Malapetaka di Tengah Perang Iran-Israel Hantam Harga Minyak Dunia, Mampukah APBN Bertahan?

Jakarta— Kawasan Timur Tengah makin bergejolak. Ancaman Iran untuk menutup Selat Hormuz sebagai aksi balasan pasca serangan Amerika Serikat (AS) terhadap tiga fasilitas nuklirnya membuat dunia ‘keringat dingin’.

Sebab, sebagian besar atau 20 persen pasokan minyak dunia melewati Selat Hormuz.

Lantas, bagaimana Indonesia menyikapinya?

Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun memaparkan skenario terburuk jika harga minyak dunia benar-benar naik, atau bahkan sampai menyentuh US$140 per barel.

“Maka kita harus sangat berhati-hati karena asumsi makro kita menempatkan harga minyak di US$82 per barel. Pasti ini semua mengalami situasi berat karena kita memberikan subsidi di dua tempat, subsidi BBM dan subsidi energi. Belum lagi subsidi untuk transportasinya,” terangnya, dalam acara 22nd Infobank-MRI Banking Service Excellence Awards 2025, di Shangri-La Hotel Jakarta, (24/6).

Gap harga yang sangat lebar antara skenario terburuk dari harga minyak dunia dan asumsi pemerintah (US$82 per barel) akan menimbulkan risiko pada APBN.

Kondisi ini turut memberikan tekanan kepada faktor inflasi, subsidi, yang berujung pada menurunnya pertumbuhan ekonomi.

Menurut Misbakhun, skenario buruk ini akan memberikan efek berantai. APBN yang mestinya berkonsentrasi terhadap layanan kesehatan, pendidikan, infrastruktur dan kesejahteraan, nantinya akan terserap untuk menyelesaikan masalah subsidi BBM. Di satu sisi, hal ini juga akan menjadi tugas berat bagi PLN dan Pertamina.

“Sebab, pemerintah mempunyai dua skema dalam subsidi ini. Ketika subsidi habis di tahun berjalan atau melebihi ambang batas, PLN dan Pertamina tidak bisa lagi secara otomatis menaikkan harga sesuai mekanisme pasar. Mereka harus tetap meng-absorpsi kerugian mereka, baru diberikan kompensasi di tahun anggaran berikutnya,” ungkapnya.

Misbakhun bilang, jika harga minyak dunia dalam rentang kisaran rasional, dampak fiskal yang ditimbulkan masih sangat aman.

Dengan catatan, harga tersebut harus berada di kisaran US$71-82 per barel, meski tak berefek positif terhadap surplus government financing.

“Kami di DPR ingin memastikan bahwa apa yang menjadi target-target pemerintah di APBN bisa dijalankan dengan mengelola risiko yang memadai. Yang utama jangan sampai bansos, subsidi berkurang dari alokasi yang sebenarnya ketika pemerintah melakukan sebuah skenario untuk mengantisipasi situasi global saat ini,” tegasnya.

Volatilitas Harga Minyak

Sebelumnya, harga minyak dunia melonjak tajam pada perdagangan Senin pagi (23/6) setelah Iran menyatakan untuk menutup Selat Hormuz. Menurut pantauan The Asian Post, harga minyak mentah (brent) sempat menyentuh US$79,13 per barel pada perdagangan Senin (23/6).

Harga tersebut berangsur turun hingga $68 per barel pada Rabu (24/6), usai AS mengumumkan tidak ingin perang lebih lanjut dengan Iran.

Sementara, Analis JPMorgan memperkirakan penutupan Selat Hormuz oleh Iran akan menjadi skenario dampak yang parah. Di mana harga minyak berjangka bisa melonjak hingga USD120 hingga US$130 per barel.

JPMorgan memperkirakan minyak akan diperdagangkan pada kisaran rendah hingga menengah US$60 per barel untuk sisa 2025. Angka itu berdasarkan asumsi premi risiko Timur Tengah sepenuhnya hilang. (*) Ranu Arasyki Lubis

brent oilekonomi indonesiaharga minyak duniaperang Israel-Iran
Comments (0)
Add Comment