Gorup, Musim Mas Gorup, dan Permata Hijau Group.

Total kerugian akibat korupsi CPO tersebut mencapai Rp17 triliun, dan masih ada Rp4,4 triliun yang belum dikembalikan.

Sangat miris jika uang yang hilang dari hasil komoditas SDA sangat besar tapi pendapatan yang diterima negara sangat kecil. Pemerintah sudah lama menyadari hal ini.

Dan baru kali ini ada pejabat pemerintah yang melontarkan adanya praktek misinvoicing yang merugikan negara. Dia adalah Purbaya Yudhi Sadewa, Menteri Keuangan yang dilantik pada 8 September 2025, menggantikan Sri Mulyani.

Kini, publik sedang menunggu bagaimana Purbaya Yudhi Sadewa akan melibas pemain cukai-cukai ilegal dan ekonomi siluman di balik ekspor gelap tambang dan komoditas yang banyak “jeger” di belakangnya.

Purbaya telah memberi sinyal bakal menangkap pelaku penyelundupan yang memasukan barang secara illegal maupun eksportir yang menggunakan praktek under-invoicing.

Di berbagai kesempatan, Purbaya mengatakan apa yang dilakukan adalah untuk menyelamatkan uang rakyat. Tapi, Purbaya tentu tak bisa melakukannya sendiri. Gaya koboi dan gaya bahasanya yang ceplas-ceplos bisa membuat pihak-pihak tertentu kepanasan.

Terutama, yang selama ini menikmati hasil kongkalingkong antara oknum pejabat dan pengusaha. Atau mereka menikmati kebocoran uang negara dari sisi penerimaan maupun pengeluaran. Jangan-jangan, pihak-pihak yang terusik kepentingannya akan berbuat apa saja, termasuk melobi ke presiden lewat para Ketua Partai Politik.

Tapi, apakah Presiden Prabowo Subianto akan mendukung Purbaya yang mengaku tidak memiliki kepentingan pribadi maupun politik?

Kalau kebocoran keuangan negara dan hilangnya penerimaan negara terus dibiarkan terjadi, bagaimana Indonesia akan terus terperangkap dalam jebakan utang dan stagnasi pertumbuhan ekonomi 5%?

Bagaimana para CEO memanfaatkan kebijakan dan arah Purbayanomic yang pro-growth dengan mendorong belanja dan likuiditas di pasar? Baca selengkapnya di Majalah Infobank Nomor 571 November 2025!

CPOcukaiKementerian Keuanganminyak sawitpenyelundupan barangpraktek misinvoicingPurbaya Yudhi Sadewa
Comments (0)
Add Comment